Headlines News :
Home » » USHUL FIQH, FIQH, DAN SUMBER HUKUM ISLAM

USHUL FIQH, FIQH, DAN SUMBER HUKUM ISLAM

Written By Figur Pasha on Tuesday, March 19, 2013 | 10:51 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.            PENDAHULUAN
Sebelum kalangan ulama’ memutuskan  hukum terhadap suatu masalah tertentu yang belum dijelaskan secara terperinci dan mendalam dalam Al Quran dan Hadits, penentuan hukum harus dilakukan dengan hati-hati dan melewati beberapa proses tertentu. Dalam penentuan suatu hukum, harus diketahui dahulu asal usul masalah yang menyebabkan masalah itu terjadi. Setelah itu hukum yang ditetapkan juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang digunakan untuk menetapkan hukum tersebut. Hukum yang telah ditetapkan selain untuk kemaslahatan umat, juga harus sesuai dengan dasar pokok Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud Ushul Fiqh?
B.     Apa kaidah-kaidah yang digunakan dalam Ushul Fiqh?
C.     Apa objek pembahasan dan manfa’at mempelajari Ushul Fiqh?
D.    Apa yang dimaksud Fiqh?
E.     Bagaimana cara/jalan untuk mengetahui Fiqh dan apa objek kajian Fiqh?
F.      Apa saja dasar-dasar sumber hukum Islam?
III.            PEMBAHASAN
A.    USHUL FIQH
a)   Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul al-Fiqh yang terdiri dari dua kata yaitu al-ushul dan al-fiqh.  Kata al-ushul adalah jamak dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti “landasan tempat membangun sesuatu”. Menurut istilah yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, kata al-ashl mengandung beberapa pengertian: (1) bermakna dalil, (2) bermakna kaidah umum yaitu suatu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya, (3) bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan), (4) bermakna asal tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas, (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah.[1]
Sedangkan kata al-fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Contohnya firman Allah dalam menceritakan sikap kaum Nabi Syuaib dalam ayat:
Mereka berkata: "Hai Syu'aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya Kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami."(QS Hud:19)
Menurut istilah,  al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai “pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya”. Sedangkan menurut Ibnu Subki mendefinisikan sebagai
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية                                                                             
“pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan , yang digali satu per satu dalilnya”.[2]
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi ‘illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan
مجموعة القواعد التىتبيّن للفقيه طرق استخراج الأدلّة الشّرعيّة                                                                           
“kumpulan qoidah-qoidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’”.[3]
b)   Kaidah-kaidah pokok Ushul Fiqh
Kaidah-kaidah pokok yang digunakan dalam Ushul Fiqh  sebagai berikut:[4]
1.         الأمور بمقا صدها
“Segala sesuatu tergantung  niatnya”
2.         اليقين لايزال بالشّكّ
“Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan  kebimbangan”
3.         المشقّة تجلب التّيسير
“Keberatan itu bisa membawa  kepada mempermudah”
4.         الضّرر يزال
“Madlarat itu dapat dihapus”
5.         العادة محكّمة
“Adat kebiasaan itu bisa ditetapkan”
c)    Objek Pembahasan Ushul Fiqh
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al Ghozali, maka obyek bahasan Ushul Fiqh dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1.         Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim (yang menetapkan hukum), mahkum fih (perbuatan yang ditetapi hukum), dan mahkum alaih (orang yang dibebani hukum),
2.         Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum,
3.         Pembahasan tentang cara mengistimbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu,
4.         Pembahasan tentang ijtihad. Secara global muatan kajian Ushul Fiqh seperti dijelaskan di atas menggambarkan obyek bahasan Ushul Fiqh dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang sistematika dan jumlah muatan darimasing-masing bagian tersebut.[5]
d)   Manfaat mempelajari Ushul Fiqh
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa manfaat mempelajari Ushul Fiqh.
1.        Dengan mempelajari Ushul Fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fiqhnya. Dengan demikian, akan dimengerti betul secara mendalam, sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh mana kebenaran pendapat fiqh yang berkembang di dunia Islam,
2.         Dengan studi  Ushul Fiqh seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al Quran dan hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut. Dalam Ushul Fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadits, dan bagaimana cara mengembangkannya. Oleh sebab itu, ulama’-ulama’ mujtahid terdahulu, lebih mengutamakan studi Ushul Fiqh dari Fiqh, sebab dengan mempelajari Ushul Fiqh seseorang bukan saja mampu memakai tatapi mampu memproduk fiqh,
3.        Dengan mendalami Ushul Fiqh seseorang akan mampu dengan benar dan lebih baik melakukan studi komparatif antar pendapat ulama’ fiqh dari berbagai madzhab, sebab Ushul Fiqh merupakan alat untuk melakukana perbandingan madzhab fiqh.[6]
B.     FIQH
a)   Pengertian Fiqh
Fiqh, menurut bahasa bermakna : tahu dan paham. Menurut istilah, ialah ilmu syari’at. Orang yang mengetahui ilmu fiqh dinamai Faqih. Para fuqaha (jumhur mutaakhirin) mentakrifkan fiqh dengan : “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”. Hukum ini juga dinamai hukum furu’, karena dipisahkan dari ushulnya, yakni diambil, dikeluarkan dari dalil-dalilnya (dalil-dalil syar’i) yang menjadi objek ushul fiqh. Jelasnya fiqh islam mempunyai ushul (pokok-pokok atau dasar-dasar) dan furu’ (cabang-cabang) yang diambilkan dari pokok tersebut.
Furu’nya (cabangnya) ialah : hukum-hukum Syara’ yang dipetik dari Al Kitab, As Sunnah, Al Ijma’, Al Qiyas, dan dari dalil-dalil syara’ yang lain. Mengingat hal ini, lebih tepat apabila ilmu fiqh itu dinamai Furu’ul Fiqh, sebagai imbangan dari ilmu Ushulul Fiqh.
Didalam kitab Durrul Mukhtar diterangkan, bahwa Fiqh mempunyai dua makna : makna ahli ushul dan makna ahli fiqh. Makna ahli ushul ialah : “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang tafshili (khusus, terperinci)”. Tegasnya, fiqh menurut ahli ushul ialah mengetahui hukum dari dalilnya.
Makna ahli fiqh (fuqaha) ialah : “mengetahui (menghafal) hukum furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya atau tidak ”.  jelasnya, fiqh menurut fuqaha, ialah mengetahuihukum-hukum yang syara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf) yaitu : wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.       
b)   Jalan Mengetahui Fiqh
Fiqh diambil/digali dengan jalan ijtihad. Untuk mngetahuinya diperlukan perhatian dan ketekunan yang mendalam (ta’ammul).
c)    Objek Fiqh
Walaupun hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, seperti : wajib, haram, sunat, makruh, mubah, shah, batal, ada’ atau lainnya, namun dalam kenyataanya tersusun dari dua bagian : pertama, hukum-hukum syara’ amaliyyah dan kedua, dalil-dalil tafshiliyyah (yang jelas) mengenai hukum itu.
Hukum Fiqh diambil dari wahyu baik yang ditilawatkan (Al Qur-an) maupun wahyu yang tidak ditilawatkan (Sunnatur Rasul). Dalam pada itu, apabila mujtahid tidak memperoleh nash, maka dia menggali hukum itu dari ruh (jiwa) syari’at dan maksud-maksudnya. Ilmu Fiqh ini, dinamai juga dengan Ilmu Halal wal Haram, Ilmusy Syari’ah wal Ahkam.[7]

C.    SUMBER-SUMBER FIQH
a)   Al Qur’an
Lafadz Al Qur’an didalam uruf umum ialah kumpulan yang tertentu dari kalam Allah yang dibaca para hamba”. Al Qur’an dalam pengertian ini lebih terkenal dari lafadz al kitab dan lebih nyata. Karena al kitab juga dipakai untuk kitab-kitab yang lain, baik yang diturunkan kepada Nabi-Nabi maupun kitab-kitab lain. Al Qur’an adalah sinar Ilahi yang abadi, berkembang sinar cahayanya selama masih berkembang layar  alam ini.
Allah menurunkan Al Qur’an bersuku-suku, berangsur-angsur, adalah untuk menerangkan suatu hukum atau untuk menjawab suatu soal atau fatwa, dalam tempo 23 tahun. Hikmahnya dilakukan demikian, ialah supaya mudah dihafal oleh Rosul dan dipahami, dan supaya menarik untuk mempelajari pengertian ibadah atau urusan-urusan akhirat juga mengandung urusan-urusan rahasia dan tujuannya, bahkan merupakan rahmat bagi seluruh ummat. Dan Al Qur’an ini, selain mengandung urusan-urusan ibadat atau urusan-urusan akhirat, juga mengandung urusan-urusan dunia.
Al Qur’an terdiri dari 114 surat. Kira-kira 500 ayat mengenai hukum, yang lain mengenai aqidah akhlak dan sebagainya. Hukum yang dicakupi Al Qur’an mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah (global). Tidak menerangkan hukum secara terperinci. Dan karenanyalah mempunyai daya tahan sepanjang masa dan dapat sesuai dengan suasana dan kondisi tiap-tiap masyarakat. Yang demikian ini pula segi kemu’jizatannya. Kebanyakan hukumnya mujmal (global), perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad. Yang menjiwai hukum-hukumnya, adalah menolak kemelaratan.[8] 
b)   As Sunnah
Yang dikehendaki dengan As Sunnah disini  ialah “ segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW”.
 As Sunnah adakala qauliyah yaitu hadist-hadist yang Nabi SAW Lafadhkan atau sabdakan, adakala fi’liyah yaitu sesuatu yang Nabi SAW kerjakan untuk disyariatkan dan adakala taqririyah, yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan sahabat di hadapan Nabi SAW dan Nabi SAW mengetahui orang mengerjakan dan Nabi berdiam diri.
Sunnah ialah sumber yang kedua tasyri’/syari’at  yang wajib kita ketahui. Sebagai bukti yang nyata bahwa Sunnah mempunyai daya hujjah dan menduduki tempat kedua sesudah Al Qur’an ialah sabda nabi SAW. Di dalam haji wada’: “aku tinggalkan padamu dua urusan, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudah keduanya : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”. [9]
c)    Ijma’
kebulatan pendapat para mujtahidin dari umat Islam di sesuatu masa, sesudah berakhir zaman risalah terhadap sesuatu hukum syara’
Untuk menetapkan adanya ijma’ hendaklah :
1.         Berwujud ijma’ segala mujtahid terhadap sesuatu pendapat walaupun mereka berjumlah kecil asalkan tak ada lagi mujtahid yang dapat turut serta memberikan pendapat.
2.         Berwujud kesepakatan seluruh para mujtahid.
3.         Yang mereka ijma’i, masuk hukum syar’i yang dapat diwujudkan dengan ijtihad.
4.        Ijma’ itu berlaku sesudah Rasul wafat.
Ijma’ ada yang bersifat kalami, atau qauli dan yang bersifat amali. Ke dalam kedua macam ijma’ ini, tidak diperlukan berkumpul para mujtahid disuatu majlis. Suara mereka dapat diambil dengan jalan mengumpulkan mereka dalam suatu kongres.[10]  
d)   Qiyas
“Menghubungkan suatu urusan yang tidak ada nashnya baik dari Al Qur’an maupun sunnah dengan yang dinashkan hukumnya karena bersekutu tentang ‘illat yang karenanya disyariatkan hukum”
 Qiyas mempunyai empat rukun yaitu:
1.         Maqis ‘alaihi (asal = pokok)
2.         Maqis (furu’ = cabang)
3.         Illat
4.         Hukum pokok
Qiyas hanya dipergunakan terhadap kejadian yang tidak ada nash yang menentukan hukumnya dan qiyas itu tidak dapat dilakukan pada hukum-hukum yang sudah ada nashnya.[11]



[1] PROF. DR. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 1-2.
[2] Ibid., hlm. 2-4.
[3] Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985,
hlm. 4. 
[4] Drs. Moh. Adib Bisri, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, Kudus: Menara Kudus, 1977, hlm. 1.
[5] PROF. DR. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Op. Cit., hlm. 11-12.
[6] Ibid., hlm. 14-15.
[7] Teungku Muhammad Habsi Asy Syiddieqy,  Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm 15-17.
[8] Ibid, hlm 174-178.
[9] Ibid, hlm. 177.
[10] Ibid, hlm. 183-184.
[11] Ibid, hlm. 189-190.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template