I. PENDAHULUAN
Sejak abad ke-1
Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan
“tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung
sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia
Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua
buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga
(kini Panrang, Vietnam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
Pengaruh
perkembangan agama yang pertama berpusat di Pasai-Aceh kemudian ke peisir
Sumatra dan Semenanjung Malaka serta dari Demak dan Gresik ke Banjarmasin dan
Lombok. Yerbukti dengan telah ditemukannya bentuk-bentuk makam terutama bentuk
nisannya.[1]
Kehadiran Islam
secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu
dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan
696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara
sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar
Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa
kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan
diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti
arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di
antara komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator
“keIslaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul
husna. Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal
dari Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia
Tenggara, khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera?
B.
Bagaimana munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
III.
PEMBAHASAN
A. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
1. Kerajaan Samudra Pasai
Samudera, sebelum kedatangan dan proses penyebaran
Islam, hanyalah sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala suku. Meskipun belum
menjadi kota, kampung tersebut sudah berfungsi sebagai tempat persinggahan para
pedagang. Sejak abad ke-7, kampung ini mulai didatangi oleh para pedagang
Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera Pasai.[2]
Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di
Indonesia yang merupakan kerajaan kembar.
Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai
kerajaaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai
hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi
pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7- ke-8 M, dan seterusnya. Kerajaan ini didirikan
oleh Maurah Selu dengan gelar Al-Malikush Shalih (1261-1289M). Bukti berdirinya
kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M ini
didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudra Pasai. Dari
Nisan itu dapat diketahui bahwa Raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan
Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertetapatan dengan tahun 1297M.[3]
Maurah Selu masih keturunan Raja Perlak, Makhdum Sultan Malik
Ibrahim Johan Berdaulat. Samudra Pasai mengalami puncak kejayaan pada masa
Sultan Malik Azh-Zhahir.[4] Diantaranya majunya kegiatan-kegiatan agama
dan keadaan masyarakat makmur (ekonomi, sosial, dan pemerintahan aman). Mereka
bermata pencaharian umumnya dengan berdagang, dari sini memperkokoh sendi-sendi
kerajaan dan juga ditambah dengan pajak yang besar. Ini dilihat dari keadaan
waktu itu Pasai yang terletak sangat strategis dan menjadi pusat perdagangan di
Asia Tenggara, mereka umumnya menggunakan dirham. Dari cerita tersebut
menunjukkan masyarakat waktu itu sudah maju dan damai.[5]
Adapun para raja yang pernah memerintah di
kerajaan Samudra pasai adalah sebagai berikut :
1. Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1326-1345
M)
3. Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346
M)
4. Sultan Ahmad malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir
(1383-1405 M)
6. Sultan
Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan
Abu Zaid Malik Azh- Zhahir (1455 M)
8. Sultan
Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan
Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan
Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan
Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan samudra Pasai berakhir tahun 1524 M ketika direbut oleh kerajaan Aceh
Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[6]
2. Aceh Darussalam
Aceh Darussalam segera tumbuh menjadi kota
dan pusat kerajaan Islam setelah Samudera Pasai. Kota Aceh
terletak disebuah lembah dan diapit oleh gunung-gunung tinggi[7]. Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Kabupaten Aceh Besar. Disini pula letak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui
kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh
berdiri pada abad ke-15, diatas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah
(1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada
masa pemerintahanya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan
Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis
(1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang
sebelumnya dari Laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka,
pindah melalui Selat Sunda dan menyusuri pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh.
Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
negeri.
Menurut H.J. de Graaf, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua
kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa
rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah. Ia meluaskan wilayah kekuasaanya ke daerah Pidie
yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan
kemenanganya terhadap dua kerajaaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan
sayap kekuasaanya ke Sumatera Timur. Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh
adalah Sultan Alaudin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Puncak
kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M).
Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera.
Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga Minangkabau.
Masa-masa semenjak Sultan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah sampai kepada
masa Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah “Zaman Gemilang” yang menanjak,
sementara masa-masa setelah itu, semenjak masa pemerintahan Ratu Nurul Alam
Naqiyatuddin sampai kepada Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, adalah masa
suram yang terus menurun[8].
B. Kerajaan-kerajaan di Jawa
1. Kerajaan
Demak
Kerajaan Demak didirikan atas prakarsa para Walisongo. Dibawah
pimpinan Sunan Ampel Denta, walisongo
bersepakat mengangkat Raden Patah sebagai Raja pertama kerajaan Demak. Ia
mendapat gelar Senopati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin
Panataagama.[9] Ia mempunyai beberapa putra dan putri yang
lahir dari tiga ibu. Yat Sun (adipati Yunus) dan Tung Ka
Lo (Trenggana) lahir dari cucu perempuan Sunan Ampel alias Bong swi Hoo;
Kaduruwan lahir dari putri randu Sanga; Raden Kikin alias pangeran Seda Lepen
lahir dari adipati Jipang, disebelah timur Blora. Keturunan lainnya ialah putri,
yakni Ratu Mas Nyawa.[10]Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam
berbagai permasalahan agama dibantu oleh para wali. Sebelumnya, Demak yang
masih bernama Bintoro merupakan daerah Vassal (kekuasaan) Majapahit yang
diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini semakin lama semakin
berkembang menjadi daerah yang ramai dan pusat perkembangan agama islam yang
diselenggarakan para wali.[11]
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira diakhir abad ke-15
hingga awal abad ke-16. Dikatakan ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari
seorang ibu muslim keturunan Campa. Dalam naskah cerita dan babad dari Jawa Timur dan
Jawa Tengah, raja Demak kedua sebagai pengganti Raden Patah adalah pangeran
Sabrang-Lor atau disebut Pati Unus. Nama itu ternyata berasal dari tempat
tinggalnya di “Seberang Utara”.[12] Menurut Tome Pires,
Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507.
Menurutnya tidak lama setelah naik tahta ia merencanakan suatu serangan
terhadap Malaka. Semangat serangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan
oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi sekitar pergantian tahun 1512-1513
tentaranya mengalami kekalahan besar.[13]
Pati unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai Sultan
oleh Sunan Gunungjati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin. Ia memerintah
pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam
dikembangkan keseluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan.
Penaklukan Sunda Kelapa berakhir tahun 1527 yang dilakukan oleh pasukan
gabungan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan Tuban
jatuh ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada tahun 1527 itu juga.
Selanjutnya pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530),
Surabaya (1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lamongan, Blitar,
Wirasaba, dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan
Demak. Sementara daerah Jawa Tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi,
Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, Syekh Siti Jenar
dan Sunan Tembayat. Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan
Trenggono terbunuh. Ia digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahannya tidak
berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar
kerajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang
dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian kerajaan Demak berakhir dan
dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh
Aria Penangsang.[14]
Adapun para Sultan kerajaan Demak adalah:
1.
Raden
Patah (1478-1518 M)
2.
Adipati
Unus (1518-1521 M)
3.
Sultan
Trenggono (1521-1546 M)
4.
Sunan
Prawoto (1546-1546 M)[15]
2.
Kerajaan
Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris
kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang itu
merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa.
Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian
diambil alih oleh kerajaan mataram. [16]
Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang
berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga, Sultan
Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya
dikawinkan dengan anak perempuannya. Kediaman Pajang itu, menurut babad,
dibangun dengan mencontoh keraton Demak.
Jaka Tingkir berkuasa pada waktu itu segera mengambil alih
kekuasaan, karena anak sulung Sultan Trenggono yang menjadi pewaris tahta
kesultanan sesuhunan Prawoto yang
dibunuh oleh Aria Penangsang penguasa Jipang (Bojonegoro). Pada
tahun 1546 M. Setelah ia memerintah, agar semua benda pusaka Demak dipindah ke
Pajang. Sultan Adiwijaya pada masa pemerintahannya ia memperluas kekuasaan
ditanah pedalaman ke arah Timur sampai daerah Madiun, di daerah aliran anak
sungai Bengawan Solo yang terbesar.
Setelah itu berturut-turut menguasai Blora (1554 M). Dan Kediri (1577 M). Pada
tahun 1581 M, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam dari
raja-raja terpenting di Jawa Timur, pada umumnya hubungan keraton Pajang dengan
keraton Jawa Timur memang bersahabat.[17]
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya kesusastraan dan kesenian
keraton sudah maju peradabannya. Pengaruh Islam yang kuat di pesisir menjalar
dan tersebar ke daerah pedalaman. Sultan Pajang meninggal di taman kerajaan
akibat kecelakaan oleh juru tamannya (1587 M). Ia dimakamkan di Butuh yang
dikenal dengan nama makam Aji oleh ahli warisnya raja Tuban, Demak, raja
Arosbaya dan puteranya pangeran Banawa.[18]
Dia digantikan oleh
menantunya, Aria Pangiri, anak susuhunan Prawoto. Waktu Aria Pangiri menjadi
penguasa di Demak. Setelah menetap di keraton Pajang, Aria Pangiri dikelilingi
oleh pejabat-pejabat yang dibawanya dari Demak. Sementara itu, anak Sultan
Adiwijaya, Pngeran Banawa, dijadikan penguasa di Jipang. Pangeran
Banawa tidak puas dengan nasibnya ditengah-tengah lingkungan yang masih asing
baginya, ia meminta bantuan kepada Senopati Mataram untuk mengusir raja Pajang
yang baru itu. Pada tahun 1588, usahanya itu berhasil. Sebagai rasa terima
kasih, Pangeran Banawa menyerahkan hak warisnya kepada Senopati Mataram, akan
tetapi senopati hanya mengingankan “pusaka kerajaan” Pajang. Mataram ketika itu
memang sedang dalam proses menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pangeran Banawa
kemudian dikukuhkan sebagai raja Pajang, akan tetapi berada di bawah
perlindungan kerajaan Mataram. Sejak itu, Pajang sepenuhnya menjadi berada di
bawah kekuassaan Mataram.[19]
Riwayat kerajaan Pajang
berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak terhadap Mataram
yang ketika itu dibawah Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya melarikan
diri ke Giri dan Surabaya.
3. Kerajaan Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari
Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman
untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai
hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki
Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di Mataram.
Dia digantikan oleh puteranya, Senopati, tahun 1584 M dan dikukuhkan oleh Sultan
Pajang.
Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah pangeran
Banawa menawarkan kekuasaan atas Pajang kepada Senopati. Meskipun Senopati
menolak dan hanya meminya pusaka kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Dlima,
Kendali Kiai Macan Guguh, dan Pelana Kiai Jatayu, namun dalam tradisi Jawa
artinya dengan penyerahan kekuasaan.
Pada abad ke-16 Mataram mengadakan perluasan daerah kekuasaan dari
Malaka
sampai daerah Cirebon. Puncak raja Mataram berkuasa, ia mengusai kerajaan
Madiun (1590 M), pada tahun 1591 M ia berusaha menduduki kerajaan Kediri dan
membangun tembok penghalang untuk melindungi diri dari musuh selesai tahun
1592-1593 M. Pada tahun 1598-1599 M mengadakan serangan ke Tuban setelah
selesai peperangan ia menikah dengan puteri raja Madiun (1590 M).Dari sumber
orang Belanda menyatakan bahwa, Panembahan Senopati berusaha agar kekuasaannya
diakui di Banten, tapi sebagai peletak utama kerajaan Islam di Mataram adalah
Panembahan Senopati (1601 M), ia meninggal di Kajenar (Sragen).[20]
Kemudian ia digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak yang
memerintah sampai tahun 1613 M. Kemudian ia digantikan oleh puteranya juga,
Sultan Agung. Pada tahun 1619 M, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada
dibawah kekuasaannya. Pada masa inilah kontak-kontak bersenjata antara kerajaan
Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan
Amangkurat I sebagai putera mahkota. Sultan Agung wafat tahun 1646 M dan
dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putera mahkota. Masa pemerintahan
Amangkurat I hampir tidak pernah reda dari konflik. Tindakan pertama dalam
pemerintahannya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak
ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar
5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M). Amangkurat I bahkan
merasa tidak memerlukan titel “Sultan”. Pada tahun 1677 M dan 1678 M
pemberontakan para ulama muncul kembali dengan tokoh spiritual Raden Kajoran.
Pemberontakan-pemberontakan itulah yang mengakibatkan runtuhnya Keraton
Mataram.[21]
4. Kerajaan
Cirebon
Kerajaan Islam Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di daerah
Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120
tahun.
Di awal abad ke-16 Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di
bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan juru labuhan disana,
bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Dia berhasil
memajukan Cirebon ketika sudah masuk Islam. Disebutkan Tome Pires,
Islam sudah ada di Cirebon sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi yang berhasil
meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayatullah, pengganti pangeran
Walangsungsang dan sekaligus keponakannya. Dialah pendiri dinasti raja-raja
Cirebon dan kemudan Banten.[22]
Karena kedudukannya sebagai walisongo, ia mendapat penghormatan
dari Raja-raja di Jawa seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri
sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Pajajaran, Sunan
Gunung Jati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut ajaran
Islam.[23]
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa
dan Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di
Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketika ia
kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan
inilah yang menurunkan Raja-raja Banten. Di tangan Raja-raja Banten tersebut
akhirnya kerajaan Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga
penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan ini dipimpin oleh
Falatehan dengan bantuan tentara Demak.[24]
Setelah Sunan Gunung Jati wafat ia digantikan oleh cicitnya yang
terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat
tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya.
Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pangeran
Girilaya itu. Panembahan Girilaya dimakamkan di Yogyakarta, di bukit Girilaya,
dekat dengan makam raja-raja Mataram di Imogiri, sejajar dengan makam Sultan
Agung di Imogiri.[25]Sepeninggalnya
sesuai dengan kehendaknya sendiri Cirebon diperintah oleh dua putranya
Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom.
Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan sebagai Rajanya yang pertama
dengan gelar Samsuddin, sementara panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman
dengan gelar Badruddin.
5. Kerajaan
Banten
Kerajaan ini muncul, ketika anak muda Pasai
keturunan Makkah datang ke Demak untuk mengabdi kepada Sultan
Trenggono. Dia diangkat menjadi panglima perang, dan mendapatkan hadiah
dinikahkan dengan adiknya Sultan Demak. Dia adalah panglima perang dalam
penaklukan kota Banten yang dikuasai portugis yaitu Sarif Hidayatullah atau
Maulana Nuruddin Ibrahim. Dia adalah ayah dari Sultan Hassanuddin, raja pertama
dari kerajan Banten. Dia juga peletak dasar pengembangan agama Islam dan
kerajaan Islam bagi perdagangan orang-orang disana.[26]
Dalam penaklukan dia menghadap dua perkara
besar :
a. Kerajaan Pajajaran masih teguh memegang
agama Hindu
b. Masih adanya perjanjian dengan bangsa
Portugis
Sejak sebelum zaman Islam, ketika masih berada dibawah kekuasaan
Raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi
kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan disebut-sebut
nama Wahanten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota
pelabuhan diujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1425, Sunan
Gunung Jati dari Cirebon meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan
Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam disana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima
Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan
jalan bagi kegiatan pengislaman di sana. Dengan segera ia menjadi orang yang
berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya.
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan gunung jati
berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun
1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang
semula Pajajaran.[27]
Kerajaan Islam Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Setelah
Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon,
dan kekuasaannya diserahkan kepada anaknya yaitu Sultan Hasanuddin. Hasanuddin
kemudian menikahi putri Demak dan diresmikan menjadi panembahan Banten pada
tahun 1552 M.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan
Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu ia dianggap sebagai Raja Islam
pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya
digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Yusuf. Pangeran Yusuf menaklukan Pakuan
pada tahun 1579 M, sehingga banyak para bangsawan Sunda yang masuk Islam.
Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580 ia digantikan oleh putranya
yaitu Maulana Muhammad yang masih muda. Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu
Banten. Maulana Muhammad meninggal pada tahun 1596 M dalam usia 25 tahun.
Setelah itu kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil bernama Abdul
Mufakhir Mahmud Abdul Qadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M.[28]
[1] Gadjahnata dan
Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986), hlm. 18
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 205
[4] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 332
[10] Slamet Muljana, Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta
: LkiS Yogyakarta, 2005), hlm.
[12] De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan
Islam Pertama di Jawa, (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 44
[13] Badri Yatim, Op.cit,
hlm. 211
[14] Ibid, hlm.
212
[15] Samsul Munir
Amin, Op.cit, hlm. 336
[16] Ibid,
hlm. 212
[18] H. J. de Graaf dan Th. G. Th Piegaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,
(Jakarta : PT. Temprint, 1986), hlm. 272
[21] Badri Yatim, Op.
Cit, hlm. 215
[23] Ibid, hlm.
338
[24] Badri Yatim, Op.cit.
hlm. 216-217
[25] Apipudin,Penyebaran Islam di Daerah Galuh sampai dengan Abad
ke-17, ( Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2010),hlm. 137
[27] Badri Yatim, Op.cit,
hlm. 217-218
[28] Samsul Munir
Amin, Op.cit, hlm. 338-339
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !