I.
PENDAHULUAN
Kebutuhan hidup manusia didunia memang tak terbatas. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut manusia harus bekerja. Banyak sekali jenis pekerjaan
sekarang ini dari penjual koran sampai penjual kehormatan. Namun sebagai umat
muslim tentu harus mampu membedakan pekerjaan mana yang diperbolehkan oleh
syari’at maupun yang tidak diperbolehkan.
Dizaman modern ini permasalahan muamalah lebih bersifat
kontemporer. Misalnya dalam hal perantara perdagangan, akad bagi hasil dalam
pertanian dengan sistem prosentase dan
biro jasa seperti biro jodoh yang memungut upah. Bagaimana pandangan Islam
terhadap permasalahan tersebut? Berikut akan dibahas lebih jelas dalam makalah
ini.
II.
PEMBAHASAN
1.
Landasan
Hukum
a.
Al-Qur’an
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِاْلبَاطِلِ إِلاَّأَنْ تَكُوْنَ تِجَا رَةًعَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ وَلاَتَقْتُلُوْا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّاللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمَا.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (QS an-Nisa:29)
يآَ
اَيّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِاْ لعُقُوْدِ
“Hai
orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu... (Al-Maidah:1)
b.
Al-Hadits
اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
“Orang-orang
Islam itu menurut perjanjian-perjanjiannya.” (HR.Bukhari)
عَنِ ابْنِ عُمَرُأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:
عَا مَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍأوْزَرْعٍ
“Dari Ibnu
Umar: Sesungguhnya Nabi SAW. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan memberi sebagian
dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil tanaman (palawija).”
(HR.Muslim)
c.
Pandangan
Ulama
Menurut Ibnu
Abbas, makelar dibenarkan seperti kata beliau:
بِعْ هَذَا الثَوْبَ فَمَا زَادَعَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَلَكَ
“Juallah
pakaian ini, sekiranya lebih dari sekian, maka untuk anda.”
Kata
Ibnu Siirin:
بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ أَوْبَيْنِيْ
وَبَيْنَكَ فَلاَ بَأْسَ بِهِ
“Juallah barang itu
dengan harga sekian,kalau ada untungnya maka untuk anda,atau untuk kita berdua.
Hal itu dibolehkan.”
2.
Analisis
a.
Perantara
dalam jual beli
Makelar dalam bahasa Arab disebut
اسمسرة yang
berarti perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan
pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli.
Sedangkan blantik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia merupakan kata
dari bahasa jawa yang berarti cengkau, pengantara jual beli (kuda, lembu,dsb).[1]
Jadi makelar maupun blantik sama-sama pengantara dalam jual beli, yang
membedakan hanyalah objek dalam jual beli tersebut.
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi
makelar (perantara), atau biro jasa mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa
dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka,
mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam
bidangnya.
Imbalan jasa untuk makelar harus ditetapkan bersama terlebih
dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya, kalau nilainya
besar, ditandatangani lebih dahulu perjanjiannya dihadapan notaris.[2]
Menurut Dr.Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar
dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh
pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh
mengambil dari kelebihan harga yang ditentukan oleh pemilik barang.[3]
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh Islam
yaitu:
1.
Jika
pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap
pembeli.
2.
Jika
pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap
penjual.[4]
Imam Bukhari berkomentar, “Makelar tidak boleh
mengambil upahnya tanpa seizin dari penjual. Ia adalah orang yang mendapat
kepercayaan, dan posisinya seperti wakil. Maka, hendaknya ia berkata jujur dan
mengatakan, “Aku telah menjual barang tersebut sekian dan sekian,” atau, “Aku
telah membeli barang tersebut sekian dan sekian.” Hendaknya ia melakukannya
sebaik mungkin. Ia berhak mendapatkan imbalan atas perwakilan dan makelar
tersebut. Namun, ia tidak berhak menjual sedikitpun dari barang yang
diamanahkan tersebut untuk dirinya sendiri.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Segala
puji bagi Allah. Seorang makelar tidak boleh menjadi serikat bagi penjual
dengan cara menaikan harga tanpa sepengetahuan si penjual. Dalam kondisi
seperti ini, sama artinya ia sendiri yang menaikkan harga dan pada hakikatnya
ia sendiri yang membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Ini merupakan
bentuk pengkhianatan terhadap amanah penjual. Barangsiapa yang melakukan hal
seperti ini, maka hendaknya ia tidak dipergunakan lagi sebagai makelar dan
diberhentikan dari menawarkan barang. Bila masyarakat sepakat, maka mereka
berhak untuk memberikan hukuman keras yang dapat menghentikan mereka dan
orang-orang semisal agar tidak melakukan pengkhianatan seperti ini lagi. Di
antara hukuman bagi mereka adalah melarang mereka untuk menawarkan barang.[5]
b.
Akad bagi hasil
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha.
Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan
yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Besarnya penentuan
porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan
bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di
masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Bentuk kontrak kerja sama dalam bidang pertanian
dengan akad bagi hasil dengan sistem prosentase biasa disebut dengan kerja sama
muzaara’ah atau mukhabarah.
Ulama Malikiyah mendefinisikan muzaara’ah
dengan:
اَلشِّرْ كَةُ
فِى الزَّرْعِ
“Perserikatan dalam pertanian.”
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
عَمَلُ اْلأَرْضِ
بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَاْﻟﺒَﻨْ رُ مِنَ اْلعَا مِلِ
“Pengolahan
tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.”
Menurut Ulama Mazhab Hanbali:
دَفْعُ
اْلأَرْضِ إِلىَ مَنْ يَزْرَعُهَا أَوْيَعْمَلُ عَلَيْهَا وَالزَّرْعُ بَيْنَهُمَا
Muzaara’ah adalah“penyerahan
lahan pertanian kepada seorang petani untuk diolah dan hasilnya dibagi berdua.”
Al-Mukhabarah, bibit
berasal dari pemilik lahan, sedangkan al-muzaara’ah bibitnya dari
petani.
Hukum Akad al-muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah
terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M )
dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah
tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil,
seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah
sebuah hadis berikut:
أن رسو ل
الله عليه وسلم نَهَى عَنِ اْلمُخَا بَرَةِ. ﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله﴾
“Rasulallah saw yang melarang melakukan
al-mukhabarah”. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah,
sekalipun dalam al-mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari
pemilik tanah.
Dalam
riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنِ اْلمُزَرَعَةِ.
﴿رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
“Rasulallah
melarang al-muzara’ah” ( HR Muslim ).[6]
Mengenai
perbuatan Rasulullah dengan penduduk Khaibar bukanlah akad muzaara’ah melainkan
al-Kharaj al-Muqaasamah yaitu ketentuan yang harus dibayarkan kepada
Rasulullah setiap kali panen dalam prosentase tertentu.
Ulama
Mahzab Maliki,Hanbali, Imam Abu Yusuf, Muhammad Hasan asy-Syaibani (keduanya
sahabat Abu Hanifah) dan ulama Mahzab az-Zahiri berpendapat, bahwa akad muzaara’ah
hukumnya dibolehkan, karena akadnya cukup jelas, yaitu ada kerja sama
antara pemilik lahan dengan petani sebagai pengelola. Mereka beralasan kepada
Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Umar diatas.[7]
Jumhur ulama,
yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat yang
harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut
mereka adalah:
a.
Pemilik
tanah.
b. Petani
penggarap.
c.
Obyek al-muzara’ah
yaitu manfaat lahan dan hasil kerja pengelola.
d.
Ijab dan qabul.
Secara sederhana ijab dan qabul cukup dengan
lisan saja. Namun, sebaiknya dapat dituangkan dalam surat perjanjian yang
dibuat dan disetujui bersama, termasuk bagi hasil (prosentase kerja sama itu).
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah,
apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya
adalah sebagai berikut:
a.
Petani
bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian
itu.
b. Biaya pertanian
seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh
petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
A.
Biro Jodoh yang Memungut Upah dan
Bayaran
1. Landasan Hukum
َوَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم
نَهَى عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ,
وَمَهْرِ الْبَغِيِّ, وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Dari Abu Mas'ud al-Anshory Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil uang
penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertunangan. Muttafaq Alaihi.” [9]
و يحرم لا يصح ايضا بيع و لا شراء ما لا يدخل تحت الملك كالحر
" haram dan tidak sah jual beli sesuatu yang
tidak bisa dimiliki seperti jual-beli manusia (merdeka)". Is'adur Rofiq juz 1 hal. 137[10]
2. Analisis
Biro jodoh
adalah tempat untuk membantu orang baik perempuan atau laki-laki yang mengalami kesulitan dalam
mencari jodoh ( pasangan ), sehingga adanya biro jodoh ini diharapkan dapat
mengatasi hambatan dalam pencarian dan pemilihan jodoh ( pasangan ) sesuai kriteria
yang diinginkan. Biro jodoh ini dapat berupa badan ataupun orang yang akan
mencari jodoh. Dan pada zaman ini kebanyakan biro jodoh sering dilakukan dengan
suasana hiburan saja sehingga antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
bisa dapat berkumpul mungkin tanpa batasan.[11]
Biro jodoh atau sebuah upaya jasa untuk mempertemukan 2 anak
manusia dengan tujuan pernikahan itu hal yang boleh-boleh saja dalam Islam.
Yang jadi pertanyaan, sejauh mana
pelaksanaan biro jodoh itu agar sesuai dengan syariat Islam dan bukan malah jadi mengumbar
maksiat. Rasulullah saw. memberikan rambu-rambu dalam memilih pasangan: “Wanita
itu dinikahi karena empat perkara; (1) karena hartanya, (2) karena kebaikan
keturunan atau kedudukannya, (3) karena kecantikannya, dan (4) karena agamanya.
Maka beruntunglah engkau yang memilih wanita yang beragama, karena dengan
demikian itu engkau akan berbahagia” (HR
Bukhari dan Muslim).
Sekarang saatnya bagi kaum hawa yang dieskploitasi kejombloan
untuk sadar. Apa pun dalihnya, uang adalah Tuhan para penyelenggara acara itu.
Tak peduli harus dengan memanfaatkan perasaan orang lain. Dalam hal jodoh,
perasaan jelas terlibat. Itu adalah
komoditas yang akan memancing pemasang iklan untuk berdatangan. Uang adalah
hasil akhirnya.[12]
Penciptaan
manusia secara berpasangan dan menjadikan berkembang menjadi bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, untuk saling kenal dan berhubungan satu sama lain. Islam menganjurkan
kepada umat Islam agar saling mengenal antara satu dengan yang lain. Sesuai
dengan rambu-rambu keislaman dan perspektif Islam. Untuk sebatas mengenal dan
mencintai seseorang karena Allah dan tidak melanggar larangan.
Hukum biro
jodoh ini sama dengan hukum peminangan, karena tidak terdapat dalam Al-qur’an
dan Hadist , oleh karena itu, hukumnya mubah. Hal ini dikarenakan dari sudut
mana kita memandang dan bagaimana cara teknis dari biro jodoh itu sendiri serta
niat dari yang mencari jodoh.[13]
Namun yang
menjadi permasalahan sekarang bila jasa biro jodoh tersebut memungut upah dan
bayaran berarti prioritas utamanya adalah uang, seperti yang telah dijelaskan
diatas.
Dari hadits diatas bahwasanya jual beli manusia itu haram
hukumnya dan pengambilan upah atas pertunangan juga dilarang oleh Rasulullah
saw. Dalam kumpulan fatwa-fatwa muamalah kontemporer dijelaskan “Bolehkah
mengambil upah atas jasa yang diberikan seperti mencarikan konsumen,
menunjukkan jalan atau mencarikan calon istri?”
Jawabannya adalah “Diperbolehkan mengambil upah jasa, hal
itu seperti menunjukkan kepada seorang konsumen maupun kepada seorang penjual,
orang yang akan menyewa barangnya, dari masyarakat. Hal tersebut karena
Rasulullah saw. dan Abu Bakar telah menyewa Amir bin Fuhairah untuk menunjukkan
jalan yang aman ketika mereka berhijrah ke Madinah. Akan tetapi tidak
diperbolehkan mengambil upah atas jasa mencarikan calon istri, karena dalam
masalah pernikahan tidak diperkenankan adanya jual beli maupun sewa menyewa.[14]
Jadi jelas bahwa biro jodoh yang memungut upah atau bayaran
tidak diperbolehkan.
[1] W.J.S.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,1999),hlm,146.
[2] M.Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2003),hlm 289-290.
[4] Ad-Duwaisyi, Ahmad bin Abdurrazaq,Kumpulan Fatwa-fatwa Jual Beli,
(Bogor:Pustaka Imam Asy-Syafi’i,2004),hlm124.
[5] http://alqiyamah.wordpress.com/2011/08/06/hukum-makelar-uang-komisitips-bagi-perantara-menaikkan-harga-barang-dari-si-penjual/27-10-2012,14.26
[6]
http://perjalananbocahkampung.blogspot.com/2012/10/makalah-islam-dan-ekonomi-bagi-hasil.html,27-10-2012,14.15
[7] M.Ali Hasan,
Berbagai Macam Transaksi...,274.
[8] http://perjalananbocahkampung.blogspot.com/2012/10/makalah-islam-dan-ekonomi-bagi-hasil.html
[9] Bulughul Maram
versi 2.0c 1429 H/2008 M :: Oleh Dani Hidayat:: pustaka_alhidayah@yahoo.co.id
[14] Ash-Shadiq
Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer, (Surabaya:
Pustaka Progressif,2004),hlm,66.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !