Headlines News :
Home » » HUKUM DOKTER DAN PASIEN YANG BEDA JENISNYA/ BUKAN MUHRIMNYA DALAM ISLAM

HUKUM DOKTER DAN PASIEN YANG BEDA JENISNYA/ BUKAN MUHRIMNYA DALAM ISLAM

Written By Figur Pasha on Monday, January 21, 2013 | 3:17 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.          Pendahuluan
Agama Islam tidak memandang wanita sebagai benda najis, titisan roh halus, iblis dan berbagai hinaan dan cacian lainnya, sebagaimana yang menjadi kepercayaan agama kuno di Eropa. Sebaliknya justru Islam memuliakan para wanita, agama Islam juga tidak mengurung wanita di dalam rumah, atau mengharamkan para wanita keluar rumah, bekerja atau bersosialisasi. Asalkan semua itu tetap menjaga batas-batas yang telah ditentukan di dalam syariat Islam. Khusus di dalam masalah kesehatan dan kedokteran, Islam justru memberikan peran besar bagi para wanita untuk terjun ke dalamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa rumah sakit pertama yang dibangun dalam sejarah Islam adalah tenda milik seorang wanita, di mana di dalamnya para korban luka perang dirawat oleh para wanita juga.
Dalam pembahasa kali ini akan di jelaskan secara singkat berkaitan hukum dokter dan pasien yang berbeda jenis, apa saja landasan hukum yang dipakai, bagaimana pendapat para ulama tentang hukum dokter dan pasien yang bukan muhrimnya, dan bagaimana menganalisa tentang hukum tersebut.
II.      Landasan Hukum
A.  Al-Qur’an
 
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah : 2)
  
Dan Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu lakukan. (Q.S. Al-An’am : 119)
B.  Hadits
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ
Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buat saudaranya, maka berilah manfaat. (H.R. Muslim)
اِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً اِلاَّ اَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan di turunkan-Nya pula obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya. (H.R. Ahmad)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi SAW. bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang lain)". (H.R. Muslim)
C.  Pandangan Ulama
1.   Fatwa Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsmani RA. Dalam kitab Wa Rasaail Syaikh Ibnu Utsmaimin Juz 1 halaman 30, Syamilah.
إن ذهاب المرأة إلى الطبيب عند عدم وجود الطبيبة لا بأس به كما ذكر ذلك أهل العلم ، ويجوز أن تكشف للطبيب كل ما يحتاج إلى النظر إليه إلا أنه لابد وأن يكون معها محرم ودون خلوة من الطبيب بها ، لأن الخلوة محرمة وهذا من باب الحاجة
وقد ذكر أهل العلم رحمهم الله أنه إنما أبيح هذا لأنه محرم تحريم الوسائل ، وما كان تحريمه تحريم الوسائل فإنه يجوز عند الحاجة إليه
“Sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi dokter lelaki di saat tidak ditemukan dokter wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, dan dibolehkan bagi wanita tersebut membuka di hadapan dokter lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya saja disyaratkan harus ditemani mahram tanpa khalwat dengan dokter lelaki tersebut, sebab khalwat diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Telah disebutkan pula oleh para ulama –semoga Allah merahmati mereka- bahwa perkara ini dibolehkan karena dia diharamkan dengan sebab sebagai wasilah (pengantar kepada zina) dan sesuatu yang diharamkan karena dia sebagai wasilah dibolehkan dalam kondisi dibutuhkan.”
2.   Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati lil buhusil alamiyati wal ifta’i No. 3201 tanggal 1/9/1400 H
إذا تيسر الكشف على المرأة وعلاجها عند طبيبة مسلمة لم يجز أن يكشف عليها ويعالجها طبيب ولو كان مسلما , وإذا لم يتيسر ذلك واضطرت للعلاج جاز أن يكشف عليها طبيب مسلم بحضور زوجها أو محرم لها , خشية الفتنة أو وقوع ما لا تحمد عقباه , فإن لم يتيسر المسلم فطبيب كافر بالشرط المتقدم . وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada dokter wanita yang muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya dan melakukan pengobatan kepada dokter lelaki meskipun dia seorang muslim. Namun jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa melakukannya karena pengobatan, maka boleh dibuka auratnya oleh dokter lelaki muslim dengan kehadiran suaminya atau mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau terjatuh kedalam perkara yang tidak disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan dokter lelaki muslim, maka dibolehkan dokter lelaki kafir dengan syarat yang telah disebutkan.[1]
III.   Analisis
Islam sangat menghargai tugas kesehatan, karena tugas ini adalah tugas kemanusiaan yang sangat mulia, sebab menolong sesama manusia yang sedang menderita. Dan menurut Islam, hubungan antara petugas kesehatan dengan pasien adalah sebagai hubungan penjual jasa dengan pemakai jasa, sebab si pasien dapat memanfaatkan ilmu, keterampilan, keahlian petugas kesehatan, sedangkan petugas kesehatan memperoleh imbalan atas profesinya berupa gaji atau honor. Karena itulah terjadilah akad ijarah antara kedua belah pihak, ialah suatu akad, di mana satu pihak memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan keahlian pihak lain, dengan memberi imbalannya.[2]
Namun semua itu ada ukuran dan batasannya. Dalam masalah merawat dan mengobati pasien di dalam dunia kedokteran, secara umum Islam mengizinkan hal itu terjadi walau antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini bisa saja dokter laki-laki dan pasiennya perempuan, atau sebaliknya. Kecuali untuk jenis penyakit tertentu dan penanganan tertentu yang mengharuskan dengan sesama jenis.
1.      Haram Melihat Aurat
Laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau mahram, diharamkan saling melihat aurat.
Dari Ummi Hani’ berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW. di tahun kemenangan, namun beliau sedang mandi dan Fatimah menutupinya. Beliau SAW. bertanya, “siapakah anda?”. Dan aku pun menjawab, “Umu Hani”. (H.R. Bukhari)
Keharaman laki-laki melihat aurat wanita dan wanita melihat aurat laki-laki pada dasarnya berlaku dalam urusan perawatan kesehatan dan penyembuhan. Tentu dikecualikan dalam keadaan darurat yang mempertaruhkan nyawa atau yang memenuhi ketentuan syariat.
2.      Haram Menyentuh
Keharaman menyentuh tubuh atau kulit dari lawan jenis adalah hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama, atau pendapat jumhur ulama. Kalau pun ada pengecualian, namun hukum asalnya adalah at-tahrim (keharaman).
Dari Aisyah RA. Berkata, “Telapak tangan Rasulullah SAW. tidak pernah menyentuh telapak tangan seorang perempuan pun, dan beliau bersabda ketika membaiat para wanita: Aku telah membaiat kalian lewat ucapan. (H.R. Muslim)
Dan pada dasarnya keharaman sentuhan kulit ini juga berlaku pada dokter atau perawat laki-laki yang menangani pasien perempuan, dan dokter atau perawat perempuan yang menangani pasien laki-laki. Tentu dikecualikan dalam keadaan darurat yang mempertaruhkan nyawa, atau yang memenuhi ketentuan syariat.
3.      Haram Berduaan
Selain diharamkan melihat aurat dan menyentuhnya, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram juga diharamkan untuk bersepi-sepi berdua. Tanpa ada kehadiran mahram.[3]
Adapun duduk berkhalwat dengan dokter pria, meskipun dalam waktu yang lama, semata-mata hanya karena tujuan pengobatan dan selama dokter itu seorang muslim yang dapat dipercaya dan baik akhlaknya dan selama itu merupakan keharusan, maka hal itu tidak dilarang.[4]
Dalam keadaan darurat itu membolehkan segala yang dilarang, menurut kaidah Ushul fiqh yang disepakati oleh sekalian ulama ushul. Dengan demikian, dokter boleh melihat dan memegang bagian badan yang memerlukan pengobatan dan pemeriksaan sekalipun kepada aurat terbesar. Ini berlaku umum baik terhadap tubuh pria maupun tubuh wanita atau sebaliknya.[5]


[1] http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1694 diakses 9 November 2012.
[2] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. III, (Libanon: Darul Fikar, 1981), hlm. 198 – 205.
[3] Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (13) : Kedokteran, (Jakarta: DU Publishing, 2011), hlm. 306 – 310.
[4] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Anda Bertanya Islam..., hlm. 404
[5] Said Abdullah Al-Hamdani, Risalah Djanaiz, (Bandung: P.T. Al-Ma’arif, t.th.), hlm. 19.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template