Headlines News :
Home » » HUKUM PERNIKAHAN DENGAN ORANG YANG TERKENA PENYAKIT HIV/AIDS

HUKUM PERNIKAHAN DENGAN ORANG YANG TERKENA PENYAKIT HIV/AIDS

Written By Figur Pasha on Monday, January 21, 2013 | 3:18 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

       I.            PENDAHULUAN
Sebagai agama yang ajarannya penuh rahmat bagi penghuni dunia ini (rahmatan lil ‘alamin), Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan bagi pemeluknya. Ajaran Islam sarat dengan tuntunan untuk merawat dan memperlakukan orang yang sakit dengan baik. ‘iyadah al-Maridh yang sangat digalakkan oleh  Islam sebenarnya, tidak ahnya berarti menengok orang yang sakit, sebagaimana yang dipahami selama ini, melainkan juga berarti merawat dan mengobati orang yang sakit.
Manusia di tuntut untuk selalu memperhatikan orang-orang yang sakit dengan memberikan bantuan baik moril maupun materiil, sehingga mereka tidak merasa terkucil, khususnya secara moril dari masyarakat. Sementara itu, ajaran Islam juga sarat dengan tuntunan untuk menghindari hal-hal yang membahayakan, apalagi penyakit yang berpotensi untuk menular.
Karenanya tanpa mengurangi perlakuan yang baik kepada orang yang sakit, Islam mengajarkan agar kita waspadai dan menghindari kemungkinan penularan penyakit dari orang yang sakit tersebut.
Anjuran Islam untuk memperhatikan dan memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang sakit itu juga termasuk orang-orang yang terkena penyakit HIV/AIDS.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang Bagaimana hukum pernikahan orang yang terkena penyakit HIV/AIDS menurut pandangan Islam.

    II.            LANDASAN HUKUM

A.                 Al-Qur’an
Artinya:..”, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...( al-baqarah:195)
B.                 Hadis
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ  ( رواه احمد و البيحق و الحكيم و ابن ماجة )
Artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”(HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, dan Ibnu Majah)[1]. 
عن ابي هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم , يُوْرَدُ لاَ مُمَرِضٌ عَلَى مُصِخُ. (رواه البخارى و المسلم)
                        Artinya dari Abu hurairah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:Tidak boleh dicampur orang yang sakit dengan orang yang sehat ( HR. Al-Bukhari dan Muslim).[2]
C.                 Pandangan Ulama
اَلضِّرَرَيُزَالُ
Artinya: “setiap bahaya harus dihindarkan”[3]
الْمَصَالِح جَلْبٍ عَلَى مُقَدَّمٌ سِدِ الْمَفَا دَرْءُ
Artinya : mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan.[4]      
 III.            ANALISIS
Penyakit HIV/AIDS dimana 80%-90% penyebabnya adalah berzina, merupakan penyakit yang sangat berbahaya, khususnya bagi orang-orang yang tidak memiliki akhlak yang tidak terpuji. Penyakit ini merupakan musibah yang dapat menimpa siapa saja termasuk orang-orang yang berakhlakul karimah. Orang yang terkena musibah ini belum tentu akibat dosa yang diperbuatnya, tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain[5].
Seseorang yang menderita HIV/AIDS pertama kali akan mengalami gejala-gejala seperti penyakit influenza, namun penyakit itu kemudian akan menjadi bervariasi selama kurun waktu antara waktu 6-7 tahun atau rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 athun pada orang dewasa. Disamping itu, diperhatikan gejala klinis lainnya, antara lain: kelainan pada kulit kepala dan rambut kepala, kulit muka dan bagian lainnya, hidung ,mata, rongga mulut, paru-paru, alat kelamin, dan berat badan semakin susut hingga tulang berbaut kulit.[6]
Karena sangat berbahayanya penyakit HIV/AIDS itu, maka disini timbul permasalahan mengenai bagaimana hukumnya menikah dengan orang yang terkena penyakit HIV/AIDS, dimana penyakit itu sangat berbahaya dan menular.
Anjuran Islam untuk memperhatikan  dan memperlakukan  dengan baik kepada orang-orang yang sakit itu juga termasuk orang-orang yang menderita virus HIV/AIDS. namun tentu jangan sampai perlakuan yang baik itu justru akan mengorbankan orang lain yang tidak terkena HIV menjadi terkena. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Kaidah fiqih menyebutkan:Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain”.
Hukum pernikahan penderita HIV/AIDS dibedakan menjadi dua hukum, yaitu:
1.      Perkawinan antara seorang yang menderita HIV dengan orang yang tidak  menderita   HIV/AIDS:
a)        Apabila HIV/AIDS itu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (maradhdaim), maka hukum tersebut dalam kifayah Al-Akhyar III (38) sebagai berikut:
أَلْحَالَةُ الثَا نِيَةُ اَنْ يَجِدَ مؤْنً النِكَاحِ وَلَكِنَاهُ غَيْرُمُحْتَاجٍ اِلَيْهِ اِمَّا لِعَجْزِهِ بِجُبٍّ اَوْ تَعْنِيْنٍ اَوْكَا نَ بِهِ مَرَضٌ دَائِمً وَنَحْوِهِ وَهَذَااَيْضًا يَكْرَهُ النِّكَاحُ
keadaan kedua, yaitu laki-laki yang mempunyai biaya perkawinan,           Tersebut dalam Al Fiqh al-IslamyWaAdilatuhu VII (32):
وَيَكْرَهُ عِنْدَ اَلشَّافِعِيَةِ لِمَنْ بِهِ عِلَةِ كَهَرَمِ اَوْتَعْنِيْنٍ اَوْ مَرَضٍ دَائِمٍ اَوْ كَانَ مَمْسُوْحًا وَيَحْرُمُ النِّكَاحُ إِذَا تَيَقَّنَ الشَخْصُ ظُلْمُ الْمَرْاَةِ وَاْلاِضْرَارَ بِهَا اِذَاتَزَوَّجَ
 “Menurut mazhab  Syafi’i, orang  yang sakit  seperti  lanjut usia atau  sakit  kronis  atau impoten yang tidak bisa disembuhkan, “Makruh” untuk menikah.
                 b). Apabila HIV/AIDS itu selalu dianggap sebagai penyakit yang sulit disembuhkan, juga diyakini membahayakan orang lain,             maka hukumnya”haram”. Tersebut dalam Al-Fiqh al-Islamy WaAdilatuhu V11(83):
وَيَحْرُمُ النِّكَاحَ اِذَا تَيَقَّنَ الشَّخْصُ ظُلْمُ الْمَرْآَةِ وَاْلاِضْرَارُبِهَا َإِذَا تَزَوَّجَ
      Apabila laki-laki yakin bahwa perkawinanya akan mendzhalimi dan    menimpakan kemadharatan atas perempuan yang akan dikawininya. Maka      hukum perkawinanya “ haram”[7]
2.      Perkawinan antara dua orang (laki-laki dan wanita) yang sama-sama menderita  HIV/AIDS hukumnya “boleh”.
                  Dalam Asnal Mathalib jus III menjelaskan hukum pernikahan keduanya(pengidap HIV/AIDS) adalah sah, namun makruh,
يَصِخُّ نِكَا حُهُمَا مَعَ الكَرَاهَةِ وَكَذَاباِلبَرَصِ وَالجُذّامِ غَيْرَاَلحَادِثِيْنَ لِأَنَّهُمْ يُعَبِّرُوْنَ بِكُلِّ مِنْهُمَا وَلِأَنَّ اْلعَيْبَ قَدْ ىَتَعَدَّى اِلَيْهَا وَ اِلَى نَسْلِهَا .(أسنى المطا لب 3/186)
   Dan sah namun makruh pernikahan keduanya( pengidap HIV/AIDS). Demikian halnya penderita kusta dan lepra yang sudah lama, karena mereka menganggapnya sama dengan keduanya dan karena aib bisa menimpanya dan keturunanya[8].
                    Menurut ketua MUI, KH.Ma’ruf dalam fatwanya yaitu: Bagi   Suami atau istri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan HIV/AIDS,’’ .                Selain itu, menurut fatwa tersebut, suami atau istri yang menderita HIV/AIDS diminta untuk tidak memperoleh keturunan, namun jika ibu penderita HIV/AIDS hamil, tidak boleh menggugurkan kandungannya.Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT surat Al-Isra: 31[9]
 ‘’Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” ( QS.Al- Isra: 31).


[1] Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, ( Jakarta:  Erlangga,2011), hlm. 357.
[2] Ahsin W Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta:Amzah,2010), Cet.2, hlm.55.
[3]  Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI . . ., hlm. 357.
[4] Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI . . ., hlm. 481.
                [5] Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI . . ., hlm. 352.
[6] Ahsin W Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta:Amzah,2010), Cet.2, hlm. 58.
[7] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: departemen Agama RI, 2003),  hlm.228.
[8] Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (  Jawa Timur:  LTNU,2004),  hlm.512.
[9]www. Republika.co.id... 07/11/2012, 16.00

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template