Headlines News :
Home » » HUKUM KHITAN BAGI WANITA DALAM ISLAM

HUKUM KHITAN BAGI WANITA DALAM ISLAM

Written By Figur Pasha on Monday, January 21, 2013 | 3:15 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.         Pendahuluan
Khitan atau sunat (tetakan, Jawa) untuk anak-anak pria telah membudaya di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sedangkan khitan untuk anak-anak wanita tidak membudaya di Indonesia.
Keluarga Muslim di Indonesia biasanya mengkhitankan anak-anak prianya pada usia sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah, yakni sekitar umur 6 – 12 tahun. Sedangkan mengkhitankan anak-anak perempuan, di masyarakat Jawa dan Madura misalnya, anak perempuan dikhitankan ketika masih bayi, yang dilakukan oleh dukun atau bidan, ketika anak itu berumur 7 – 40 hari. Tetapi di masyarakat Sulawesi mempunyai cara lain; yaitu anak perempuan dikhitankan bersamaan waktunya dengan upacara khataman Al-Qur’an.
Dalam makalah ini akan di jelaskan secara singkat berkaitan hukum khitan bagi wanita, apa saja landasan hukum yang dipakai, bagaimana pendapat para ulama tentang hukum khitan bagi wanita, dan bagaimana menganalisa tentang hukum tersebut.
II.      Landasan Hukum
A.    Al-Qur’an
  
kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan. (Q.S. An-Nahl : 123)
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (Q.S. An-Nisaa : 125)
B.     Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَن رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ؛ أَنَّهُ قَالَ: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأظْفَارِ، وَنَتْفُ الإبَطِ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: ada lima perkara yang termasuk fitrah: berkhitan, mencukur  bulu  kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. (H.R. Muslim)[1]
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah istri Nabi SAW. ia berkata: “Apabila bertemu du khitan maka wajiblah mandi, aku dan Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi”. (H.R. At-Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dari Aisyah RA.)[2]
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Dari Ummu ‘Ahiyah RA. diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang sunat/ khitan, lalu Rasulullah SAW. bersabda kepada perempuan tersebut: “Janganlah berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan dan paling disukai lelaki (suaminya)”. (H.R. Abu Daud)[3]
C.     Pandangan Ulama
"... وَقَدْ أَخَذَ بِظَاهِرِهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٌ فَقَالاَ سُنَّةٌ مُطْلَقًا وَقَالَ أَحْمَدُ وَاجِبٌ لِلذَّكَرِ سُنَّةٌ لِلأُ نْثَى وَأَوْجَبَهُ الشَّافِعِيَّ عَلَيْهِمَا"
“Berdasarkan zhahir hadits, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hukum khitan adalah sunah secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), Imam Ahmad berpendapat wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, sedang Imam Syafii berpendapat wajib atas keduanya”.[4]
1.      Pendapat Imam Syafii RA. : “Wajib bagi laki-laki dan perempuan”.
2.      Pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal RA. : “Wajib bagi laki-laki tetapi bagi perempuan tidak”.
3.      Pendapat Imam Abu Hanifah RA. : “Bagi laki-laki sunah sedang perempuan satu kehormatan (perbuatan baik)”.
4.      Pendapat Imam Malik RA. : “Bagi laki-laki maupun perempuan sunnah”.
5.      Pendapat banyak ahli fiqih yang lain : “Bagi laki-laki sunah dan bagi wanita dibolehkan apabila ada kelebihan yang menonjol (klitoris). Apabila tidak ada kelebihan itu, tidak usah dikurangi”.[5]

III.   Analisis
Perkataan khitan wanita adalah terjemahan dari Bahasa Arab خِتَانُ الاُنْثَى atau خِتَانُ الْبَنَاتِ (khitan anak perempuan). Dan dikatakan juga خَفْضُ البَنَاتِ (menurunkan kepekaan alat kelamin anak perempuan). Karena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksualnya) di masa remaja dapat terkendalikan.[6]
Khitan pada perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian atas farj. Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama.[7]
Khitan merupakan sunnah fitrah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Lima perkara termasuk fitrah, istihdad (mencukur bulu kemaluan), khitan, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.
Maksud sabda tersebut, jika semua perkara ini dikerjakan maka pelakunya akan mendapat fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada hamba-Nya sehingga hal tersebut disunnahkan dan dianjurkan agar mereka mendapatkan sifat yang paling sempurna dan pribadi yang paling mulia.[8]
Mengenai hukum khitan, para fukaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat. Ada yang berpendapat wajib khitan bagi anak pria dan wanita. Ada pula yang berkata, sunnah bagi keduanya. Dan ada pula yang berfatwa, wajib bagi anak pria saja, sedangkan bagi anak wanita bukan wajib dan bukan sunnah, melainkan hanya sebagai kehormatan.
Menurut Mahmud Syaltut, masalah khitan ini termasuk masalah ijtihadiyah, karena tidak adanya nas Al-Qur’an dan Hadits yang sahih (jelas petunjuknya) yang menjelaskan khitan ini. Karena itu, wajarlah kalau terdapat perbedaan pendapat dikalangkan ulama tentang hukum khitan. Hanya terkadang pendapat mereka berlebih-lebihan, misalnya mewajibkan khitan dengan memakai dalil syar’i yang tidak proporsional atau tidak mendasar.[9]
Mengenai masalah ini, keadaan di masing-masing negara Islam tidak sama. Artinya, ada yang melaksanakan khitan wanita dan ada pula yang tidak. Namun bagaimanapun, bagi orang yang memandang bahwa mengkhitan wanita itu lebih baik bagi anak-anaknya, maka hendaklah ia melakukannya. Akan hal orang yang tidak melakukannya, maka tidaklah ia berdosa, karena khitan itu tidak lebih dari sekedar memuliakan wanita.[10]
Di samping mengandung fungsi kesucian, kebersihan, dan berhias, khitan juga dapat meredam syahwat yang jika berlebihan akan membuat manusia disamakan dengan hewan, sementara jika ditiadakan sama sekali akan membuatnya disamakan dengan benda mati. Di sini, khitan hadir menyeimbangkan syahwat manusia. Dunia kedokteran masih terus menemukan lebih banyak lagi kegunaan syariat khitan yang dibawa oleh ajaran agama Islam.[11]

Adapun hikmah khitan bagi wanita jika telah bersuami akan menimbulkan kebaikan dalam segi perhubungannya, dan membawa kebaikan bagi dirinya.
Dalam melaksanakan khitan itu harus dilakukan dengan cara yang hati-hati, melalui dokter wanita yang mahir, atau dokter laki-laki yang ahli pula jika ketika akan menyunat anak wanita itu tidak ada dokter wanita. Dalam hadits juga diterangkan tentang perlunya khitan bagi wanita itu dengan cara yang paling sedikit atau meringankan, tidak berlebih-lebihan dan tidak menyiksa pada wanita yang sedang dikhitan itu.[12]


[1] Muslim bin al-Hijij Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim Juz II, (Bandung: Dahlan, t.th.), hlm. 49.
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemah Tamamul Minnah, terj. Afifuddin Said, (Tegal: Maktabah Salafy Press, 2002), hlm. 69.
[3] Sirojuddin Iqbal, Terjemahan Al-Minhaajul Mubin Fii Adillatiddin, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 245.
[4] Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 233.
[5] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, terj. Abu Abdillah Al Mansur, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 404.
[6] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah; Berbagi Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini ,jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 7.
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid I, (Damaskus: Daar al-Fikr al-Islami, 1985), hlm. 356.
[8] Su’ad Ibrahim Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, terj. Nadirsah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 147
[9] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 174.
[10] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid I, terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 555.
[11] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, terj. Kamran As’at Irsyady, dkk, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 17.
[12] Husein Bahreisj, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al Ikhlas, 1987), hlm. 323 – 324.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template