I.
PENDAHULUAN
Seiring dengan tumbuh kembangnya
seorang anak, tentunya banyak pihak yang mempengaruhinya. Pertama dalam
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan agama, dan lingkungan
pergaulan. Dalam hal ini, pemakalah akan membahas mengenai lingkungan pendidikan,
yang berfokus dengan pendidikan karakter dan pendidikan Islam. Pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan dua pihak sekaligus. Pihak pertama
subjek pendidikan, yaitu pihak yang melaksanakan pendidikan, sedang pihak kedua
adalah objek pendidikan, yaitu pihak yang menerima pendidikan. Bagaimanakah
pendidikan karakter itu?
Lebih lanjut akan di uraikan dalam pembahasan makalah ini.
II.
PERMASALAHAN
A. Pengertian, Tujuan dan dasar Pendidikan Karakter
B. Pendidikan
Karakter dalam Pendidikan Islam
C. Pengembangan Kepribadian Islam
D. Dasar Etika Sosial
III. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Karakter
- Pengertian Pendidikan Karakter
Secara umum, istilah karakter sering
diasosiasikan dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya, seolah
definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan
konteks lingkungan.[1]
Dari segi etimologi, karakter berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang berprilaku sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Sedangkan dari segi istilah,
karakter sering dipandang sebagai cara berfikir dan berperilaku yang menjadi
ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan
yang ia buat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter pada hakekatnya ingin membentuk individu menjadi seorang
pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dalam
relasinya dengan orang lain dan dunianya dalam komunitas pendidikan. Dengan
demikian pendidikan karakter senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan
individu bermoral, cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya,
sekaligus mampu berperan aktif dalam membangun kehidupan bersama.[2]
- Tujuan Pendidikan Karakter
Manusia secara natural memang memiliki
potensi didalam dirinya. Untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan
manusia dan keterbatasan budayanya. Di pihak lain manusia juga tidak dapat abai terhadap
lingkungan sekitarnya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam
kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu atau impuls natural
(fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa
dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya
berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin
menjadi manuusiawi berarti membuat ia juga semakin menjadi makhluk yang mampu
berelasi secara sehat dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan
otonomi dan kebebasannya, sehingga ia menjadi
manusia yang bertanggungjawab.
Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang
ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan karakter
merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Peranan nilai dalam diri siswa
dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu
merupakan kedua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan.[3]
- Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah
nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai
buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil
tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energy positif dan nilai buruk
dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis
religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif
itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan).
Nilai-nilai etis moral itu berfungsi
sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan
yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan
spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang
berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai
keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia
positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat),
qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah
(jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya
manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan
Perilaku
etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep
normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi:
Istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif
individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki
integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang
berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti
yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi),
capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas
adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan
materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau
nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material
(thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan
nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif
terdiri dari:
Pertama,
kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq
(kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu
merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya
yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala
sâfilîn);
Kedua,
kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun
marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya
nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan
menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan
kekuasaan (thâghût).
Ketiga,
sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak
etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur
(congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât
(destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif
individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak
keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif).
Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan
melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus
(hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan
kompetensi yang dimiliki.[4]
B.
Pendidikan Karakter
dalam Pendidikan Islam
Pendidikan karakter merupakan langkah
penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri individu maupun bangsa.
Tetapi penting untuk segera dikemukakan bahwa pendidikan karakter harusah
melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan
sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational network
yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini.
Berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang
baik memiliki empat ciri. Pertama, keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan
kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan
sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualitaskannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga dimana setiap anggotanya saling
menghormati dan menyayangi;saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari
segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah
dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam
pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan
karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata
melalui membelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman atau pendidikan
nilai-nilai.
Lingkungan masyarakat luas juga memiliki
pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika
untuk pembentukan karakter. Dari perspektis Islam, menurut Quraish Shihab
(1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap
dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan
pandangan mereka terbatas pada “kini dan
di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, Al-Qur’an dalam banyak ayatnya
menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah
yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama.
Tujuan pendidikan karakter semestinya
diletakkan dalam kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu
atau impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk
dapat menempa dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam
dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi.[5]
C. Pengembangan Kepribadian Islam
Dalam pengembangan
kepribadian Islam, hal yang paling utama adalah pengembangan qalb (hati).Hati yaitu tempat bermuara segala hal
kebaikan ilahiyah karena ruh ada didalamnya. Secara psikologis, hati adalah
cerminan baik buruk seseorang. Rasululullah SAW bersabda:” ketahuilah bahwa
dalam jasad terdapat mudghah yang apabila baik maka baik pula sluruh anggota
tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh.ketahuilah bhwa mudghah itu
qalb."( HR.Al Bukhari dari an nu’man bin basyir). Qalb jika dirawat dan
dikembangkan potensinya,cahayanya akan
melebihi sinar matahari. Ia akan menjadi obor sepanjang zaman. Pada pembahasan
inilah hakikat pengembangan islam dan mengingat kedudukan hati yng begitu
penting, maka unsur pembuka (ladang subur) pembahasannya adalah pendekatan
agama.
Pada tahap selanjutnya
adalah pengembangan Jism ( fisik). Fisik adalah badan dan seluruh anggotanya
dapat dilihat dan diraba serta memiliki panca indera sebagai alat pelengkap.
Rasulullah saw bersabda : “ mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
Allah dibandingkan mukmin yang lemah...” (HR. Muslim). Untuk mengetahui hal-hal
apa yang harus dilakukan selama hidup, maka berikut dikutip dari Al-Qur’an tahap-tahap
penciptaan manusia.
Allah swt.
berfirman:
“dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.(12) kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim).(13) kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.(14) Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu
sekalian benar-benar akan mati.(15) Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan
dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al-Mu’minuun: 12-16)
Ayat-ayat tersebut
menginformasikan asal-usul manusia lengkap dengan batasan-batasan, yaitu
dibatasi oleh tanah dari segi fisik dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan dari segi
qalb. Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi fisik
dan psikis. Mencegahnya dari hal-hal yang merusak dan mampu menyembuhkannya
jika sudah terlanjur sakit.
Sedangkan dampak dari rusak
(sakit) nya qalb dan jism berdampak pada nafs (psikis). Psikis adalah jiwa,
yaitu tempat yang memunculkan gejala yang teraktualisasi dalam bentuk perilaku
(amaliah). Jiwa bisa sehat, sakit, atau hanya sekedar terganggu, tergantung
dari aspek mana yang paling dominan pengaruhnya. Pepatah arab mengatakan :
“tingkah laku lahir itu menunjukkan tungkah laku batin”, artinya kondisi nafs
dapat dilihat dari bagaimana seseorang berperilaku. Orang yang sedang cemas dan
gelisah dapat dilihat dari raut wajahnya yang kusut. Orang yang sedang marah
atau malu dapat dilihat dari matanya yang memerah dan sebagainya. Dengan
demikian, pengembangan kepribadian merupakan suatu proses yang dinamis. Dalam
proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan menentukan tingkah laku apa
yang akan menjadi aktual dan terwujud.[6]
D. Dasar Etika Sosial
Di dalam Islam manusia adalah
sentral ajarannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungan antar sesama
manusia maupun antara manusia dan alam. Yang paling kompleks adalah yang kedua,
yaitu hubungan antar sesama manusia. Hubungan manusia dengan Tuhannya adalah
hubungan antara si makhluk dengan khaliknya. Jelas ada subordinasi ; si makhluk
tunduk dan patuh terhadap sang Khalik. Hubungan antara manusia dengan alam (hewan,
tumbuh-tumbuhan, bumi, laut, dan lainnya) adalah hubungan antara penerima
amanat sebagai pengelola dengan penerima amanat sebagai yang dikelola: subyek
dan obyek. Sedangkan untuk hubungan antar manusia dengan manusia tidak sama
dengan kedua bentuk hubungan itu. Untuk itu, Islam mengajarkan konsep-konsep
mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban serta tanggung jawab manusia. Akibat
dari apa yang dilakukan oleh setiap manusia bukan saja mempunyai nilai dan
konsekuensi di dunia namun sekaligus juga di akhirat.
Konsep pertanggung jawaban di
akhirat ini merupakan ciri khas konsep agama. Karena bagaimanapun canggih
administrasi, tidak akan pernah terjadi tuntutan tanggung jawab di akhirat.
Apapun yang telah di kerjakan, sebagai
hal yang baik atau buruk, akan diketahui di akhirat kelak, dan akan
dipertanggung jawabkan. Jika hal itu baik, maka pahala yang akan menjadi
imbalannya, sedangkan jika hal itu buruk, maka akan ada tuntutan pertanggung
jawabannya atas perbuatan buruknya itu.[7]
[1] Doni Koesoema A., Pendidiakn Karakter,
(Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 79
[2] Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah
Salafiyah, (Semarang: PUSLIT IAIN Walisongo, 2010), hlm. 24-28
[3] Doni Koesoema A., Pendidiakn Karakter,
(Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 134
[4]http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/
[5] Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah
Salafiyah, (Semarang: PUSLIT IAIN Walisongo, 2010), hlm. 55
[7] A.
Qodry Azizy, Pendidikan Agama Untuk
Membangun Etika Sosial, ( Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 93
Joss tulisannya... ijin amankan gan. :D
ReplyDelete