I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini wacana pluralisme agama
menjadi wacana yang mulai digembar-gemborkan kembali, terutama di Indonesia.
Hal ini tidak terleplas seiring munculnya berbagai kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Agama dipandang sebagai sumber pemicu konflik antar umat
beragama itu sendiri. Konflik semacam itu sangat mungkin terjadi bahkan
intensitasnya bisa lebih tinggi jika melihat konteks Indonesia yang multi agama
dan dari masing-masing agama mengajarkan bahwa dirinyalah yang paling benar
sedangkan yang lain salah. Karena itulah konflik yang mengatasnamakan agama di
Indonesia tergolong permasalahan yang rawan terjadi sehingga perlu adanya
ajaran tentang Pluralitas Agama.[1]
Dan salah solusi yang ditawarkan
pemerintah adalah pendidikan agama yang berbasis pluralime atau
diinteralisasikan dengan mata pelajaran lain seperti dengan mata pelajaran PKN.
Selanjutnya tentang Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme akan kita bahas pada
point selanjutnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian Pendidikan
Agama Islam dan Seluk Beluknya
B.
Pengertian dan Sejarah
Pluralisme Agama
C.
Tujuan Pluralisme Agama
D.
Penerapan Pendidikan Islam
Berbasis Pluralisme
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
pendidikan Islam dan Seluk beluknya
Pendidikan dalam wacana keIslaman
lebih populer dengan istilah tarbiyah,
ta’lim, ta’dib, dan riyadhah.
Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika
sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan.[2]
1. Al-tarbiyah,
tokoh yang mengajukan istilah ini adalah Muhammad Athiyah al-Abrasyi. Menurutnya,
istilah al-tabiyah mencakup keseluruhan aktifitas pendidikan, sebab didalamnya
tercakup upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan lebih sempurna, mencapai
kebahagiaan hidup, memperkuat fisik, menyempurnakan etika, sistematisasi logika
berfikir, giat dalam berkreasi. Menurutnya al-ta’lim hanya mencakup aspek
tarbiyah aqliyah (pendidikan intelektual dan ranah kognisi atau kognitif).
2. Al-ta’lim,
tokoh yang mengajukan istilah ini adalah ‘Abd Fatah jalal. Menurutnya ta’lim
merupakan proses transmisi pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab,
dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian diri manusia dari segala
kotoran serta menjadikan manusia berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan
untuk menerima hikmah (Wisdom).
3. Al-ta’dhib,
tokohnya adalah Muhammad Al-naqwib
al-attas. Menurutnta istilah ta’dhib paling cocok digunakan untuk peristilahan
pendidikan Islam karena konsep ta’dhib mencerminkan tujuan esensial pendidikan Islam
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
4. Al-riyadhah,
tokonya adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Berdasarkan uraiannya sendiri
al-Ghazali membatasi ruang lingkup ar-riyadhah pada fase kanan-kanak.
Sedangkan secara istilah pendidikan
agama Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada
peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan
kesempurnaan hidup di dunia dan akhitrat.[3]
Selanjutnya menurut Kurshid Ahmad,
yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah 1). Alat untuk
memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa. 2). Alat
untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan yang secara garis
besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih
tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan, perubahan sosial
dan ekonomi.[4]
B. Pengertian
dan Sejarah Pluralisme Agama
1. Pengertian
Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme
agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab
diterjemahkan al-ta’addudiyah al-diniyyah
dan dalam bahasa Inggris religious
pluralism. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa
Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus
bahasa tersebut. Pluralism berarti
“jama’” atau lebih dari satu.[5]
Sedang Pluralisme agama menurut
fatwa MUI adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang
lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk
dan hidup dan berdampingan di surga.[6]
Dan pengertian pendidikan
pluralisme menurut Frans Magnez Suseno adalah suatu pendidikan yang
mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu
melintas batas kelompok batas atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita
mampu melihat “kemanusian” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan.[7]
2. Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama
Sejarah berkembangnya pluralisme
agama mulai hangat diperbincangkan ketika beberapa sekte Kristen ternyata masih
mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami sekte
mormon yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox,
sampai akhir abad ke sembilan belas ketika muncul protes keras dari presiden
Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu juga, doktrin “di luar
gereja tidak ada keselamatan” juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik,
hingga dilangsungkan Konsili Vatikan II (Vatican
Council II) pada permulaan tahun 60-an abad ke 20 yang mendeklarasikan
doktrin “keselamatan umum” bahkan bagi agama-agama selain Kristen.[8]
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih
jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap
beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya
sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini telah muncul di
India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan
muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri agama “Sikhisme”. Hanya saja
pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas gepografis regional,
sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah
semakin menipisnya pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya
interaksi kultural anatar kebudayaan dan agama dunia, kemudian dilain pihak
timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur,
khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru
kajian agama (Scientific study of
religioni), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi
pasti, dan mendapat tempat dihati para intelektual hampir secara universal.[9]
Sementara itu dalam diskursus
pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai
akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang
muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses presentasi
kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realitas
bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada
masa-masa pasca-perang dunia kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar
bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas
Barat sehingga mereka dapat berekenalan dan bergesekan langsung dengan budaya
Barat.
Ajaran pluralisme agama di
Indonesia sendiri sudah ada sejak zaman dahulu kala. Ajaran tersebut. Ajaran
tersebut bisa ditemukan dalam semboyan “ Bhineka Tunggal Ika”. Secara tersirat semboyan
itu mengajarkan untuk saling menghargai dan menerima keberagaman dan
keberbedaan Indonesia.[10]
C. Tujuan
Pluralisme Agama
Tujuan pendidikan pluralisme adalah bukan
untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena itu adalah
suatu yang absurd dan agak
menghianati suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan
yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Karena setiap agama
mempunyai sisi ideal masing-masing baik secara filosofis dan teologis yang
dibanggakan oleh para penganutnya.
Adapun langkah-langkah untuk
mewujudkan tujuan pendidikan pluralisme adalah
sebagai berikut: 1) Adanya perubahan paradigma dan pola pikir dalam menyikapi
kemajemukan budaya dalam sistem pendidikan. Wawasan pluralisme, inklusivisme,
toleransi dan non-sekterian perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto
kebangsaan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”, kemudian melakukan reorientasi visi
dam misi, serta restrukturisasi penyenggaran pendidikan nasional yang sejalan
dengan wawasan pluralisme. 2) Menyusun kurikulum yang berpendakatan lintas
budaya. 3) Merumuskan metode belajar mengajar yang interaktif yang bertujuan
untuk menghasilkan warga negara yang mempunyai sikap inklusif dan toleran
terhadap kemajemukan masyarakat.
Selain hal diatas,
tujuan pluralisme yang akan dibentuk secara khusus adalah dalam rangka
menjawab, merespon, dan mengantisipasi persoalan-persoalan kerusuhan berbau
SARA. Bentuk pendidikannya juga harus mencerminkan adanya pluralitas.
Maksudnya, guru dan muridnya harus bersifat heterogen, tidak berkotak-kotak
satu sama lain, sehingga orang-orang yang memiliki keberagaman budaya, agama,
dan etnis dapat berinteraksi secara langsung dan memungkinkan untuk saling
belajar dan memahami satu sama lain dalam satu komunitas pendidikan.
Selanjutnya dalam proses pendidikannya berbagai pemikiran-pemikiran keagamaan
dapat di kaji secara sistematik, konseptual, dan rasional dari sudut pandang
berbagai disiplin keilmuan. Dan berupaya mengembangkan dialog atau sharing pemahaman
dan pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang lain, serta
mengembangkan misi untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan terutama
dikalangan para pemeluk agama. Bentuk pluralisme semacam itu tentunya akan
dapat dijadikan sebagai jawaban atau solusi alternative bagi pemecahan masalah
yang dihadapi oleh masyarakat majemuk seperti Indonesia ini. Serta mampu
mengantisipasi dan meminimalisir ketegangan dan pertikaian antar kelompok.
Akhirnya mampu menentukan ke arah keselamatan Rahmatanlial-‘alamin menebarkan
berkah bagi seluruh masyarakat. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah
bentuk pendidikan multireligion seperti ini, akan menjadi suatu penyelesaian
bila itu di jadikan sebagai pengetahuan, sehingga timbul kesadaran untuk saling
mengerti perbedaan agamanya lebih jauh, maka tidak menghasilkan apapun.
Sehingga selain mempelajari pengetahuan multireligion untuk menanamkan nilai
universal dan solidaritas, yang harus dilakukan adalah mendalami agamanya
masing-masing secara murni untuk mendekatkan diri dari Yang Maha Kuasa. [11]
D. Penerapan
Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme
Sebelum membahas tentang bagaimana
menerapkan Pendidikan Islam berbasis Pluralisme, terlebih dahulu kita harus
tahu tentang model-model pengembangan PAI di sekolah atau perguruan tinggi.
Dalam hal terdapat tiga model yang dikemukan oleh para ahli.
1) Model
Dikotomi, pada model ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana.
Segala hal yang ada hanya dipandang dari dua sisi, seperti laki-laki dan
perempuan, ada dan tidak ada, pendidikan agama dan non agama dan lain
sebagainya. Pandangan ini akan berimplikasi pada pengembangan ukhrowi saja,
pendidikan yang bersifat duinawi tidaklah penting. Model ini berkembang pada
periode pertengahan dalam sejarah pendidikan Islam.
2) Model
Mekanisme, model ini memamdang kehidupan dari berbagai aspek, dan pendidikan
dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai-nilai kehidupan
yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik,
nilai ekonomi dan nilai-nilai yang lain.
Model tersebut dikembangkan pada sekolah atau PT yang bukan berciri khas
agama Islam, namun mungajarkan mata pelajaran atau mata kuliah agama Islam.
3) Model
Sistemik, dalam konteks ini pendidikan Islam dipandang sebagai aktifitas yang
terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama dengan
tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius. Model ini diterapkan
oleh madrasah atau sekolah swasta Islam
unggulan.[12]
Dalam pendidikan,
semua aspek kelembagaan dan proses belajar mengajarnya harus menerapkan sistem dan metode yang dapat
menyembuhkan pluralisme serta mampu menggali sisi perdamaian dan toleransi.
Oleh karenanya, di antara langkah yang di tempuh guru atau dosen, khususnya
yang terkait dengan organisasi atau kegiatan pembelajaran di kelas adalah
penentuan pendekatan dan metode. Hal tersebut merupakan elemen penting dalam
proses belajar mengajar. Berhasil dan tidaknya suatu tujuan pendidikan
tergantung pendekatan dan metode yang digunakannya. Tidak relevannya pendekatan
dan metode yang di kembangkan dalam pembelajaran pendidikan agama berbasis
pluralisme seperti ini perlu di perhatikan adanya beberapa pendekatan yang
dapat di gunakan antara lain:
1. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan
membiasakan sikap dan perilaku yang baik, terutama sekali yang berhubungan
dengan nilai seperti: tenggang rasa, toleransi, saling mengasihi, tolong
menolong dll.
2. Rasional, pendekatan yang memfungsikan rasio
peserta didik, sehingga isi dan nilai yang di tanamkan mudah di pahami dengan
penalaran. Disisi lain pendekatan akademis cenderung menempatkan proses
pendidikan agama pada orientasi objektif.
3. Emosional, upaya menggugah perasaan peserta
didik dalam memahami realitas keanekaragaman budaya dan agama dalam masyarakat.
Sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik untuk selalu menampilkan sikap
tenggang rasa dan saling menghormati antara agama satu dengan yang lainnya.
4. Fungsional, memfungsikan ajaran masing-masing
agama (termasuk agama Islam) terutama tentang pentingnya menghargai perbedaan
dengan menekankan segi manfaat dan hikmahnya bagi peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari dengan tingkat perkembangannya.[13]
Selanjutnya pendidikan berbasis
pluralisme secara tersirat tertera pada
UU Sikdiknas No.23 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”
dan UU Sikdiknas pasal 12 ayat 1a yang berbunyi: “Peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan seagama”.
[1] Quantum, Menyempurnakan Pendidikan Pluralisme, Semarang:
LPM EDUKASI, 2011, hlm. 2.
[2] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2008, cet. ke 2, hlm. 10
[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 22-28
[4] Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm.
69
[5] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Jakarta:
Perspektif, 2005, hlm. 11
[6]
http://ibnufatih.wordpress.com/2009/07/31/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-sekularisme-agama/
[7] Syamsul Ma’arif, The Baeuty of Islam “Dalam Cinta dan
Pendidikan Pluralisme”, Semarang: NEED’S PRESS, 2011, hlm 100.
[8] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, hlm. 17-18
[9] Anis malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hlm. 20-21
[10] Quantum, Menyempurnakan Pendidikan Pluralisme.
[11] Samsyul Ma’arif, The Baeuty of Islam “Dalam Cinta dan
Pendidikan Pluralisme, hlm. 102-103
[12]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 59-68.
[13] Samsyul Ma’arif, The Baeuty of Islam “Dalam Cinta dan
Pendidikan Pluralisme, hlm. 104-106
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !