I.
PENDAHULUAN
Hal yang pasti tidak akan luput dari
hidup kita sehari-hari adalah apa yang disebut dengan “masalah” atau persoalan
hidup. Dimanapun, kapanpun, apapun
dan
dengan siapapun, semua memungkinkan munculnya masalah.
Namun andaikata kita cermati secara
seksama ternyata dengan persoalan yang persis sama, sikap orang pun
berbeda-beda. Ada yang begitu panik, goyah, kalut, dan stres. Tapi ada pula
yang menghadapinya secara mantap, tenang atau bahkan malah menikmatinya. Hal
ini berarti masalah atau persoalan yang sesungguhnya bukan terletak pada
persoalannya, melainkan pada sikap terhadap persoalan tersebut.
Sungguh tiap orang sangat merindukan
hidup ini penuh kebahagiaan, kemuliaan, kehormatan, dan sukses di dunia dan
akhirat, namun sering kali tak sesuai dengan harapan. Padahal hidup di dunia
ini hanya sekali dan belum tentu lama.
Untuk itu, kita harus segera menemukan
kunci yang dapat membuka pintu karunia idaman kita. Itulah pribadi Rasulullah
Muhammad SAW yang diciptakan oleh Allah SWT bagi kita semua sebagai suri
tauladan umat. Salah satu sikap yang dapat kita tiru adalah kesabaran beliau
dari segala ujian demi menyelesaikan misinya yang agung yaitu li i’lai
kalimatillah.
Maka dari itu kami akan mencoba untuk
memaparkan mengenai Sabar Sebagai
Pengukuh Keberhasilan dalam makalah yang akan kami sajikan. Seperti penjelasan
yang ada dibawah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
Pengertian Tentang Sabar?
B.
Bagaimana Hadits
Tentang Sabar Sebagai Pengukuh Keberhasilan?
C.
Bagaimana Peran
Sabar Dalam Pendidikan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tentang
Sabar
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, bukan dari bahasa
Jawa, yang artinya walaupun ada halangan dan rintangan apapun, seseorang tetap
melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT., karena itu bukan budaya
kita yang sering menyebut sabar untuk seseorang yang mengalah tidaklah benar.
Misalnya, ada orang ditampar oleh orang lain, lalu diam saja, ini namanya Hilmu
(murahan hati), bukan sabar. Sabar itu bukan hal keberanian, seperti dalam
peribahasa ash-shabru syaja’ah (sabar adalah keberanian). Hilmu adalah
antonim dari ghadab (marah). Orang yang tidak mempunyai sifat pemarah
disebut Halim.[1]
Secara
etimologis, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs
wa al-kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu
yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah SWT. Yang tidak disukai itu tidak selamanya
terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit,
kelaparan, dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi
misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam
hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan nafsu.[2]
Sabar adalah
menahan diri dari apa yang tidak disukainya atau tabah menerimanya dengan rela
dan berserah diri. Sabar merupakan bagian dari keluhuran etika yang dibutuhkan
seorang muslim dalam masalah dunia dan agama. Sebagai muslim wajib menggunakan
hatinya dalam menanggung segala ujian dan penderitaan dengan tenang. Dalam
menunggu hasil pekerjaan bagaimana jauhnya, memikul beban hidup harus dengan
hati yang yakin, tidak ragu sedikitpun dengan ketabahan, sabar dan tawakal.
Oleh karena
itu, hendaklah senantiasa ingat kepada Allah SWT., ingat kekuasaan Allah SWT., dan
kehendak-Nya yang tidak ada seorang pun atau apa pun yang dapat menghalangi-Nya.
Kesabaran menahan hawa nafsu yang terburu-buru dalam mencapai suatu cita-cita,
dan kesabaran mengusahakan berbagai jalan ikhtiar untuk mencapai cita-cita,
disamping itu sembahyang meminta kepada Allah SWT. untuk terlaksananya harapan
yang dicita-citakan merupakan jaminan besar untuk tercapainya cita-cita,
harapan dan tujuan itu. Dan tujuh puluh kali Al-Qur’an juga menyebut kata sabar
dalam ayat-ayatnya. Hal ini menunjuk kepada besarnya derajat dan tingginya.
Al-Qur’an menjadikan saling berwasiat dengan sabar dan dengan kebenaran,
merupakan sumber keberuntungan, karena seseorang yang menyeru manusia kepada
kebenaran wajib bersifat sabar. Dikehendaki dengan sabar dalam seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an, ialah kekuatan memantapkan diri dan menanggung penderitaan
yang karena itu mudahlah menerima apa yang terjadi, apa yang mendatangi, di
dalam upaya menegakkan kebenaran.[3]
Menurut
Imam al-Ghazali, sabar merupakan ciri khas manusia, binatang dan malaikat tidak
memerlukan sifat sabar. Binatang tidak memerlukan sifat sabar karena binatang
diciptakan tunduk sepenuhnya kepada hawa nafsu, bahkan hawa nafsu itulah
satu-satunya yang mendorong binatang untuk bergerak atau diam. Binatang juga
tidak memiliki kekuatan untuk menolak hawa nafsunya. Sedangkan malaikat, tidak
memerlukan sifat sabar karena memang tidak ada hawa nafsu yang harus
dihadapinya. Malaikat selalu cenderung kepada kesucian, sehingga tidak
diperlukan sifat sabar untuk memelihara dan mempertahankan kesuciannya itu.[4]
Ketahuilah ilmu
sabar adalah membenarkan berita dari Allah SWT. tentang permusuhan yang dikobarkan oleh nafsu, setan
dan syahwat terhadap akal, makrifat dan malaikat yang suka memberi ilham
kebaikan. Pertempuran diantara mereka terus berjalan. Orang yang mampu
menundukkan tentara setan dan menolong pasukan Allah SWT. akan dimasukkan surga-Nya. Sabar merupakan kewajiban,
karena ia merupakan bagian dari iman
kepada Allah SWT.[5]
B.
Hadits Tentang Sabar Sebagai Pengukuh Keberhasilan
وَعَنْ اَبِي
مَا لِكٍ الْحَارِثِ بِنْ عَاصِمٍ الْاَشْعَرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ .قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :الَطَّهُورُ شَطْرُ الْاِيْمَانِ,
وَالْحَمْدُ للهِ تَمْلَأُ اْلمِيْزَانِ وَسُبْحَانَ اَللهِ وَاْلحَمْدُ للهَ تَمْلَأَنِ
اَوْ تَمْلَأُ مَابَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ, وَالصَّلَاةُ نُورٌ, وَالصَّدَقَةُ
بُرْهَانٌ, وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ, وَالْقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ, كُلُّ
النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا(
رواه مسلم
[6](
Artinya: “Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashyim Al-Asyari ra,
ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ suci adalah sebagian dari iman, membaca
Alhamdulillah dapat memenuhi timbangan, Subhanallah wal Hamdulillah itu dapat
mmenuhi semua yang ada di antara langit dan bumi, shalat itu adalah cahaya,
sedekah itu adalah bukti iman, ,sabar itu adalah pelita dan Al-quran untuk
berhujjah (berargumentasi terhadap yang kamu sukai ataupun terhadap yang tidak
kamu sukai)”. Semua orang
pada waktu pagi menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya, dan ada pula
yang membinasakan dirinya. (HR. Muslim).
Dalam hadits ini terang sekali
menunjukkan bahwa iman bukan hanya kepercayaan yang hampa, tetapi kebersihan
itu separuh dari iman, kalau iman itu sebagai kebersihan jiwa, pikiran dari
kepercayaan khurafat, maka kebersihan lahir, perut, badan, pakaian,
kantong (saku) itu semuanya termasuk setengah dari iman.
Dan ucapan Alhamdulillah
(segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan dari pikiran yang sehat dan
sempurna pasti akan menimbulkan rasa syukur dan memuji kepada Allah SWT. atas
segala nikmat yang diterimanya, dan kejadian-kejadian yang di sekitarnya.
Demikian pula kalimat Subhanallah Walhamdulillah (maha suci Allah dan
segala pujian bagi Allah), kedua kalimat ini kalau diperhatikan memenuhi
angkasa yang di antara langit dan bumi, semua yang terlihat oleh mata, dan
terdengar oleh telinga, kesemuanya menimbulkan ta’ajub yang mengartikan
kebesaran Allah SWT., serta kesucian-Nya dari segala sifat-sifat kekurangan,
disamping menimbulkan rasa puja dan puji kepada Allah SWT. Sembahyang dan
kesabaran sebagai pelita dan penerangan yang menyinari kehidupan manusia. Dan
sedekah membuktikan adanya iman dalam dadanya, juga Qur’an sebagai bukti yang
membela kepadanya, jika ia benar-benar menjalankan segala ajaran yang
terkandung didalamnya dan akan menentang kepadanya jika ternyata ia melanggar
ajarannya. Tiap manusia pada setiap hari menjual dirinya dan yang menjualnya
kepada Allah SWT., dengan menurut kepada tuntunan-Nya berarti telah membebaskan
dirinya dari pengaruh setan kesesatan, sebaliknya jika ia menjual dirinya pada
setan, berarti telah menjerumuskan dirinya ke dalam kesesatan dan lembah
kehinaan.[7]
Adapun
sabda Rasulullah SAW.,
“sabar itu adalah pelita” mempunyai arti sabar yang sesuai dengan syara’ yaitu
sabar untuk ta’at
pada Allah SWT.,
sabar untuk tidak mendurhakai-Nya dan sabar atas beberapa musibah dan segala
macam perkara yang tidak menyenangkan didunia.[8]
Ibnu
Abbas r.a pernah berkata, “hakikat kesabaran dalam Al-Qur’an ada tiga jenis,
yaitu sabar untuk menunaikan kewajiban-kewajiban karena mengharap keridhaan
Allah Ta’ala, dimana kesabaran jenis ini menjanjikan keutamaan berupa
peningkatan tiga ratus derajat kebaikan. Kedua, sabar untuk tidak melanggar
larangan-larangan Allah Ta’ala, dimana kesabaran jenis ini menjanjikan enam
ratus derajat kebaikan. Dan sabar dalam menghadapi musibah pada benturan yang
pertama, dimana kesabaran jenis ini menjanjikan Sembilan ratus derajat
kebaikan.”[9]
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :مَرًّ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
امْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ, فَقَالَ :اتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِى فَقَالَتْ
:إِلَيْكَ عَنِّى .فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيْبَتِى وَلَمْ تَعْرِفْهُ,
فَقِيْلَ لَهَا :إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَتَتْ بَابً النَّبِيِّ فَلَمْ تَجِدْعِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ, فَقَالَتْ: لَمْ
أَعْرِفْكَ, فَقَالَ : إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَتِ الْأُولَى. متفق
عليه. وَفِى رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: تَبْكِى عَلَى صَبِيِّ لَهَا[10]
Artinya: “Dari Anas, ia berkata: “Sewaktu Nabi SAW. menjumpai
seseorang wanita sedang menangis di atas kubur, maka beliau bersabda: “Bertakwalah
kepada Allah SWT. dan bersabarlah” wanita
itu berkata: “pergilah dari sini karena sesungguhnya engkau tidak tertimpa musibah
sebagaimana yang aku alami” wanita itu tidak tahu bahwa yang
berkata adalah Nabi SAW. Kemudian ada
seseorang yang memberitahukan kalau itu adalah Nabi SAW. Maka wanita itu segera
datang ke rumah beliau, dan ia tidak menjumpai para penjaga pintu, sehingga
dengan mudah ia masukinya kemudian ia berkata: ”saya tidak tahu kalau yang
berkata tadi adalah engkau.” Maka Nabi
SAW. bersabda :
”sesungguhnya sabar itu hanyalah pada hari pertama dari musibah itu”. ( HR.Bukhari dan Muslim ).
Hadits
diatas menjelaskan letak kesabaran, yaitu dalam pukulan pertama dari bala’
(pada waktu manusia sedang bingung menghadapinya) dan berusaha mencari
perlindungan serta sandaran, maka kalau pada waktu itu dapat menahan diri dari
berbagai gangguan, setan yang
merasa mendapat kesempatan baik untuk menjerumuskan, maka itulah sabar.[11]
Dikatakan demikian
karena bila pada tengah-tengahnya seseorang bisa saja bersikap sabar karena
telah terbiasa dengannya. Makna lain dari sabar ialah tidak menyerah pada kesulitan,
tidak lari dari kesulitan, tetapi berani mengatasi kesulitan itu tanpa berkeluh
kesah dan tanpa berburuk sangka maka engkau akan keluar sebagai pemenang.[12]
Tingkat kesabaran
yang paling berat adalah ketika harus menahan keinginan nafsu dan melampiaskan
pada saluran yang dibenarkan syari’at. Salah satu kondisi yang harus disikapi
dan membutuhkan tingkat kesabaran yang sangat tinggi adalah, ketika seseorang
diganggu oleh orang lain dengan ucapan maupun perbuatan. Seorang sahabat pernah
mengatakan, “kami tidak menganggap keimanan seseorang sampai pada tataran yang
sempurna, sebelum ia mampu bersabar atas gangguan orang lain kepada dirinya.” Kesabaran
jenis ini terkadang dibutuhkan pula terhadap perbuatan diri sendiri, yakni
dengan cara tabah di dalam menghadapinya. Dan terkadang pula atas balasan yang
ia terima. Dan keduanya sama-sama menjanjikan kesempurnaan iman.
Ada pendapat yang
mengatakan, kesabaran yang terbaik ialah, yang tidak diketahui oleh orang yang
sedang terkena musibah bahwa dirinya sungguh-sungguh bersabar atasnya. Meski
demikian, sangat sulit mencapai tingkatan tersebut, kecuali harus didahului
dengan latihan yang sangat panjang dalam waktu yang cukup lama. Wallahu a’lam.[13]
وَعَنْ أَبِي
سَعِيْدٍ سَعْدِبْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ
نَاسًا مِنَ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَاهُمْ
ثُمَّ سَأَلُواهُ فَأَعْطَاهُمْ حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُمْ حِيْنَ
أَنْفَقَ كُلَّ شَيْئٍ بِيَدِهِ :مَا يَكُنْ عِنْدِى مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ
عَنْكُمْ, وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهَ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءَ خَيْرًا وَأَوْسَعَ
مِنَ الصَّبْرِ.( رواه بخاري و أخرجه مسلم و البيهقى )[14]
Artinya: “Dari Abu
Said (Sa’ad) bin Malik
Al-Khudri ra, ia berkata: “ ada beberapa sahabat Anshar meminta
sesuatu kepada Rasuliullah SAW, maka beliau memberinya, kemudian mereka meminta
lagi dan beliaupun memberinya sehingga habislah apa yang ada pada beliau. Ketika
beliau memberikan semua yang ada di tangannya, beliau bersabda kepada mereka: “
semua kebaikan yang ada padaku tidak akan aku sembunyikan pada kalian. Siapa
saja yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah SWT.
pun akan menjaganya dan siapa saja
yang merasa cukup, maka Allah SWT akan mencukupinya. Serta siapa saja yang menyabarkan
dirinya, maka Allah SWT. pun akan memberikan kesabaran, dan seorang
tidak akan mendapatkan anugerah yang lebih baik atau yang lebih lapang melebihi
kesabaran ”. (
HR.Bukhari, Muslim,
dan Baihaqi ).
Menurut Al-Hafizh:
orang Anshar ini tidak diketahui namanya. Menurut riwayat An-Nasa’iy, Abu Said
adalah salah seorang diantara mereka. Barang siapa bersabar dan tidak menerima
pemberian, maka dialah yang memperoleh puncak kemenangan, karena kesabaranlah
yang mencakup segala keutamaan budi.[15] Hadits ini
menganjurkan kita supaya memelihara diri dari meminta-minta dan memelihara diri
dari haram dan menyuruh kita bersabar atas kesempitan hidup dan
penderitaan-penderitaan yang lain.[16]
Hadits ini
memberi pengertian bahwa kesopanan diri dan kesabaran itu terjadi dengan
latihan dan usaha perjuangan melawan hawa nafsu, tidak semata-mata datang tanpa
usaha ikhtiar. Dan Allah SWT. disamping ikhtiar usaha kita itu, akan membantu
(menolong) sehingga terlaksana. Sebab kejadian manusia mempunyai bakat untuk
menerima kebaikan dan kejahatan hampir bersamaan. Karena itu agama menganjurkan
manusia supaya berjihad melawan hawa nafsu kejahatannya, justru untuk
kepentingannya sendiri.[17]
C.
Peran Sabar
Dalam Pendidikan
Secara singkat
dapat kita ambil pelajaran bahwa penjelasan hadits-hadits diatas, merupakan
saran bagi kita selaku umat yang beragama dan mempunyai akhlak. Kita dianjurkan
supaya bisa mengaplikasikan sabar pada setiap langkah kehidupan kita. Agar segala
cita-cita yang kita hajatkan akan tercapai sesuai dengan harapan.
Ketahuilah,
bahwa kesabaran dan ketabahan atau ketekunan adalah pokok dari segala urusan.
Tapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, sebagaimana kata
sebuah syair yang artinya, “setiap orang pasti mempunyai hasrat memperoleh
kedudukan atau martabat yang mulia, namun jarang sekali orang yang mempunyai
sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet.”[18]
Ketidaksabaran
dengan segala bentuknya adalah sifat yang tercela, orang yang dihinggapi sifat
ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami kegagalan akan mudah goyah,
berputus asa dan mundur dari medan perjuangan. Sebaliknya apabila mendapatkan
keberhasilan juga cepat lupa diri.[19]
Sabar
merupakan aspek yang penting dalam suatu proses kependidikan, sering kali bagi
para pencari ilmu dilanda berbagai cobaan yang merintang, entah itu bersifat
jasmani maupun rohani tergantung pada pelajar tersebut, apakah ia mampu
melewati cobaan tersebut dengan sabar, sehingga ia dapat memperoleh cita-cita atau
sesuatu yang ia inginkan ataukah malah menyerah dari hal tersebut, sehingga ia
akan terseret pada jurang kehinaan. Ada penya’ir berkatakan, “gudang simpanan
cita, terletak pada banyaknya bencana”.
Maka sebaiknya pelajar mempunyai
hati tabah dan sabar dalam belajar kepada sang guru, dalam mempelajari suatu
kitab atau buku pelajaran jangan sampai ditinggalkan sebelum sempurna
dipelajari, dalam suatu bidang ilmu hendaklah jangan sampai berpindah bidang
lain sebelum memahaminya benar-benar, dan juga dalam tempat belajar jangan
sampai berpindah kelain daerah kecuali karena terpaksa.
[1] Abdul
Wahid Zuhdi, Fikih Kemasyarakatan, (Grobogan Jateng: PP. Fadlul Wahid
Ngangkruk Bandungasari Ngaringan, 2006), hlm. 135.
[3] Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqiy, Kriteria Sunah dan Bid’ah, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 151-152.
[5] Imam
Ghozali, Roudhah ath-Thalibin, terj. Ija Suntana, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2009), hlm. 185.
[7] Imam
Nawawi, Riadhus Shalihin I, terj. Salim Bahreisy, Cet. ke-6,
(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981), hlm. 50-51.
[9] Imam al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin,
terj. Abdul Rosyad Shiddiq, Cet. ke-2, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009),
hlm. 355-356.
[10] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolaniy, Fathul Bari, juz 3,
(Beirut: Darul Fikri, t.th), hlm. 148.
[12] Buya Alfis Chaniago, Indek hadits dan Syarah, Cet.
ke 1, (Bekasi: CV. Alfonso Pratama, 2008), hlm. 630.
[14] Imam Nawawi, Nuzhatul Muttaqin, terj. Muhil Dhofir dan Farid
Dhofir, Cet. ke-8, (Jakarta: Al-I’tishom, 2012), hlm. 56.
[15] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy, Mutiara Hadits, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 181-182.
[16] Abil Abbas Syihabuddin al-Qasthalaniy, Irsyadus Syari, juz 3,
(Beirut: Darul Fikri, t.th), hlm. 59.
[18] Syekh az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, terj. Abdul Kadir
al-Jufri, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), hlm. 23.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !