I.
PENDAHULUAN
Sebagai
makhluk sosial, tentunya setiap harinya manusia berinteraksi dengan sesama
manusia, entah itu sesama jenis atau lawan jenis. Dalam interaksi itu pastinya
manusia melakukan perbincangan atau semacam komunikasi, tetapi dalam komunikasi
itu tidak selamanya selalu sejalan, terkadang ada satu hal yang membuat
kejanggalan bahkan bisa menimbulkan ketidak seimbangan dalam interaksi sosial
tersebut, yaitu ketika salah satu dari manusia melakukan suatu kebohongan atau
ketidakjujuran. Padahal jujur itu merupakan hal yang penting dalam sebuah
komunikasi, karena dari kejujuran itu awal mula timbulnya kepercayaan dari satu
dengan yang lain, kemudian dari kepercayaan itu akan timbul keharmonisan atau
keserasian dalam berinteraksi antar sesama.
Mungkin
istilah jujur ini tidak asing lagi ditelinga kita, mengingat istilah ini sering
kita gunakan dalam keseharian kita. Jujur itu sendiri adalah sebuah kata yang
telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata jujur
mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata jujur tersebut. Namun
masih banyak yang tidak tahu sama sekali ataupun ada juga yang hanya
sekedar tahu maknanya secara samar-samar, bahkan banyak yang mengatakan “jujur
itu hancur/ajur”. Ungkapan seperti itu sekarang ini mulai merambah di
kalangan dunia keilmuan. Padahal kejujuran merupakan prasyarat penting dalam
kegiatan akademik yang bisa membawa kepada pahala amaliah.
Oleh karena
itu, dalam makalah ini kami mencoba memberikan sedikit pemahaman tentang
hakikat kejujuran sebagai prasyarat ilmiah dan pahala amaliah. Meliputi: hadis
yang berkaitan tentang jujur, makna, hakikat, keutamaan, dan pembagian jujur,
serta pengaruh sifat jujur dan dusta.
II.
PEMBAHASAN
A.
Hadis Yang Berkaitan Tentang Jujur
عن عبدالله
بن مسـعودٍ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ
فَإنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إلىَ الْبِرِّ وإنَّ البِرَّ يَهْدِى إلى الجَنَّةِ
وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ
عِنْدَاللهِ صِدِّيْقاً. وَإيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإنَّ الكَذِبَ يَهْدِى إلى
الفُجُوْرِ وَإنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِى إلى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّاباً (رواه
ومسلم)
Artinya: “Dari Abdullah bin
Mas’ud, dia berkata : Rasulullah saw, beliau bersabda: “Kamu harus bersifat
jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa
ke Surga, seseorang akan selalu jujur dan membiasakannya (dalam segala
ihwalnya) hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar jujur.
Jauhilah sifat dusta, karena dusta itu membawa kepada penyelewengan, dan
penyelewengan itu membawa ke neraka, seseorang akan selalu berdusta dan membiasakannya hingga dicatat
oleh Allah sebagai orang yang benar-benar dusta”. (H.R. Muslim)
Lafadz يَهْدِى mempunyai
arti petunjuk yang menyampaikan kepada sesuatu yang dicari (البِرَّ). Sedangkan
lafadz البِرَّ berarti taat kepada Allah swt. Menurut
Imam al-Hafidz meluas terhadap semua perbuatan baik, arti ini mutlak atas amal
yang murni dan tetap. Dan وإنَّ البِرَّ يَهْدِى إلى الجَنَّةِ sesuai dengan al-Qur’an ان الابرار لفى نعيم (QS. Al-Muthaffifiin/83:
22). Adapun وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ
berarti
تكرر
(berulang-ulang) melakukannya, hingga berhak atas gelar benar-benar jujur (حَتَّى يُكْتَبَ
عِنْدَاللهِ صِدِّيْقاً).
Lafadz الفُجُوْر bentuk jamak dari الفجر berarti
celah dalam beragama, ini mutlak atas penyelewengan yang menimbulkan kerusakan
dan cekatan dalam maksiat. Sedangkan lafadz
وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ berarti di dalam hatinya terdapat setitik noda hitam
yang lama-lama menjadikan hatinya benar-benar hitam gelap. Akhirnya ia mendapat
predikat benar-benar dusta di sisi Allah swt.[1]
Rasulullah
saw. memilih kalimat يهدى
(menunjuki), subhanallah! seolah-olah kejujuran itu menarik kita ke
Surga, sebagaimana dusta itu menarik tangan, tetapi membawa kita ke Neraka.
Beliau juga memilih kataالفجُور (penyelewengan) karena kata tersebut mencakup
segala bentuk kejahatan.[2]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ الْجَنَّةِ قَالَ الصِّدْقُ
وَإِذَا صَدَقَ الْعَبْدُ بَرَّ وَإِذَا بَرَّ آمَنَ وَإِذَا آمَنَ دَخَلَ
الْجَنَّةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَمَلُ
النَّارِ قَالَ الْكَذِبُ إِذَا كَذَبَ الْعَبْدُ
فَجَرَ وَإِذَا فَجَرَ كَفَرَ وَإِذَا كَفَرَ دَخَلَ يَعْنِي النَّار (رواه احمد)
Artinya: “Dari
Abdillah bin ‘Amr, sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
saw., dia berkata : amal surga itu apa? Rasulullah bersabda : jujur. Jika
seorang hamba jujur maka ia baik, jika ia baik maka ia beriman, dan jika ia
beriman maka masuk surga. Laki-laki berkata : wahai Rasullah, amal neraka itu
apa? Beliau bersabda : dusta. Jika seorang hamba berdusta maka ia menyeleweng,
jika ia menyeleweng maka ia kufur, dan jika ia kufur maka masuk neraka. (H.R.
Ahmad)
(Amal surga) yaitu amal ahli surga atau amal yang menyampaikan ke surga
(adalah jujur, ketika seorang hamba jujur maka baik, ketika ia baik maka ia
beriman, dan ketika ia beriman maka masuk surga. Dan amal neraka adalah dusta,
ketika seorang hamba berdusta maka ia menyeleweng, ketika ia menyeleweng maka
ia kufur, dan ketika ia kufur maka ia masuk neraka) yaitu neraka jahanam.
Maksud hadis ini yaitu anjuran atas wajibnya jujur dan menjauhi dusta. Jujur
itu terpuji dan dusta itu tercela baik secara akal maupun syariat.[3]
عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ
السَّعْدِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ
رِيبَةٌ (رواه
الترمدى)
Artinya:“Dari Abu Hawra’i
al-Sa’diyyi, dia berkata : saya berkata kepada Hasan bin Ali : Apa yang kamu
hafal dari Rasulullah saw. Ia berkata : “Saya menghafal beberapa kalimat dari
Rasulllah yaitu: “Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak
membuatmu ragu, sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu
membawa kebimbangan”. (H.R. Tirmidzi).
(Sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan) yaitu ketenangan
dan ketentraman hati, didalamnya tersimpan sesuatu yaitu tempat dan sebab
tuma’ninah, (dan sesungguhnya dusta itu membawa membawa kebimbangan) yaitu
kerisauan dan kekacauan hati.[4]
Dalam hadis ini sudah jelas bahwa jika kita ingin memiliki hati
yang tenang dan tentram, maka jujurlah dalam segala hal dan tinggalkanlah sifat
dusta, karena konsekuensi logis dari perbuatan dusta yaitu bisa membawa
kerisauan dan kekacauan hati.
B.
Makna, Hakikat, Keutamaan, dan
Pembagian Jujur Sebagai Prasyarat Ilmiah serta Pahala Amaliah
Kata ash-shiddiq
(kejujuran) menurut Islam digunakan dalam enam makna, yaitu:[5]
1. Jujur dalam
perkataan
Kejujuran
dalam pemberitaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberitaan. Setiap hamba
wajib menjaga perkataannya dan hanya berkata dengan jujur, karena dengan lisan
adalah jenis jujur yang paling masyhur dan tampak. Seperti halnya di bidang
akademik, seorang akademisi harus berkata jujur dalam menyampaikan ilmu.
2. Jujur dalam
niat dan kemauan
Kejujuran
seperti ini dapat dikembalikan kepada makana ikhlas, yaitu orang yang
motivasinya dalam segala aktivitas hanya Allah swt. Bila seorang hamba
mencampur amalnya dengan bagian-bagian hawa nafsu maka niatnya rusak.
3. Jujur dalam
tekad
Manusia
biasanya senang memasang tekad untuk melakukan amal tertentu. Contohnya, dia
berkata kepada dirinya sendiri, “Jika Allah swt menganugerahkan kekayaan kepada
saya maka saya akan bersedekah, baik dengan seluruh harta itu atau
sebagiannya”, atau, “Jika saya bertemu dengan musuh ketika berjihad di jalan
Allah swt, maka akan saya perangi meskipun saya terbunuh karenanya”. Di antara tekad-tekad
ini ada yang benar-benar lahir dari lubuk hati dan inilah yang dinamakan tekad
yang jujur, namun ada pula yang ketika mengucapkannya terdapat semacam keraguan
dan perasaan tidak yakin sehingga merusak kesempurnaan kejujuran tekad
tersebut. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kejujuran merupakan ungkapan yang
melambangkan kesempurnaan dan kekokohan dalam tekad itu.
4. Jujur dalam
menepati tekad yang dibuat
Seseorang
terkadang dapat mudah melontarkan tekad tertentu karena memang tidak sulit
mengucapkannya. Akan tetapi, sulitnya menepati tekad itu baru terasa ketika
yang menjadi tekad itu benar-benar terwujud atau dorongan hawa nafsu mulai ikut
mengacau. Pada saat itu, tekad yang telah dibuat itu dapat melemah bahkan
diingkari sendiri oleh pelakunya. Apabila hal ini terjadi maka menandakan bahwa
orang tersebut tidak jujur dalam janji atau tekadnya. Keadaan mereka bertolak
belakang dengan gambaran yang disebutkan Allah swt. dalam sebuah firman-Nya, “di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah...” (QS. al-Ahzab/33: 23)
5. Jujur dalam
amal
Bentuknya
adalah upaya seseorang supaya antara tindakan-tindakan lahiriahnya tidak
berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya. Bisa diartikan bahwa kondisi
seseorang yang beramal sama, baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Mutharraf
berkata, “Jika keadaan seseorang hamba sama dalam keadaan sepi maupun ramai
maka Allah berfirman, ‘inilah hamba-Ku yang sejati”.
Dalam dunia
akademik, jujur dalam beramal sangat diperlukan. Misalnya dalam pembuatan karya
ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis, disertasi, dll., harus menghindari
plagiasi dan semacamnya.
6. Jujur dalam
seluruh sifat yang dipandang baik (mulia) oleh agama
Ini
merupakan tingkatan kejujuran yang paling tinggi, seperti dalam khauf (rasa
takut), raja’ (harapan), zuhud, ridha, dan tawakal. Amal-amal ini
berdasarkan namanya secara lahir memiliki beberapa dasar atau prinsip. Ia juga
memiliki tujuan akhir dan hakikat. Karena orang jujur sejati adalah yang
memperoleh hakikat-hakikat amal tersebut dan melewati titik lemah menuju titik
yang kuat. Jika tidak demikian maka amal-amal ini tidak memiliki tujuan
sehingga ia memperoleh semuanya secara sempurna.[6]
Perihal
keutamaan sifat ini, Imam al-Ghazali berkata: “Dalam hal ini Allah swt telah
berfirman:
Artinya: Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu[7]
dan mereka tidak merubah (janjinya). (QS. Al-Ahzab/33: 23).
Selain itu Rasulullah saw juga bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إلىَ الْبِرِّ وإنَّ البِرَّ يَهْدِى إلى
الجَنَّةِ وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ صِدِّيْقاً. وَإيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإنَّ الكَذِبَ
يَهْدِى إلى الفُجُوْرِ وَإنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِى إلى النَّارِ وَمَا يَزَالُ
الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَاللهِ كَذَّاباً
Kamu harus bersifat jujur, karena sesungguhnya
jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke Surga, seseorang akan
selalu jujur dan membiasakannya (dalam segala ihwalnya) hingga dicatat oleh
Allah sebagai orang yang benar-benar jujur. Jauhilah sifat dusta, karena dusta
itu membawa kepada penyelewengan, dan penyelewengan itu membawa ke neraka, seseorang
akan selalu berdusta dan membiasakannya
hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar dusta. (H.R.
Muslim)
Lebih dari itu, cukuplah bukti untuk menunjukkan keutamaan sifat
jujur ini dengan melihat bahwa gelar ash-shiddiiq terambil dari kata
ini”.
Sebagian ulama berkata: “Para ulama maupun fuqaha sepakat bahwa
apabila pada diri seseorang terdapat tiga hal, maka dia akan selamat dunia
akhirat. Ketiga hal yang masing-masing saling berkaitan dan melengkapi tersebut
adalah keislaman yang bebas dari kotoran bid’ah maupun hawa nafsu, sikap jujur
kepada Allah swt dalam beramal, serta hanya memakan makanan yang baik dan
halal”.[8]
C.
Pengaruh
Sifat Jujur dan Dusta
Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa kejujuran itu menunjukkan
kepada yang baik, ibarat tempat tumbuhnya segala keutamaan dan keutamaan itu
sebagai akar yang menguatkan pohon itu
tegak. Orang yang jujur itu tentu sejalan dengan semua kebaikan dan sebagai
penegak segala kebagusan, sedangkan kebaikan itu adalah jalan menuju Surga,
bahkan kebajikan itu sebagai kunci masuk Surga. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan
yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu
dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan.
Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah
kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”. (QS. Al-Muthaffifiin/83:
22-26)
Barang siapa yang ingin supaya kejujuran itu menjadi kebiasaan dan
akhlaknya, ingin menjadi agama dan tabiatnya, maka hendaknya dia mempunyai
tujuan jujur dalam semua ucapan, dan jujur dalam semua perbuatannya. Jika
kejujuran itu sudah menjadi karakternya, maka yang demikian dia menjadi orang
yang paling jujur.
Dewasa ini sering kita jumpai sebuah ungkapan “Jujur itu
hancur/ajur”. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa ungkapan itu telah
membudaya di kalangan masyarakat sehingga membentuk presepsi buruk tentang
kejujuran. Menurut analisis kami, ungkapan itu tidak sesuai dengan hadis Nabi
yang telah dipaparkan di depan, karena dalam hadis Nabi tidak dikatakan bahwa jujur itu membawa
kehancuran seperti ungkapan orang-orang yang mengatakan bahwa “jujur itu
hancur/ajur”. Melainkan jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa
ke Surga.
Seperti halnya sifat jujur sebagai sendi dasar keutamaan, maka
sifat dustapun sebagai sendi dasar segala kerendahan. Dengan sebab dusta, maka
hancurlah pembinaan suatu masyarakat, terputus jalannya semua urusan dan
jatuhlah nama dan martabat si pendusta itu di mata masyarakat. Karena mereka
sudah tidak percaya lagi kepada kata-katanya dan tidak yakin terhadap amal
perbuatannya, tidak menghendaki dia mempunyai kedudukan, bahkan mendengarpun
enggan, kata-katanya dibuang begitu saja tidak didengar, persaksiannya tidak
diterima. Oleh karena itu Rasulullah melarang berdusta.
Dalam al-Qur’an juga banyak ayat-ayat yang menjelek-jelekan sifat
dusta, membencinya dan bahkan mengecamnya dengan siksa yang pedih. Ingat firman
Allah:
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang
sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih”. (QS. An-Nahl/16: 116-117)
Rasulullah saw telah menjelaskan, bahwa dusta itu membawa kepada
durhaka, menimbulkan kejahatan dan merobek-robek selubung agama, dan apabila
orang itu telah membiasakan berdusta, maka perangai itu akhirnya akan mendarah
daging pada dirinya, sehingga jadilah orang itu sebagai pendusta, sehingga hilanglah
kepercayaan masyarakat kepadanya.[9]
Rasulullah saw menerangkan juga bahwa perbuatan durhaka itu
menunjukkan keada neraka dan mengancam pelakunya masuk neraka di tingkat yang
paling bawah, sebagaiamana firman Allah:
¨bÎ)ur u$£Úàÿø9$# Å"s9 5OÏtrb ÇÊÍÈ $pktXöqn=óÁt tPöqt ÈûïÏd9$# ÇÊÎÈ
Artinya:
“Dan Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka Jahim.
Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al-Infithar/82:
14-15).
Barang siapa membiarkan dirinya berdosa sekali dan disambung yang
kedua kali bahkan diperkuat dengan yang ketiga kali lalu keempat dan terus
berulang kali, sehingga dusta itu menjadi karakternya, maka jadilah dia
pendusta yang hina. Oleh karena itu, jauhkanlah diri kita dari semua macam
dusta, jika tidak, niscaya sifat dusta itu akan menjadi akhlak kita dan tabiat
kita.
[1] Muhammad bin Allan, Dalilul Falihin, Juz 4, (Kairo: Mustofa al-Bani al-Halby, 1971), hlm. 380-381.
[2] Amru Khalid, Berakhlak
Seindah Rasulullah, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2007), hlm. 101.
[3] Muhammad Abdul
Rauf Al-Manawy, Faidl Al-Qadir: Syarah Al-Jami’ Al-Shaghir, juz 4,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah. 1994), hlm. 477.
[4] Muhammad Abdul
Rauf Al-Manawy, Faidl Al-Qadir: Syarah Al-Jami’ Al-Shaghir, juz 3,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah. 1994), hlm. 706.
[5] Sa’ad Riyadh, Jiwa
Dalam Bimbingan Rasulullah saw, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani. 2007), hlm.
138-140.
[6] Muhammad
Shalih bin Ahmad Al-Ghurasi, Intisari Minhajul Qashidin: Panduan Meraih
kenikmatan beribadah, (Solo: Aqwam. 2010), hlm. 23.
[7] Maksudnya
menunggu apa yang telah Allah janjikan kepadanya.
[8] Sa’ad Riyadh, Jiwa
Dalam Bimbingan Rasulullah saw, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani. 2007), hlm.
137-138.
[9] Muhammad Abdul
Aziz Al Khuli, Al Adabun Nabawi: Akhlak Rasulullah SAW., (Semarang: CV.
Wicaksana. 1989), hlm. 248-250.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !