Headlines News :
Home » » HUKUM TRANSFUSI DARAH DALAM ISLAM

HUKUM TRANSFUSI DARAH DALAM ISLAM

Written By Figur Pasha on Monday, January 7, 2013 | 2:20 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


I.       PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial yang notabenenya mengharuskan seseorang manusia itu untuk menolong manusia yang lain, apalagi itu terkait dengan masalah nyawa. Tentunya hal itu dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun. Tranfusi darah merupakan salah satu wujud kepedulian kita kepada sesama manusia. Secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah. Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah ijtihadi guna menjawab permasalahan mengenai hubungan pendonor dengan resepien, hukum menjual belikan darah dan hukum transfusi darah dengan orang beda agama, karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam.

II.    LANDASAN HUKUM
A.    Al-Qur’an
 Artinya:”Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al-Baqarah 173)



B.     Al-Hadits
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمْ الطَّيْرُ فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَدَاوَى فَقَالَ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ  (رواه ابي داوود)
Artinya:” Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An Namari telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari Usamah bin Syarik ia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung. Aku kemudian mengucapkan salam dan duduk, lalu ada seorang Arab badui datang dari arah ini dan ini, mereka lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah boleh kami berobat?" Beliau menjawab: "Berobatlah, sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu pikun." (H.R Abu Dawud)

C.     Pandangan Ulama’
Berdasarkan kaidah hukum Fiqh Islam yang berbunyi:
لامل فى لاشياء الاباحة حتىّ يدل الدّليل على تحريمها
Artinya: Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya kecuali kalau ada dali yang mengaramkannya.

III. ANALISIS
Perkataan tranfusi darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “Blood Transfusi“, kemudian diterjemahkan oleh dokter Arab menjadi نقل الدم للعلاج  (memindahkan darah karena kepentingan medis).[1]
Lalu Dr.Ahmad Sofian mengartikan tranfusi darah dengan istilah “pindah-tuang darah” sebagaimana rumusan definisinya yang berbunyi: ”pengertian pindah-tuang darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong”.[2]
Tranfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya kemahraman antara pendonor dan resipien.sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 23:
Artinya:”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[3]

Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjual belikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan pupuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam hadist Ibnu Abbas ra : “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan harganya."[4]
Persyaratan dibolehkannya tranfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam sebagai berikut:
1.         الضرريزالArtinya bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus dihindari dengan berobat dan sebagainya.
2.      الضرر لايزال بالضرر Artinya bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain [lebih besar bahayanya] .misalnya seorang yang memerlukan tranfusi darah karena kecelakaan lalu lintas, atau operasi, tidak boleh me-nerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatang-kan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal.
3.       لاضرر ولا ضرار Artinya  tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain, misalnya seorang pria yang impotent atau terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh.[5]
Apabila terdapat padanya maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan yang dapat membahayakan dirinya, maka donor darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala dan keutamaan, sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. QS 99:78, “Barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan melihatnya”.
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)”. Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanita pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ,mahramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat. Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).[6] Penerima sumbangan darah tidak disyari’atkan harus sama dengan donor darahnya mengenai agama atau kepercayaan, suku bangsa dan sebagainya. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah :

Artinya:“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya” (Q.S. Al-Maidah : 32),        
 Firman Allah :

Artinya:"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah : 8).
Secara umum, ayat ini menerangkan begitu pentingnya toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnul Ishak dalam “sirahnya” dan juga Ibnul Qoyyim dalam “Zaadul Ma’ad” adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang. Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran Islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang berbagai masalah agama.Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Biarkanlah mereka !” maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni..
Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak ada “kese-pakatan” karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak Tuhan” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hari.
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang kafir begitupun sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab, Allah sebagai Khaliq alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia.[7]



[1] .Mahjuddin , Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm. 89
[2] Ahmad Sofyan, Ilmu Urai Tubuh Manusia, (Jakarta: Teragung, 1962),  hlm. 103
[3] Al-Suyuti, Al-ASybah wa al-Nadzair fial-furu’, vol I, Mesir, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, 1936, hal.3-4
[5] Al-Suyuti, Al-ASybah …, hal.59-61
[6] Al-Suyuti, Al-ASybah …, hal.51
Share this article :

3 comments:

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template