a.
Pengertian
Sesuai dengan sistem anatomi, serangga adalah hewan Antropoda yang
memiliki 6 kaki dan tubuh yang terdiri dari tiga bagian , yaitu kepala, torak
dan abdomen.[1]
Untuk mengetahui persamaan, apakah jangrik masuk dalam hewan jenis
serangga. Apakah jangkrik itu sama dengan belalang?
Anatomi
serangga eriti dari:
a.
Satu pasang kaki ompat.[2]
b.
Mulut.
c.
Kepala.
d.
Dua psang kaki kecil.
e.
Atena.
f.
Dua pasang sayap.
g.
Maba.
h.
Spirakel.
i.
Oviosifor.[3]
Kita ketahui bahwa
jangkrik memiliki semua struktur anatomi
diatas yang merupkan ciri-ciri serangga. Dengan persamaan diatas bisa ditarik
kesimpulan bahwa hukum pada jangkrik adalah sama dengan hukum pada belalang.
Menurut kebanyakan orang,
ulat dan Cacing adalah hewan yang menjijikkan namun memiliki banyak manfaat.
Untuk cacing dalam kaitannya tidak dlihat dari segi menjijikkannya, tapi dari
segi manfaatnya seperti jamu, make up dan lain sebagainya.
Semut dalah hewan sejenis
seragga yang berukuran kecil yang secara anatomi tidak memiliki sayap. Sebagian
ada yang bisa terbang. Dari sruktur anatomi semut yang hampir sama dengan
jangrik dan belalang. Karena ketiganya masuk dalam jenis Insekta.[4]
Ular adalah hewan yang
memiliki taring di rahang dan tulang langit-langitmulut serta sepasang taring
pada maksila.[5]
b.
Dasar hukum
1.
Al-Qur’an
Qs. Al-Baqoroh:29
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
2.
Hadits
Sabda nabi yang artinya: “apa-apa yang dihalalkan dalam
kitab-Nya (Al-Qur’an) adalah halal. Dan apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya
haram. Dan apa-apa yang didiamkan atau tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan.
Untuk itu terimalah pemaafan-Nya sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu
apapun.” (HR.Al-Hakim).[6]
c.
Pandanga ulama
“jika suatu kaum
sudah memakan (jangkrik, ulat, cacing, semut dan ular) dan tidak membahayakan
terhadap mereka, dan yang menjadi pedoman adalah diri mereka, maka menurut
pendapat yang masyhur adalah tidak haram”.
Menurut
imam maliki, serangga itu halal sesuai
dengan firman Allah Qs. Al-An’am:145
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi.....” (Qs. Al-An’am:145)
Dan pendapat yang paling benar
adalah bahwa jangkrik itu haram seperti kumbang. Namun mengacu pada ayat diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa membudidayakan jangkrik, ulat, cacing, semut dan
ular hukumnya boleh.
Sedangkan untuk jual beli jangkrik,
ulat, cacing, semut dan ular itu sendiri terdapat perbedaan pendapat. Untuk
Madzhab Maliki dan Hanafi mensahkan hukum jual-belinya. Sahnya jual beli
serangga dan binatang melata, seperti ular dan kalajengking jika memang
bermanfaat. Parameternya menurut mereka adalah semua yang bermanfaat itu halal
menurut syara’, karena semua yang ada itu diciptakan untuk kemanfaatan manusia.[7]
d. Analisis
Sekarang
timbul pertanyaan, bagaimanakah hukum budidaya cacing, jangkrik, ulat, cacing
dan ular tersebut menurut kacamata Fiqh Islam? Dapatkah hal tersebut dibenarkan
sepanjang kajian Fiqh? Bukankah kedua jenis satwa tesebut termasuk ke dalam
kategori al-Khabaits atau al-Hasyarat yang menurut jumhur fuqaha'
hukumnya haram? Tulisan sederhana ini akan mencoba menjawab persoalan tersebut.
Imam Syafi'i dalam ar-Risalah[8][9]
menegaskan bahwa tak satu pun permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh umat
Islam kecuali hal itu ada solusinya (dapat diketahui status hukumnya) dalam
al-Quran al-Karim (ada yang langsung/manshush dan ada yang tidak langsung/ ghairu
manshush/maskut 'anhu). Hal yang sama berlaku pada sunah sejalan dengan
penegasan Rasul:[10] [11]
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah,
aku diberi kitab suci al-Qur'an, dan sunah yang kedudukannya sama dengan
al-Qur'an".
Dari
penegasan Imam Syafi'i tersebut muncullah teori dalam kajian Ushul Fiqh bahwa
kasus hukum (kasus yang ingin diketahui
hukumnya) yang dihadapi oleh umat manusia itu dapat diklasifikasi-kan menjadi
dua. Pertama, kasus yang ingin diketahui hukumnya itu telah manshush
(ditegaskan hukumnya secara langsung, tegas, dan jelas) oleh teks al-Qur'an
atau sunah. Kedua, ghairu manshush /maskut 'anhu (belum
atau tidak ditegaskan hukumnya) oleh al-Qur'-an atau sunah.
Untuk
kelompok pertama berlaku prinsip La Majala Lahu lil-Ijitihad (tidak
berlaku dan tidak diperlukan ijtihad); sementara itu untuk mengetahui status
hukum kelompok kedua berlaku prinsip La-hu Majal li-Ijtihad (berlaku dan
diperlukan ijtihad).
masalah
budidaya cacing dan jangkrik termasuk kategori ghairu manshush/maskut 'anhu
yang untuk mengetahui status hukumnya diperlukan ijtihad. Dengan demikian
mas-alahnya adalah ijtihadi. pemecahan terhadap masalah ini dapat
ditempuh lewat tiga pendekatan sbb:
a)
Lewat pendekatan kaidah yang dipedomani oleh
jumhur fuqaha
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang
bermanfaat adalah mubah/halal"
b)
Lewat pendekatan maslahah
mursalah/istishlah
a)
Lewat
pendekatan maqasid syari'ah (tujuan hukum Islam).[12]
1.
Pendekatan Kaidah al-Ashlu fi al-Manafi'
al-Ibahah.
Budidaya
cacing, jangkrik, ulat, semut dan ular merupakan kasus baru, hukum-nya
belum/tidak ditegaskan, bahkan belum disinggung sama sekali oleh al-Qur'an dan
sunah.Dengan demikian masalah tersebut termasuk katagori maskut
'anhu. Jumhur fuqaha' berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah yang
maskut 'anhu hendaklah berpedoman pada kaidah:
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada
dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah boleh/halal".
Kaidah ini besumber dari:
1. Al-Baqarah, 29:
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِىالاَرْضِ جَمِيْعًا
"Allah-lah
yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian".
2. Al-Jasiyah, 13:
وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah
menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat)
dari-Nya"
.
3.
Luqman, 20:
اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِىالسَّمَوَاتِ وَمَا فِى
الاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah
kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu
ni'mat-Nya lahir dan batin".
Wajah
istidlal/metode pengambilan dalil ketiga ayat di atas
ialah, bahwa semua yang ada di muka
bumi dan di langit itu diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan umat
manusia.Ini berarti semuanya itu halal bagi umat manusia, kecuali bila membahayakan atau ada nashsh
yang menyatakan keharamannya.
4. Hadis riwayat al hakim:
مَااَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ
حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ
فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa
yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa
yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak
dijelaskan hukumnya, dimaafkan.Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah
tidak pernah lupa tentang sesutu apa pun".
5. Hadis riawayt Turmuzi dan Ibnu Majah:
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ
تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ
تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ
فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya
Allah telah mewajibkn beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan,
menentukan beberapa ketentuan,
janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa keharaman, janganlah kamu
rusak.Dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena sayang kepadamu,
janganlah kamu cari-cari hukumnya."
Wajah
istidlal kedua hadis di atas ialah bahwa ada beberapa
hal yang sengaja tidak dijelaskan
hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan halal dan tidak pula dinyatakan haram. Hal ini bukan karena
Allah lupa (sebab Allah memang tidak pernah lupa), tetapi karena kasih sayang
Allah kepada hamba-Nya.Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak ditegaskan
halal atau haram itu, hukumnya adalah halal.Tentu selama hal itu bermanfaat,
tidak membahayakan.
Budidaya
cacing dan jangkrik dalam rangka
menciptakan lapa-ngan kerja baru,
mengatasi pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas sangat bermanfaat.
Oleh karena termasuk maskut 'anhu maka sesuai dengan keumuman ayat dan
hadis di atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manfi' al-Ibahah,
menurut hemat penulis budidaya cacing dan jangkrik tersebut hukumnya jelas
mubah /halal.[13]
Dari
urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hu-kum budidaya cacing dan
jangkrik dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas adalah mubah/halal.
[1] Stave Setfort, Intisari Ilmu Hewan
Merayap, (Gelora Aksara Prabima: Jakara, 2005), hlm 10
[2] Muhayat Djrubito Bratawidjya, Zeoloogi
Dasar, (Erlanga: Jakarta, 1990), hlm 147
[3] Stave setfort, Intisari Ilmu...hlm 10
[4] Muhayat Djrubito Bratawidjya ,Zeoloogi
........hlm 150
[5]Muhayat Djrubito Bratawidjya, Zeoloogi ....
hlm 212
[6] http://www.geebrill.multiply.com.journal/
jum’at,12.10.2012/pukul: 11.30 wib
[7] M. Jamaluddin Mri, Ahkamul Fuqaha Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya : Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU
Jawatimur, 2007), hlm.544-545
[11] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), hlm. 279.
[12] Al-Asnawi, Nihayah as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wusul, (Beirut: 'Alam al-Kutub,
1982), juz IV, h. 352.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !