I.
PENDAHULUAN
Di era modern ini berbagai masalah muamalah banyak berkembang dalam masyarakat.
Praktek-praktek jual beli ataupun utang piutang seringkali menjadi kegiatan
yang lumrah di masa ini. Banyak diantaranya yang tidak memperhatikan kaidah
hukum dalam Islam. Seperti fenomena riba atau bunga bank yang terang-terangan
marak dilakukan di lingkungan masyarakat. Riba atau bunga bank memang tak asing
lagi bagi kita, mengenai hukum-hukum dalam Islam sudah jelas sekali diharamkan.
Namun masih banyak pelaksanaannya dalam masyarakat.
Untuk itu , makalah ini akan
sedikit menjelaskan kembali mengenai hukum riba dan juga bank di Indonesia.
II. LANDASAN
HUKUM
A.
Al-Qur’an
Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS.
Ali ‘Imran: 130
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS.
Al-Baqarah 278-279)
A.
Hadits
عن
أبي هُرَيرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى اللهُ عَليه وسلمَ قَا لَ: أِجتَنِبُوا
السَّبعَ المُوبِقَاتِ قَالُوا: يَارَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ: الشِّرْ كُ
بِا للهِ , وَالسَّحْرُ, وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ أِلاَّ بِا
لْحَقِّ, وَأَكْلُ الرِّبَا , وَأَكْلُ مَا لِ الْيَتِيْمِ , وَالتَّوَلِّي يَوْمَ
الزَّ حْفِ وَقَذْ فُ المُحْصَنَاتِ الْغَا فِلَا تِ الْمُؤْ مِنَا ت
Dari Abu
Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda: Jauhilah tujuh perbuatan yang merusak.
Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah tujuh perbuatan tersebut?” Nabi
menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada
saat pertempuran (desersi), dan menuduh wanita yang muhshan (bersih), lengah
(dari perbuatan maksiat), dan mukmin. (HR. Al-Bukhori)[1]
عَن
ابنِ مَسْعُودٍ قَا لَ: لَعَنَ سُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَكِلَ الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَهُ وَكَاتَبَهُ.
Dari
Ibnu Mas’ud ia berkata: Rasulullah mengutuk orang yang memakan riba, orang yang
mewakilinya, saksinya, dan orang yang menulisnya. (HR. At-Tirmidzi)
عَن
جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عَلَيهِ وسلمَ اَكِلَ الرِّبَا
ومُؤكِلهُ وَكاَ تِبَهُ وَشَا هِدَيهِ وَقَالَ هُم سَوَاءٌ (رواه مسلم, في صحيحه,
كتاب المساقاة , با ب لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عَلَيهِ وسلم اكِلَ الرِّبَا
ومُؤكِلَهُ, رقم:۲۹۹٤ )
Dari
Jabir RA, ia berkata: :”Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan (mengambil)
riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang
yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim)[2]
B.
Pandangan Ulama
a.
Kamaludin bin Al-Hammam dari Hanafiah
وَفِي
الأِ صْطِلَا حِ هُوَ الْفَضْلُ الْخَا لِيْ عَنِ الْعِوَضِ الْمَشْرُوْطِ فِيْ
الْبَيْعِ.
Dalam pengertian istilah riba adalah kelebihan
yang sunyi (tidak disertai) dengan imbalan yang disyarakatkan dalam jual beli.
b.
Syafi’iyah memberikan
definisi riba sebagai berikut
وَشَرْعًا:
عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوْصٍ غَيْرِ مَعْلُوْمٍ التَّمَا ثُلِ فِيْ مِعْيَا رِ
الشَّرْعِ حَا لَةَ الْعَقْدِ أَوْمَعَ تَأْ خِيْرٍ فِيْ الْبَدَ لَيْنِ أَوْأَحَدِ
هِمَا
Menurut syara’ riba adalah akad
atas ‘iwadh (penukaran)tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam ukuran
syara’ pada waktu akad atau dengan mengakhirkan (menunda) kedua penukaran
tersebut atau salah satunya.
c.
Wahbah al-Zuhaily dalam
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
فَوَ
ائِدُ الْمَصَا رِفِ (الْبُنُوكِ) حَرَامٌ حَرَامٌ حَرَامٌ , وَرِبَا الْمَصَارِفِ
أَوْفَوَا ئِدُ البُنُوْ كِ هِيَ رِبَا النَّسِيْئَةِ, سَوَاءٌ كَا نَتِ
الْفَائِدَةُ بَسِيْطَةً أَمْ مُرَ كَّبَةً, لأ نَّ عَمَلَ الْبُنُوْكِ الأ
صْلِيَّ الأِ قْرَاضُ وَالْاِقْتِرَاضُ ...وَاِنَّ مَضَارَّالرِّبَا فِيْ
فَوَائِدِ الْبُنُوْكِ مُتَحَقِّقَةٌ تَمَمًا . وَهِيَ حَرَامٌ حَرَامٌ حَرَامٌ
كَا لرِّبَا , وَاِثْمُهَا كَاِ ثْمِهِ, وَلِقَوْلِهِ تَعَا لَى: وَاِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ...
Bunga
bank adalah haram, haram, haram. Riba atau bunga bank adalah riba nasi’ah, baik
bunga tersebut rendah maupun berganda. (Hal itu) karena kegiatan utama bank
adalah memberikan utang (pinjaman) dan menerima utang (pinjaman)... Bahaya
(mudharat) riba terwujud sempurna (terdapat secara penuh) dalam bunga bank.
Bunga bank hukumnya haram, haram, haram, sebagaimana riba. Dosa (karena
bertransaksi) bunga sama dengan dosa riba; alasan lain bahwa bunga bank
berstatus riba adalah firman Allah SWT ... Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu...
d.
Yusuf al-Qardhawi dalam
Fawa’id al-Bunuk :
فَوَائِدُ
الْبُنُوْكِ هِيَ الرَّبَا الْحَرَامُ (فوا ئد الْبُنُوْك)
Bunga
bank adalah riba yang diharamkan
C.
ANALISIS
Riba (الربا) secara bahasa bermakna ziyadah - زيادة) tambahan).
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[3] Menurut
fatwa yang dikemukakan oleh MUI riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa
imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan
sebelumnya.[4]
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan
di atas dapat dipahami bahwa riba adalah suatu kelebihan yang terjadi dalam
tukar-menukar barang yang sejenis atau jual beli barter tanpa disertai dengan
imbalan, dan kelebihan tersebut disyaratkan dalam perjanjian. Apabila kelebihan
tersebut tidak disyaratkan dalam perjanjian, maka tidak termasuk riba.[5] Sebagaimana
telah dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari ’Ubadah bin
Shamit bahwa jual beli atau tukar menukar barang yang sejenis ukurannya harus
sama, baik takarannya maupun timbangannya. Dalam hadits tersebut juga
disebutkan enam jenis barang yang termasuk kelompok ribawi, yaitu: emas, perak,
gandum, jagung, kurma, dan garam.
Namun dalam prakteknya, Syafi’iyah
membagi riba dalam tiga bagian:
1.
Riba Fadhal
Menurut ulama Syafi’iyah, riba fadhal yaitu
tambahan atas dua benda yang ditukarkan termasuk didalamnya riba qardh (utang).
Sedangkan menurut ulama Hanafiah, riba fadhal adalah tambahan benda dalam akad
jual beli (tukar menukar) yang menggunakan ukuran syara’ (yaitu literan atau
timbangan) yang jenis barangnya sama.
2.
Riba Al-Yad
Pengertian riba al-yad yang dikemukakan oleh
Wahbah Zuhaili adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan
penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan
masanya. Yakni terjadinya jual beli atau tukar menukar dua barang yang berbeda
jenis, seperti gandum dengan jagung (sya’ir), tanpa dilakukan penyerahan di
majelis akad.
3.
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah didefinisikan oleh Hanafi’ah
sebagai kelebihan tunai atas tempo dan kelebihan barang atas utang di dalam
barang yang ditakar atau ditimbang ketika berbeda jenisnya, atau didalam barang
yang tidak ditakar atau ditimbang ketika jenisnya sama. Atau dengan kata lain
riba nasi’ah adalah menjual (menukar) suatu barang dengan barang yang sama
jenisnya, atau dengan barang yang tidak sama dengan dilebihkan takaran atau
timbangannya sebagai imbalan diakhirkannya penukaran, atau tanpa tambahan
seperti menjual satu kilogram kurma yang
penyerahannya langsung (di majelis akad) dengan satu kilogram kurma yang
penyerahannya tempo.
Seperti
telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas bahwa umat Islam sejak
zaman dahulu sampai sekarang sepakat tentang diharamkannya riba. Bahkan bukan
hanya Al-Qur’an, kitab-kitab suci terdahulu, seperti Taurat dan Injil juga
melarang perbuatan riba.[6] Adapun
sebab dilarangnya riba adalah karena riba menimbulkan kemudharatan yang besar
bagi umat manusia. Berikut adalah alasan diharamkannya riba dalam Islam:
1.
Mengambil riba berarti
mengambil untuk diri sendiri milik orang lain tanpa memberikan sesuatu sebagai
gantinya, seseorang menerima lebih dari yang dipinjamkan tanpa perlu mengganti
kelebihan tersebut dengan sesuatu.
2.
Bergantung pada bunga
mengurangi semangat orang untuk bekerja mendapatkan uang, karena orang tersebut
denga satu dolar dapat menghasilkan lebih dari satu dolar dari bunga, baik yang
dibayar dimuka maupun yang dinayar kemudian tanpa bekerja untuk itu.
3.
Mengizinkan membebankan
bunga mengurangi semangat orang berbuat baik terhadap sesama. Bila bunga uang
diharamkan dalam suatu kelompok masyarakat, orang akan memberi pinjaman bagi
orang lain dengan keinginan yang baik, tanpa mengharapkan lebih dari jumlah
yang dipinjamkan.
4.
Riba diharamkan dalam
Islam juga karena cenderung menimbulkan perlakuan tidak jujur atau tidak adil
antara satu pihak dengan pihak yang lain.[7]
Riba itu haram, sudahlah jelas
hukumnya. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hal ini.
Perbedaan pendapat kemudian muncul dikalangan ulama mengenai, apakah bunga bank
komersial atau bank konvensional yang telah menjadi sistem perekonomian dunia sama dengan riba?
Mengenai bank dan pembungaan uang,
Lajnah Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa
hukum menyimpan uang di bank adakalanya jawaz, adakalanya haram, dan adakalanya
syubhat.
Jawaz apabila dilakukan oleh orang yang sama
sekali tidak dapat mempergunakan uangnya untuk berdagang atau usaha lainnya,
sedang uang yang dimilikinya jika dibuat makan pasti akan habis sebelum umurnya
yang ghalib habis. Orang yang seperti ini boleh menyimpan uangnya di
bank dan boleh memakan bunganya. Atau orang yang diberi amanat untuk membawa
uang masjid atau kumpulan dan dia menghawatirkan ketidak amanan uang tersebut
jika disimpan di rumah. Maka dia diperbolehkan menyimpan uang amanat tersebut
di bank, tetapi dia tidak dihalalkan untuk memakan bunganya. Bunganya adalah
harta fa'i yang menjadi hak fakir miskin.
Haram, yaitu orang yang dapat menginvestasikan
uangnya dalam usaha dagang atau lainnya, akan tetapi dia sengaja menyimpan
uangnya di bank agar dapat memakan bunganya tanpa bekerja.
Syubhat, yaitu menyimpan uang di bank yang
dilakukan oleh orang yang keadaannya berada di antara kondisi di atas.[8]
Persoalan hukum bank dan bunganya memang cukup sulit dan berkait-kait,
apalagi kebijakan bank menghadapi nasabahnya tidak seragam. Karena itu tidak
sedikit yang menilainya syubhah, atau, kalaupun dibenarkan, maka itu atas dasar
hajat (kebutuhan mendesak). Memang pertumbuhan ekonomi amat membutuhkan bank,
sehingga selama bank nonriba belum ada atau mampu melayani pihak yang
membutuhkan, selama itu pula bermuamalah atau berhubungan timbal balik antara
yang butuh denganya tetap dalam batas toleransi.[9]
Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank
adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan
atas pokok harta. Artinya apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha
perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka
yang demikian itu termasuk riba.
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang Fatwa
bunga (interest/fa-idah) pada tanggal 22 Syawal 1424H/ 16 Desember 2003 memutuskan
mengenai hukum bunga didasarkan pada praktik pembungaan uang yang saat ini
telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah, yakni riba nasi’ah. Dengan
demikian praktik pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan haram
hukumnya.[10]
Keinginan
Umat Islam di Indonesia untuk menghindari riba dan melaksanakan transaksi perbankan
sesuai syariah mendapat tempat dan dukungan dari sisi perundang-undangan. Pernyataan
ini didasarkan atas fakta bahwa pada tahun 1998 telah diundangkannya undang-undang
yang diperlukan sebagai landasan hukum beroperasinya perbankan syariah, yaitu Undang-undang
No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan (Selanjutnya disebut
UU. No. 10 Tahun 1998).
Berbagai
ketentuan yang bersifat peraturan pelaksanaan untuk mendukung operasional Bank
Syariah, terutama Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Selanjutnya disebut
PBI No. 6/24/PBI/2004), telah menguraikan secara ringkas tentang kegiatan usaha
yang sesuai dengan Prinsip Syariah. Didalam Peraturan ini termasuk pula suatu
yang spesifik bagi Perbankan Syariah, yaitu terdapatnya Dewan Syariah yang
berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional Bank Syariah.[11]
Undang-undang
Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, membedakan
bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI
memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).[12]
Sebagai
pengganti sistem bunga, bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari
unsur riba, antara lain sebagai berikut:
1. Wadiah (titipan uang, barang, dan
surat berharga atau deposito)
2. Mudharabah (kerjasama antara pemilik
modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and lost sharing).
3. Musyarakah/syirkah (persekutuan). Di
bawah kerjasama musyarakah ini, pihak bank dan pihak pengusahasama-sama
mempunyai andil (saham) pada usaha patungan.
4. Murabahah (jual beli barang dengan
tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama
secara jujur).
5. Qardh hasan (pinjaman yang baik atau
benevolent loan).
6. Bank Islam juga dapat menggunakan
modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang
usaha yang profitable.
7. Bank Islam boleh pula mengelola
zakat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung.
8. Bank Islam juga boleh memungut dan
menerima pembayaran untuk:
a. Mengganti biaya-biaya yang langsung
dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah.
b. Membayar gaji para karyawan bank
yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan
prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umunya.[13]
[3] Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke
Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 37
[4] Ma’ruf Amin, dkk,
Himpunan Fatwa..., hlm. 444
[5] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat...,hlm.
259
[6] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat..., hlm.
264-268
[7] Muhaimin Iqbal, Asuransi
Umum Syari’ah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 26-27
[8] http://ashhabur-royi..., 28 November 2012
[9] M.Quraish
Shihab. Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan Muamalah. (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 271
[10] Muhammad Syakir
Sula, Asuransi Syari’ah (life and
general): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), hlm. 171
[11] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/hukum-islam-dan-undang-undang-perbankan.html, 3
Desember 2012, pukul 10.20
[12] http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia , 3
Desember 2012, pukul 10.47
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !