I.
PENDAHULUAN
Dewasa
ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekear disampaikan dalam
khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhaap agama yang demikian itu
dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak mengunakan
pendekatan teologis normatif dilengkapi engan pemahaman agama yang menggunakan
penekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban
terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran tersebut
diatas, maka pada bab ini pembaca akan diajak untuk mengkaji berbagai
pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Berbagai pendekatan
tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis,
psikologis, historis kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud
dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian
pendekatan dalam memahami agama
2.
Macam-macam pendekatan
didalam memahami agama
III.
PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiyah dapat diartikan seagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu, loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat suyektif, yakni bahasa seagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis[1]. Karena sifat dasar nya yang partikularistik, maka mudah sekali kita temukan bermacam macam aliran teologi. Dalam islam, secara tradisional dapat dijumpai teologi mu’tazilah, teologi asy’ariyah dan maturidiyah. Dan sebelum nya terdapat pula teologi yang bernama khawarij dan murji’ah[2].Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lain nya adalah paham yang salah,sesat, bahkan memandandang penganut paham yang lain kafir. Fenomena ini ,yang disebut dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, dan tentu nya mengandung implikasi pembentukan cara berfikir yang bersifat partikularistik, eksklusif dan seringkali intoleran.
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiyah dapat diartikan seagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu, loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat suyektif, yakni bahasa seagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis[1]. Karena sifat dasar nya yang partikularistik, maka mudah sekali kita temukan bermacam macam aliran teologi. Dalam islam, secara tradisional dapat dijumpai teologi mu’tazilah, teologi asy’ariyah dan maturidiyah. Dan sebelum nya terdapat pula teologi yang bernama khawarij dan murji’ah[2].Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lain nya adalah paham yang salah,sesat, bahkan memandandang penganut paham yang lain kafir. Fenomena ini ,yang disebut dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, dan tentu nya mengandung implikasi pembentukan cara berfikir yang bersifat partikularistik, eksklusif dan seringkali intoleran.
Akan tetapi,
bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama,
karena tanpa pendekatan teologis,keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak
jelas identitas dan pelembagaan nya. Peredaan dalam bentuk forma telogis yang
terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologi keagamaan seharus nya
tidak membawa mereka saling bermusuhan dan menonjolkan segi-segi perbedaan nya,
sebalik nya dicarikan titik persamaan untuk menuju pada misi agama, di antara
nya rahmatan lil alamin. Hendak nya,
pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif,
yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak
adanya yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis ini erat kaitannya
dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari
segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalam nya belum terdapat
penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat suatu kebenaran
mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersifat ideal.
B.
PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Pendekatan Antropologisdalam memehami
agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam
kaitan ini sebagai sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan
sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya
induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam
pengamatan sosiologis. Penelitian
antropologis yang induktif dan grounded, yaitu
turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya
membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat
abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi
yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis[3].
Pendekatan antropologis
diatas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan
perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin
mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan
cara mengubah pandangan keagamaannya.
Melalui pendekatan antropologis
seperti itu diperlukan adanya sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama
hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam
Alqur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya kita memperoleh
informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang
dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Dimana
kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu; dimana kira-kira gua itu dan bagaimana
pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal yang demikian merupakan
kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh yang hanya dapat dijelaskan dengan
bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian,
pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan
lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.
C.
PENDEKATAN
SOSIOLOGIS
Pendidikan dengan pendekatan sosiologis
dapat diartikan sebagai sebuah studi yang memanfaatkan sosiologi untuk
menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang
dihadapinya. Pendidikan, menurut pendekatan ini, dipandang sebagai salah satu
kontruksi sosial, atau diciptakan oleh interaksi sosial.
Pendekatan sosiologi, dalam
praktiknya,bukan saja digunakan dalam memahami masalah-masalah pendidikan,
melaikan juga dalam memahami berbagai bidang lainnya, seperti hukum dan agama
sehingga muncullah studi tetang sosiologi hukum dan sosiologi agama.
Pendidikan dengan pendekatan sosiologi
ini menarik dan penting untuk dikaji dan diketahui karena beberapa alasan
sebagai berikut.
Pertama, konsep pendidikan, selain
didefinisikan melalui pendekatan individual sebagaimana pada aliran nativisme,
juga dapat didekati melalui pendekatan masyarakat sebagaimana pada aliran
behaviorisme. Melalui pendekatan masyarakat, pendidikan dapat diartikan sebagai
pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup
masyarakat tetap berkelanjutan. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai
nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar
identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Kedua, pendidikan adalah salah satu
bentuk interaksi manusia. Ia adalah suatu tindakan sosial yang memungkinkan
terjadinya interaksi melalui suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan.
Jaringan-jaringan ini bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan
individu inilah yang membentuk watak pendidikan di suatu masyrakat.
Ketiga, di kalangan aliaran
progresivisme, sebagaimana yang banyak diterapkan saat ini, dinyatakan bahwa
setiap anak didik memiliki akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan
kelebihan manusia dibanding makhluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif
dan dinamis tersebut, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan
problem-problemnya.
Keempat, program pendidikan saat ini,
selain harus memuat mata pelajaran yang berkaitan dengan kepentingan nasional,
juga mata pelajaran yang berkaitan dengan kepentingan lokal yang dikenal dengan
istilah kurikulum lokal (Kurlok).
Kelima, program dan kegiatan pendidikan
selain harus mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, juga harus
melibatkan kepentingan masyarakat. Di saat ini, masyarakat bukan hanya
dijadikan sebagai sasaran atau objek pendidikan, melainkan juga dijadikan
sebagai subjek. Maka apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Berbasis
Masyarakat, yaitu pendidikan yang menjadikan masyarakat sebagai foktor yang
ikut menentukan dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan.
Keenam, setiap bangsa di dunia menyelenggarakan
pendidikan yang disesuaikan dengan kepantingan negaranya. Dari segi kebudayaan,
berbagai negara tersebut, menurut Samuel Huntington, dapat dibagi ke dalam enam
tepologi, yaitu negara yang terikat pada kebudayaa Cina, kebudayaan India, kebudayaan
Jepang, kebudayaan Islam, kebudayaan Eropa dan kebudayaan Barat[4].
D.
PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat bersal
dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain
itu filsafat juga dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Dalam kamus umum bahasa indonesia,Poerwadarminta mengartikan
filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab,
asas-asas, hukum dan sebagai nya terhadap segala yang ada di alam semesta
ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu[5].
Pengertian filsafat yang umum nya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan
Sidi gazalba. Menurut nya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat
mengenai sesuatu yang ada[6].
Dari difinisi tersebut dapat diketahui
bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah
mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya. Filsafat mencari sesuatu
yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriyah.
Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek bulpoint dengan kualitas dengan
harga yang berlain-lainan, namun inti dari semua bulpoint itu adalah sebagai
alat tulis.
Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik,
yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa,
kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah
pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang
kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung di dalamnya.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh
penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan
pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Namun demikian pendekatan
seperti ini masih belum diterima secara merata terutama kaum tradisionalis
formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan
aturan-aturan formalistik dari pengamalan agama.
E.
PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu
yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat,
waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut[7].Menurut
ilmu ini segalaperistiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu
terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa terebut.
Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah
melakukan studi yang mendalam terhadap agama dalam hal ini islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
yaitu konsep-konsep dan kisah-kisah sejarah peerumpamaan.
Pada bagiaan konsep-konsep, kita mendapat
banyak sekali istilah al-Qu’ran yang merujuk pada pengertian-pengertian
normatif yang khusus, atuarn-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada
umumnya. Dalam hal ini kta mengenal banyak sekali konsep baikyang bersifat
abstrak atau konkret. Konsep tentang Allah, tentang malaikat, tentang akhirat,
tentang ma’ruf mungkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
Sementara itu juga ditunjukan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena
konkret , misalnya konsep orang fuqoro (orang-orang fakir), dhu’afa
(orang-orang lemah), aghniya (orang-orang kaya) dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada bagian yang berisi
konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kisah-kisah sejarah dan perumpaan,
al-Qur’an ingin mengajak dilakukanya perenungan untuk memperoleh hikmah. Pada
al-Qur’an banyak hikmah yang ada didalamnya, misalnya kisah raja Fir’aun ,
kisah nabi Yusuf dan lain sebagainya.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya yang berkenaan dengan penerapan
suatu peristiwa. Disini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar
misalnya, yang bersangkutan mempelajari sejarah turunya al-Qur’an yang disebut
Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunya ayat al-Qur’an) yang pada
intinya berisi sejarah turunyaayat al-Qur’an. Dengan ini orang akan mengetahui
hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu
dan ditunjukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
F.
PENDEKATAN
KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks
yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat
dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima sebagai anggota
masyarakat. Kebudayaan dapat dilihat dari segi agama, sosial, politik, hukum,
teologi, filsafat dan lain sebagainya. Dan kebudayaan terkait erat dengan
kehidupan manusia, kaarena kebudayaan pada hakikatnya merupakan refleksi
kegiatan manusia yang diteorisasikan atau dikonsepsikan .
Jika diamati dengan seksama ternyata
kebudayaan adalah pokok soal yang melekat pada manusia. Kebudayaan dapat pula
disebut sebagai aktifitas pemikiran. Selanjutnya sungguh pun kebudayaan itu
buatan manusia, namun ketika kebudayaan itu lahir ia memiliki jiwa dan
karakternya sendiri. Ia tumbuh menjadi realitas tersendiri yang menjerat dan
menentukan corak manusia. Manusia hidup dalam suatu kebudayaan dan
pertumbuhannya dibentuk oleh kebudayaan itu sendiri. Pada waktu lahir manusia
tidak bisa mengurusi dirinya sendiri. Ia dirawat melalui tangan-tangan
kebudayaan. Perawatan yang teliti dan tepat akan menentukan kehidupannya.
Kemudian ia hidup dalam lingkungan kebudayaan tertentu yang kelak akan
mempengaruhi pandangan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu hidup
dalam alam serba budaya yang selanjutnya akan menjadi ciri khas manusia.
Dari paparan tersebut di atas terlihat
bahwa kebudayaan membentuk semacam kultur yang mempengaruhi perilaku, pola
pikir (mindset) manusia. Dengan demikian berbagai masalah akan timbul ketika tata nilai budaya yang dianutnya
itu tidak sejalan dengan tata nilai yang berada dalam suatu daerah sebagai
akibat perbedaan nilai budaya. Nilai budaya orang sunda misalnya tidak dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi orang jawa. Demikian pula
sebaliknya. Hal ini terjadi, karena nilai budaya orang sunda dengan orang jawa
berbeda. Untuk itu, ketika orang sunda akan berkomunikasi dengan orang jawa
secara intens, masing-masing harus memahami nilai budaya satu dan lainnya.
Perbedaan terjadi dalam hal pengambilan
keputusan, suasana lingkungan kerja, pelayanan dan lain sebagainya yang terjadi
pada sebuah perusahaan dengan perusahaan lainnya terjadi karena perbedaan
budaya yang dimilikinya. Setiap perusahaan (corporate) memiliki budayanya
sendiri-sendiri.
Keseluruhannya menunjukkan bahwa orang
yang hidup dalam budaya kota menjadi manusia yang berlari, risau, lelah, dan
kurang kesempatan atau dukungan untuk merenung dengan mendalam.
G.
PENDEKATAN
PSIKOLOGI
Psikolgi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang
mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
Menurut Zakiyah Daradjat[8],
bahwa prilaku seseorang yang Nampak lahiriyah terjdi karena dipengaruhi oleh
keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam,
hormat kepada orang tua, kepada guru, menutup
aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala
agama yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu agama sebagaimana
dikemukakan Zakiyah Daradjat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu
agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingakan adalah bagaimana
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama kita banyak kita
jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap
beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat
baik dan sebagainya. Semu itu gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan
agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain
mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan
seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasuakan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan
tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan
cocok untuk menanamkanya. Misalkan kita
mengetahui pengaruh dalam sholat , puasa, zakat dan ibadah lainya dengan ilmu
jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi
dalam menanamkan ajaran agama. Itu sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunkan
sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut diatas kita melihat
ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan
itu semua orang akan sampai pada agama. Disini kita melihat bahwa agama bukan
hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat
dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
Karenanya islam mengajar perdamaian, toleransi, terbuka, adil, mengutamakan
pencegahan dari pada penyembuhan dalam bidang kesehatan dengan cara
memperhatikan segi kebersihan badan, pakaian, makanan, tempat tinggal dan
sebagainya.
[1] Eric. J.
Sharpe, Comparative Religion Of History, (London: Duckworth, 1986), hlm. 313.
[2] Harun
Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), cet. I, hlm.
32.
[3] M. Dawam
Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik
[4] Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi penelitian Agama(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), cet. II. Hlm. 19.
[4] Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi penelitian Agama(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), cet. II. Hlm. 19.
[5] J. S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarata: Balai Pustaka,
1991), cet. XII, hlm. 280.
[6]Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner,(Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal. 203-209.
[7] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105.
[8] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. I. Hlm. 76.
[6]Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner,(Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal. 203-209.
[7] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105.
[8] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. I. Hlm. 76.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !