Headlines News :
Home » , » BERBAGAI PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI AGAMA

BERBAGAI PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI AGAMA

Written By Figur Pasha on Thursday, December 20, 2012 | 4:05 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


I.              PENDAHULUAN
   Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekear disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhaap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak mengunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi engan pemahaman agama yang menggunakan penekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran tersebut diatas, maka pada bab ini pembaca akan diajak untuk mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

II.           RUMUSAN MASALAH
                1.      Pengertian pendekatan dalam memahami agama
                2.      Macam-macam pendekatan didalam memahami agama

III.        PEMBAHASAN
A.   PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF 
           Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiyah dapat diartikan seagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu, loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat suyektif, yakni bahasa seagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis[1]. Karena sifat dasar nya yang partikularistik, maka mudah sekali kita temukan bermacam macam aliran teologi. Dalam islam, secara tradisional dapat dijumpai teologi mu’tazilah, teologi asy’ariyah dan maturidiyah. Dan sebelum nya terdapat pula teologi yang bernama khawarij dan murji’ah[2].Aliran teologi  yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang  benar sedangkan paham lain nya adalah paham yang salah,sesat, bahkan memandandang penganut paham yang lain kafir. Fenomena ini ,yang disebut dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, dan tentu nya mengandung implikasi pembentukan cara berfikir yang bersifat partikularistik, eksklusif dan seringkali intoleran.
Akan tetapi, bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa pendekatan teologis,keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaan nya. Peredaan dalam bentuk forma telogis yang terjadi di antara berbagai madzhab dan aliran teologi keagamaan seharus nya tidak membawa mereka saling bermusuhan dan menonjolkan segi-segi perbedaan nya, sebalik nya dicarikan titik persamaan untuk menuju pada misi agama, di antara nya rahmatan lil alamin. Hendak nya, pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalam nya belum terdapat penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersifat ideal.

B.     PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Pendekatan Antropologisdalam memehami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagai sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih  mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.  Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis[3].
Pendekatan antropologis diatas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Melalui pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Alqur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu; dimana kira-kira gua itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal yang demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.

C.   PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Pendidikan dengan pendekatan sosiologis dapat diartikan sebagai sebuah studi yang memanfaatkan sosiologi untuk menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapinya. Pendidikan, menurut pendekatan ini, dipandang sebagai salah satu kontruksi sosial, atau diciptakan oleh interaksi sosial.
Pendekatan sosiologi, dalam praktiknya,bukan saja digunakan dalam memahami masalah-masalah pendidikan, melaikan juga dalam memahami berbagai bidang lainnya, seperti hukum dan agama sehingga muncullah studi tetang sosiologi hukum dan sosiologi agama.
Pendidikan dengan pendekatan sosiologi ini menarik dan penting untuk dikaji dan diketahui karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, konsep pendidikan, selain didefinisikan melalui pendekatan individual sebagaimana pada aliran nativisme, juga dapat didekati melalui pendekatan masyarakat sebagaimana pada aliran behaviorisme. Melalui pendekatan masyarakat, pendidikan dapat diartikan sebagai pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Kedua, pendidikan adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Ia adalah suatu tindakan sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan ini bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu inilah yang membentuk watak pendidikan di suatu masyrakat.
Ketiga, di kalangan aliaran progresivisme, sebagaimana yang banyak diterapkan saat ini, dinyatakan bahwa setiap anak didik memiliki akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif dan dinamis tersebut, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problemnya.
Keempat, program pendidikan saat ini, selain harus memuat mata pelajaran yang berkaitan dengan kepentingan nasional, juga mata pelajaran yang berkaitan dengan kepentingan lokal yang dikenal dengan istilah kurikulum lokal (Kurlok).
Kelima, program dan kegiatan pendidikan selain harus mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, juga harus melibatkan kepentingan masyarakat. Di saat ini, masyarakat bukan hanya dijadikan sebagai sasaran atau objek pendidikan, melainkan juga dijadikan sebagai subjek. Maka apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Berbasis Masyarakat, yaitu pendidikan yang menjadikan masyarakat sebagai foktor yang ikut menentukan dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan.
Keenam, setiap bangsa di dunia menyelenggarakan pendidikan yang disesuaikan dengan kepantingan negaranya. Dari segi kebudayaan, berbagai negara tersebut, menurut Samuel Huntington, dapat dibagi ke dalam enam tepologi, yaitu negara yang terikat pada kebudayaa Cina, kebudayaan India, kebudayaan Jepang, kebudayaan Islam, kebudayaan Eropa dan kebudayaan Barat[4].     

D.    PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat bersal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat juga dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum bahasa indonesia,Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagai nya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu[5]. Pengertian filsafat yang umum nya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi gazalba. Menurut nya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai sesuatu yang ada[6].
Dari difinisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriyah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek bulpoint dengan kualitas dengan harga yang berlain-lainan, namun inti dari semua bulpoint itu adalah sebagai alat tulis.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. 
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Namun demikian pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengamalan agama.

E.     PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut[7].Menurut ilmu ini segalaperistiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa terebut.
Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama dalam hal ini islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua yaitu konsep-konsep dan kisah-kisah sejarah peerumpamaan.
Pada bagiaan konsep-konsep, kita mendapat banyak sekali istilah al-Qu’ran yang merujuk pada pengertian-pengertian normatif yang khusus, atuarn-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam hal ini kta mengenal banyak sekali konsep baikyang bersifat abstrak atau konkret. Konsep tentang Allah, tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf mungkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret , misalnya konsep orang fuqoro (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-orang lemah), aghniya (orang-orang kaya) dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kisah-kisah sejarah dan perumpaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukanya perenungan untuk memperoleh hikmah. Pada al-Qur’an banyak hikmah yang ada didalamnya, misalnya kisah raja Fir’aun , kisah nabi Yusuf dan lain sebagainya.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya yang berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Disini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan mempelajari sejarah turunya al-Qur’an yang disebut Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunya ayat al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunyaayat al-Qur’an. Dengan ini orang akan mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditunjukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.

F.    PENDEKATAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dapat dilihat dari segi agama, sosial, politik, hukum, teologi, filsafat dan lain sebagainya. Dan kebudayaan terkait erat dengan kehidupan manusia, kaarena kebudayaan pada hakikatnya merupakan refleksi kegiatan manusia yang diteorisasikan atau dikonsepsikan .
Jika diamati dengan seksama ternyata kebudayaan adalah pokok soal yang melekat pada manusia. Kebudayaan dapat pula disebut sebagai aktifitas pemikiran. Selanjutnya sungguh pun kebudayaan itu buatan manusia, namun ketika kebudayaan itu lahir ia memiliki jiwa dan karakternya sendiri. Ia tumbuh menjadi realitas tersendiri yang menjerat dan menentukan corak manusia. Manusia hidup dalam suatu kebudayaan dan pertumbuhannya dibentuk oleh kebudayaan itu sendiri. Pada waktu lahir manusia tidak bisa mengurusi dirinya sendiri. Ia dirawat melalui tangan-tangan kebudayaan. Perawatan yang teliti dan tepat akan menentukan kehidupannya. Kemudian ia hidup dalam lingkungan kebudayaan tertentu yang kelak akan mempengaruhi pandangan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu hidup dalam alam serba budaya yang selanjutnya akan menjadi ciri khas manusia.
Dari paparan tersebut di atas terlihat bahwa kebudayaan membentuk semacam kultur yang mempengaruhi perilaku, pola pikir (mindset) manusia. Dengan demikian berbagai masalah akan  timbul ketika tata nilai budaya yang dianutnya itu tidak sejalan dengan tata nilai yang berada dalam suatu daerah sebagai akibat perbedaan nilai budaya. Nilai budaya orang sunda misalnya tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi orang jawa. Demikian pula sebaliknya. Hal ini terjadi, karena nilai budaya orang sunda dengan orang jawa berbeda. Untuk itu, ketika orang sunda akan berkomunikasi dengan orang jawa secara intens, masing-masing harus memahami nilai budaya satu dan lainnya.
Perbedaan terjadi dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja, pelayanan dan lain sebagainya yang terjadi pada sebuah perusahaan dengan perusahaan lainnya terjadi karena perbedaan budaya yang dimilikinya. Setiap perusahaan (corporate) memiliki budayanya sendiri-sendiri.
Keseluruhannya menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam budaya kota menjadi manusia yang berlari, risau, lelah, dan kurang kesempatan atau dukungan untuk merenung dengan  mendalam.

G.   PENDEKATAN PSIKOLOGI
Psikolgi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Daradjat[8], bahwa prilaku seseorang yang Nampak lahiriyah terjdi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, kepada guru, menutup  aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala agama yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu agama sebagaimana dikemukakan Zakiyah Daradjat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingakan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama kita banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik dan sebagainya. Semu itu gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami  dan diamalkan  seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasuakan  agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok  untuk menanamkanya. Misalkan kita mengetahui pengaruh dalam sholat , puasa, zakat dan ibadah lainya dengan ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun  langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itu sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunkan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut diatas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Karenanya islam mengajar perdamaian, toleransi, terbuka, adil, mengutamakan pencegahan dari pada penyembuhan dalam bidang kesehatan dengan cara memperhatikan segi kebersihan badan, pakaian, makanan, tempat tinggal dan sebagainya.


[1] Eric. J. Sharpe, Comparative Religion Of History, (London: Duckworth, 1986), hlm. 313.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), cet. I, hlm. 32.
[3] M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik
[4] Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi penelitian Agama(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), cet. II. Hlm. 19.
[5] J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarata: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hlm. 280. 
[6]Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner,(Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal. 203-209. 
[7] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105. 
[8] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. I. Hlm. 76.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template