A.
Pengangkatan
Umar Bin Khattab Menjadi Khalifah
Abu
Bakar telah menyaksikan percekcokan yang timbul di kalangan kaum Muslimin.
Kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan golongan yang bersimpang siur itu
nyaris menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam. Dan beberapa hari sebelum
Abu Bakar wafat, bala tentara islam sedang bertempur dalam peperangan yang
sangat sengit yang pernah dikenal pada masa itu yaitu peperangan antara kaum
Muslimin melawan tentara Persia dan Romawi.[1]
Pada
saat itu Abu Bakar terpikir akan timbul perselisihan di kalangan kaum Muslimin
kalau mereka ditinggalkan begitu saja, tak ada khalifah yang akan
menggantikannya, tentunya suatu keguncangan akan terjadi di ibu kota, bahkan
tidak mustahil pula akan ada keguncangan di pusat pemerintahan, dan hal itu
akan menyebabkan perpecahan dalam laskar islam sendiri. Ada panglima yang
mendukung calon khalifah, sedang panglima lain mendukung calon yang lain.
Dengan demikian bala tentara yang sedang berperang akan pecah dua yang
masing-masing akan memerangi saudaranya sendiri, kalau demikian terjadi, bala
tentara islam akan dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh bangsa Persia dan
Romawi.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan itu, inginlah Abu Bakar menunjuk penggantinya.
Sewaktu Abu Bakar terbaring sakit, menjelang beliau wafat, Khalifah Abu Bakar
diam-diam melakukan tinjau pendapat terhadap tokoh-tokoh terkemuka dari
kalangan Al Shahabi mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya kelak.
Pilihannya jatuh kepada Umar bin Khattab.
Kemudian
Pada hari berikutnya, Abu Bakar mengundang orang banyak. Ia didudukan istrinya
Asmak binti Umais dan berada dalam pelukannya. Dan menyampaikan maksud dari
pengundangan banyak orang tersebut. Mereka menyetujui apa yang di maksudkan
Khalifah Abu Bakar.
Abu
Abdillah Muhammad Al Waqidi (130 – 207 H/ 747 – 828 M), ahli sejarah itu, di dalam
karyanya Al Maghazi mencatat bahwa Khalifah Abu Bakar, setelah dibawa
masuk kembali dan dibaringkan, mengundang Utsman bin Affan dan memintanya
menuliskan Amanatnya berbunyi: “ Dengan nama Allah Maha Welas dan Maha Asih.
Inilah perjanjian yang diikat Abu Bakar ibn Abi-Khafah terhadap kaum Muslimin.
Adapun kemudian...”
Ia
meng-imalakkannya (mendiktekannya) berupa kata demi kata, akan tetapi sampai di
situ, ia pun tak sadarkan dirinya. Utsman melanjutkan bunyi amanat itu
berbunyi: “ adapun kemudian, aku menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantiku,
dan hal itu untuk kebijakan semuanya.”
Belakangan
ia pun sadar kembali, meminta dibacakan kalimat yang sudah diimlakkannya,
ternyata Utsman ibn Affan membacakan keseluruhannya. Khalifah Abu Bakar
mendadak takbir sehabis mendengarkan isi keseluruhan amanat dan berkata kepada
Utsman: “tampakku anda kuatir bahwa orang banyak akan perbedaan pendapat
kembali andaikan ajalku tiba pada saat tak sadar tadi.”[2]
Umar
memiliki sifat-sifat pemimpin besar dan selama pemerintahan Abu Bakar
kepribadiannya berkembang cepat. Menurut tradisi Arab dia telah muncul sebagai
orang yang kemampuannya telah terbukti dan hampir dapat dipastikan dialah yang
akan terpilih sebagai pemimpin. Karena itu, praktis Abu Bakar tidak menyarankan
selain dia untuk memegang jabatan khalifah.[3]
B.
Pemerintahan
di masa Umar Bin Khattab
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Umar,
adalah mengubah kebijakan Abu bakar terhadap para mantan pemberontak dalam
peperangan Riddah. Bebarengan dengan menunjuk Abu Ubaid As Saqif dan
menyuruhnya untuk mengangkat, sambil berjalan, para anggota suku-suku
sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kegiatan-kegiatan mereka. Ini
merupakan keputusan penting yang mengakibatkan perubahan-perubahan besar di
Arab. Itu merupakan langkah yang paling berarti menuju penyatuan orang-orang
Arab.[4]
Dengan satu keputusan yang sederhana itu para pelaku dosa besar dimaafkan, dan
kemampuan mereka yang ditelantarkan dapat dimanfaatkan dan di arahkan demi
kebaikan bersama.
Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab itu
sepuluh tahun enam bulan, yaitu dari tahun 13 H/ 634 M sampai tahun 23 H/ 644
M. Masa pemerintahannya yang sepuluh tahun itu paling sibuk dan paling
menentukan bagi masa depan selanjutnya. Pada masa pemerintahannya itu imperium
Roma Timur (Bizantium) kehilangan bagian terbesar dari wilayah kekuasaannya
pada pesisir barat Asia dan pesisir utara Afrika. Pada masa pemerintahannya
itulah kekuasaan Islam mengambil alih kekuasaan di dalam seluruh wilayah
imperium Parsi sampai perbatasan Asia Tengah (Central Asia).
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat,
Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang
sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi
delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.[5]
Untuk menjaga keamanan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula
jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Baitul Mal, menempa mata uang, dan
menciptakan tahun hijriah.
Umar juga mengadakan dalam Daulah
Islamiyah peraturan-peraturan baru, yang belum ada sebelumnya. Maka dia membuka
lembaran sejarah baru, memperpesat kemajuan, mengadakan hubungan pos ke
daerah-daerah, menempatkan pasukan-pasukan di perbatasan dan melakukan segala
sesuatu pada waktu yang tepat dalam melakukannya dan dimulai dengan cara
sebaik-baiknya. Inti dari semua peraturan-peraturan pemerintahan adalah sistem
musyawarah yang ditegakkan oleh Umar dengan sebaik-baiknya. Tokoh-tokoh sahabat
dikumpulkan sebagai stafnya untuk berunding dan meminta pendapatnya.[6]
C.
Perubahan
Sosial Masyarakat Islam di Masa Pemerintahan Umar bin Khattab
Pekerjaan Rasulullah yang terutama ialah menyampaikan agama
islam, dan mengajarkan kepada kaum Muslimin jalan-jalan untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Fungsi menyampaikan agama Islam telah dipenuhi oleh
Rasulullah SAW. dan telah dikerjakannya dengan baik. Dan juga fungsi menunjuki
manusia kepada jalan untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, telah
dilaksanakan pula oleh Rasul dengan sempurna. Rasul telah meletakkan
dasar-dasar hidup yang mulia
dan berbahagia bagi kaum Muslimin. Segala kesulitan-kesulitan yang mereka temui
telah dapat diatasi dan dipecahkan oleh Nabi.
Hanya saja di masa Nabi masih hidup agama Islam belum lagi
melampaui Jazirah Arab, dan kehidupan bangsa Arab pun masih sederhana dan bersahaja.
Tetapi tatkala agama Islam telah meluas ke Syam, Mesir dan Persia agama Islam
menjumpai kebudayaan yang hidup di negeri-negeri tersebut. Islam telah
berhadapan dengan keadaan-keadaan baru, dan timbullah berbagai macam kesulitan
dan soal-soal yang belum pernah dikenal dan dijumpai oleh kaum Muslimin selama
ini.
Di masa pemerintahan Abu Bakar kesulitan-kesulitan ini
belum lagi timbul, karena masa beliau adalah amat singkat. Beliau berpulang
kerahmatullah di waktu peperangan-peperangan antara kaum Muslimin dengan bangsa
Persia dan Romawi baru dimulai dan belum dapat diselesaikan. Jadi kemenangan
kaum muslimin belum lagi sempurna. Persoalan-persoalan dan kesulitan datangnya
di masa Khalifah Umar bin Khattab. Maka di atas pundaknya terletak beban untuk
mengatasi dan memecahkannya.
Di sini beliau mulai menciptakan peraturan-peraturan baru,
beliau juga memperbaiki dan mengadakan perubahan terhadap peraturan
peraturan-peraturan yang telah ada, bila
kelihatan bahwa peraturan itu perlu diperbaiki dan diubah.
Sebelum Umar menetapkan peraturan bagi para pejabat dia
telah menetapkan peraturan bagi dirinya, intinya ialah bahwa memerintah itu
merupakan ujian bagi rakyat, dan sesungguhnya Khalifah bertanggung jawab
mengenai tiap-tiap pejabatnya dalam kesalahan besar atau kecil dan dia tidak
dapat bebas dari tanggung jawab itu meskipun dia telah memilih mereka dengan
sebaik-baiknya.
Janji Umar terhadap dirinya adalah sebaik- baik janji yang
dapat diharapkan dari para pemimpin dan yang paling jelas sebagai batas pemisah
antara pemerintah dan rakyat. Adapun pedoman pejabat menurut Umar, pejabat
berbeda dengan rakyat dengan tugas dan kemampuan, bukan dengan kebesaran dan
ketinggian. Dia betul-betul memperhatikan supaya rakyat tunduk kepada
gubernurnya, senang kepada pemerintahannya dan puas akan keadilannya.
[1] Prof. Dr A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka al Husna,
1994), hlm. 237.
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hlm. 139 – 140.
[3] Shaban, M.A, Sejarah Islam Penafsiran Baru (Cet. I; Jakarta:
Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), hlm. 41 – 42.
[4] Ibid, hlm. 42.
[5] Drs. Badri Yatim, M.A. dan H.A. Hafiz Anshari AZ, Sejarah Peradaban
Islam ( Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persad, 1995), hlm. 37 – 38.
[6] Abbas Mahmoud Al Akkad, Kecermelangan Khalifah
Umar Bin Khattab (Cet. 1; Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), hlm. 143.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !