I.
PENDAHULUAN
Di era modern ini, tidak dapat dipungkiri
lagi pergaulan bebas atau perzinaan telah merajalela di negeri ini. Kata ‘Zina’
sendiri mulai disamarkan dengan berbagai istilah menarik yang terkesan permasalahan
ini mulai dianggap ringan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini. Padahal
sejatinya perzinaan menimbulkan banyak permasalahan. Tidak hanya bagi kedua
pelaku namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah
cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya,
seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak
mungkin lepas darinya.
Realita seperti ini tentunya tidak lepas
dari sorotan syari’at Islam yang sempurna dan cocok untuk semua zaman. Maka
dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana status anak zina
dalam syari’at agama.[1]
II.
LANDASAN
HUKUM
a)
Al-Qur’an
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain (Q.S. An-Najm: 38)
b)
Hadits
عن ابن عبا س رضي الله عنه قال, قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِحَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَا نُهُ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِّسَا نِهِ.
Dari Ibn
Abbas RA berkata, Rasulullah S.A.W bersabda, semua anak dilahirkan atas
kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid,
sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan
anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majussi. (Hadits riwayat Abu Ya’la,
Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari’)[2]
عن عبد الله بن عمر و بن العاص
قال, قَضَى النبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا
، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّه لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan, Nabi S.A.W memberi keputusan bahwa anak dari hasil
hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita
merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR.
Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).[3]
III.
PANDANGAN
ULAMA
Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah
karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah,
maka tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina
dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai.[4]
IV.
ANALISIS
A.
Pengertian
Zina menurut Al-Jurjani ialah, memasukkan penis(zakar) ke
dalam vagina (farji) yang bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur
subhat (keserupaan atau kekeliruan).
Adapun anak zina adalah anak yang lahir diluar pernikahan
yang sah. Dan anak yang lahir diluar pernikahan yang sah itu hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[5]
B.
Nasab,
Waris dan Wali Nikah
A.
Nasab
anak hasil zina (anak
di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab syara’ telah menetapkan sebab-sebab yang menimbulkan nasab (hubungan darah yang sah) yaitu Firasy yang shahih, iqrar dan bayyinah.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab syara’ telah menetapkan sebab-sebab yang menimbulkan nasab (hubungan darah yang sah) yaitu Firasy yang shahih, iqrar dan bayyinah.
Firasy yang shahih, ialah hubungan perkawinan yang sah
antara laki-laki dengan wanita, sejak wanita itu mengandung ia sudah mempunyai
ikatan yang sah atau perhubungan yang sah antara dia dengan suaminya.[6]
B.
Waris
Hukum dalam warisan anak
zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mula’anah karena
terputusnya nasab mereka dari sang bapak.
Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi
nasabnya.
1.
Anak zina dengan lelaki
yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
2. Anak zina dengan ibunya
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman.
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman.
C.
Wali
nikah
Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak
perempuan dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis
bukanlah bapaknya. Dengan demikian, dia memiliki hubungan kekeluargaan dari
pihak bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis,
tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman maupun kakeknya. Lalu
siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah:
a.
Anak
laki-laki kebawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak
b.
Hakim
(pejabat resmi KUA)[7]
[1]
http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina,
Selasa, 9 Oktober 2012 pukul 9:11.
[2]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1990), hlm.
38.
[3]
Ammi Nur Baith, http://www.konsultasisyariah.com/anak-di-luar-nikah,
Selasa, 9 Oktober 2012 pukul 9:12.
[4]
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-kedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya,
Rabu, 24 Oktober 2012 pukul 22:13.
[5]
Masjfuk Zuhdi, Masail…, hlm. 37-38.
[6] Hasbi Ash Shiddieqy, Kumpulan
soal jawab dalam post graduate course jurusan Ilmu Fiqh dosen-dosen IAIN,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 82.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !