I.
PENDAHULUAN
Dalam
Al-Quran dan As-Sunnah sudah banyak menjelaskan tentang kedudukan Nabi Muhammad
sebagai Nabi atau utusan Allah yang terakhir. Dalam kitab-kitab Allah yang
diturunkan sebelum Al-Quran seperti Injil, Taurat, dan Zabur pun telah
menyebutkan bahwa akan datang Nabi atau utusan Allah yang terakhir dan sebagai
penutup bagi para Nabi, tidak ada Nabi yang datang setelahnya.
Realita
yang kita lihat mulai dari zaman Nabi maupun sampai sekarang banyak mereka yang
mengaku sebagai Nabi atau utusan Allah. Yang seperti itu jelas sekali sudah
menyimpang dari ajaran yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa hal yang
berkaitan dengan Nabi palsu maupun hukumnya.
II.
LANDASAN
HUKUM
A.
Alqur’an
“Dan
sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, diantara mereka
ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami
ceritakan kepadamu…” (QS. Al-Mu’min: 78)
“Dan
(Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu…” (QS. An-Nisa: 164)
B. Hadits
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنِ ابْنِ دِينَارٍ يَعْنِي
عَبْدَ اللَّهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ
مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ
لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ
لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا تِلْكَ اللَّبِنَةُ
وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud
berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma’il dari Ibnu Dinar -yaitu Abdullah-
dari Abu Shalih As Samman dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: \”Permisalanku dengan para Nabi sebelumku adalah
seperti seorang laki-laki yang membuat bangunan, ia memperbagus dan
memperindahnya kecuali satu bata pada salah satu sudut bangunan tersebut, maka
manusia berkeliling dan merasa kagum, dan mereka berkata; ‘Sekiranya satu bata
ini disempurnakan, ‘ beliau bersabda: \”Maka aku adalah satu bata tersebut, dan
aku adalah penutup para Nabi.\” ( Musnad Imam Ahmad hadits no 8802). [1]
III.
PEMBAHASAN
Rasul
adalah manusia dari diri umat. Jika manusia dari tambang, maka Allah
memperuntukan kepadanya pemberian rasio dan rohani agar dia siap menerima wahyu
dari Allah SWT. Allah memperuntukan Rasul dengan memperoleh beberapa
keistimewaan agar dia mampu memikul beban risalah dan menjadi teladan baik yang
harus diikuti, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Seandainya
para utusan Allah tidak memperoleh beberapa keistimewaan rasio dan rohani
seperti kesucian mereka telah ternoda atau rasio mereka lemah, tentu mereka
tidak mampu menyampaikan petunjuk Allah kepada manusia.
Rasulullah
mengalami dan merasakan apa yang dialami orang biasa seperti sehat dan sakit,
kuat dan lemah, senang dan bencana, hidup dan mati. Hanya saja sesuatu yang
diturunkan itu tidak menimpanya karena mengakibatkan orang lain lari. Allah
berfirman : “Ingatlah ketika Ayyub memanggil Tuhannya : ‘Sesungguhnya diriku
telah tertimpa bencana. Engkau lebih pengasih dari semua yang pengasih.’
Setelah itu permintaannya kami kabulkan dan Kami hilangkan bencana yang
menimpanya. Kami datangkan kepada Ayyub keluarganya dan sesame mereka bersama-sama
sebagai rahmat di sisi Kami dan peringatan bagi orang-orang yang beribadah”
(QS. 21 : 83-84). “Muhammad itu tidak lain hanya seorang Rasul. Beberapa Rasul
sebelumnya telah mendahuluinya. Jika Rasul itu mati atau terbunuh, apakah
kalian kembali menjadi kafir ? Barang siapa yang kembali menjadi kafir, dia
tidak akan mendatangkan bahaya kepada Allah sedikitpun” (QS. 3 : 144).
Rasul
yang manapun tidak bisa bertindak sendiri di ala mini dan tidak mempunyai
pertolongan dan bahaya. Dia tidak bisa mempengaruhi kehendak Allah dan tidak
mengetahui yang gaib kecuali dengan qadar (ketentuan) yang dikehendaki Allah.
Allah berfirman : “Katakan : Saya tidakberhak mendapat pertolongan untuk diriku
dan saya tidak pula berhak menolak bahaya kecuali jika Allah menghendaki.
Seandainya saya mengetahui yang gaib, tentu saya berbuat kebaikan dan kejahatan
tidak akan menimpaku. Saya tidak lain hanya pemberi kabar takut dan kabar yang
gembira bagi kaum yang beriman” (QS. 7 : 188). “Allah mengetahui yang gaib.
Oleh karenanya, Dia tidak akan menampakan kegaiban-Nya kepada seseorang kecuali
kepada Rasul yang diridhoi. Sesungguhnya Allah memasukan beberapa penjaga
(Malaikat) di depan dan di belakang Rasul agar dia mengetahui bahwa para Rasul
itu telah menyampaikan risalah Tuhannya. Dia meliputi apa-apa yang ada di
sisi-Nya dan menghitung bilangan segala sesuatu” (QS. 72 : 26-28).[2]
Dengan
demikian kita dapat tahu bahwa antara Nabi dan Rasul mempunyai pengertian yang
sedikit berbeda. Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah
SWT. tetapi tidak berkewajiban untuk disampaikan kepada umatnya. Sedangkan
Rasul adalah seorang laki-laki yang
diberi wahyu oleh Allah dan berkewajiban menyampaikan wahyunya kepada umatnya.
Tapi dalam perkembangannya kedua istilah tersebut biasa digunakan untuk arti
dan maksud yang sama, Nabi sama dengan Rasul.
Iman
kepada para Rasul merupakan salah satu pokok keimanan. Arti iman kepada mereka
adalah tashdiq (pembenaran) terhadap
kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Allah kepada kita beritanya dan
pembenaran terhadap mereka dalam apa-apa yang mereka sampaikan dari Allah.
Selain itu juga membenarkan bahwa mereka benar-benar telah menyampaikan apa-apa
yang telah diperintahkan kepada mereka untuk disampaikan dan hujjah Allah telah
ditegakkan terhadap hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-rasul tersebut
kepada mereka.
Diantara
bentuk iman kepada mereka ialah iman kepada (utusan) yang tidak disampaikan
oleh Allah kepada kita namanya. Maka kita beriman kepada mereka secara global,
bahwasannya Allah telah mengutus pula beberapa Rasul lain di luar mereka, yakni
yang telah disebut nama-namanya kepada kita.[3]
Selanjutnya,
diantara bentuk iman kepada mereka adalah iman kepada semua sifat-sifat yang
diberikan Allah tentang mereka dan kepada seluruh pernyataan yang mereka
keluarkan tentang diri mereka sendiri, yakni bahwa mereka hanyalah hamba-hamba
Allah jua; mereka adalah manusia yang dilebihkan oleh Allah dan dipilih-Nya
melalui risalah dan firman-Nya. Meskipun demikian, bukan berarti mereka keluar
dari maqom ‘ubudiyah (kewajiban
beribadah). Sesekali seseorang di antara mereka bertambah usahanya dalam
mewujudkan maqom ‘ubudiyah (kewajiban
beribadah), bertambah pula kedekatan mereka kepada Allah. Maka tidak boleh lagi
setelah itu mempersembahkan jenis ibadah apa pun dan dengan cara apa pun kepada
mereka, bahkan dakwah mereka semua hanya bertujuan supaya beribadah hanya
kepada Allah semata.
Dengan
demikian, secara global iman kepada para Rasul dan para Nabi merupakan salah
satu rukun iman yang tidak menjadi sempurna keimanan seorang hamba, kecuali
dengannya.[4]
Rasul
yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh AS, dan yang terekhir adalah Nabiyyullah
Muhammad SAW.[5]
Allah
SWT. berfirman:
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu
kepada Nuh dan Nabi-nabi yang kemudian…” (QS. An-Nisa: 163)
Dan
diantara hal-hal yang dapat membatalknan ke-Islaman dan keimanan seseorang
adalah:
1. Meyakini
ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi SAW., atau meyakini ada
hokum yang lebih baik daripada hukum beliau.
2. Membenci
ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.
3. Meyakini
bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari Syariat Nabi
Muhammad SAW.[6]
Dengan
begitu seseorang benar-benar dituntut untuk beriman dengan sebenarnya dengan
dilandasi unsure-unsur Iman serta tidak malakukan hal-hal yang dapat
membatalkan ke-Islaman maupun ke-Imanan. Yang semuanya itu justru akan membuat
apa yang kita yakini menjadi sia-sia dan tidak diterima.
Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha
Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon
serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini
menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini
disebabkan dalil qath’i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah
menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak
ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.
Atas dasar nash-nash itulah
para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka
yang mengikutinya. Al Muthi’i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah
satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah
murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang
mengikutinya”.
Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat,
jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku
membenarkannya”, maka, menurut Al Muthi’i, ia telah murtad. Al Muthi’i juga
merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang
murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para
pengikut mereka”.
Ulama dari kalangan madzhab Hambali
pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181),
rujukan pokok madzhab Hambali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai
nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”.[7]
Penetapan
bahwa Rasulullah adalah Rasul sekaligus Nabi terakhir oleh para ulama
berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40:
”Bukanlah
Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah
Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tafsir
ayat diatas adalah janganlah
engkau takut kepada ejekan manusia, karena engkau menikahi bekas istri anak angkatmu. Sebab, engkau bukanlah ayah
dari seorangpun dari mereka bukan ayah hakiki (kandung) dari anak angkatmu itu.
Karenanya, mereka tidak bisa berkata, bagaimana Muhammad menikahi bekas istri
anak angkatnya.
Engkau
adalah Rasul Allah yang menyampaikan risalahnya kepada manusia dan sebagai nabi
penghabisan. Tidak ada nabi lagi sesudahmu. Engkau adalah ayah dari semua
umatmu dalam arti penghormtan dan kemuliaan serta dalam sifat kasih sayang,
sebagaimana rasul-rasul yang lain terhadap umatnya masing-masing. Ringkasnya,
Muhammad itu bukanlah ayah dari umatnya, dalam arti beliau haram menikahi bekas
istri seorang umatnya. Tetapi beliau adalah ayah bagi seorang mukmin, dalam arti
berhak menerima penghormatan dari mereka semua, sebagaimana wajib beliau untuk
berdaya upaya mendatangkan kebajikan bagi umatnya.
Telah
dikenal dalam sejarah, Rasulullah mempunyai 3 anak dari istri Siti Khadijah,
tetapi semua meninggal dunia sewaktu masih kecil, yaitu Al-Qasim, At-Thayyib,
dan At-Thahir. Selain itu beliau memiliki seorang anak lelaki Mariyah yang
diberi nama Ibrahim, meninggal sewaktu masih bayi. Dari istri khadijah, Nabi
juga dikaruniai 4 anak perempuan yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan
Fatimah. 3 yang pertama meninggal sebelum Rasulullah wafat. Hanya Fatimahlah
yang wafat 6 bulan setelah Rasulullah wafat.
Allah
itu maha mengetahui siapa diantara nabi yang pantas untuk dijadikan sebagai
nabi pada permulaan dan siapa diantara mereka yang pantas dijadikan nabi
penghabisan.
Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Al
Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf menyatakan,
ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para mufasirin
dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam Al Umm, Ibnu Katsir, Imam As
Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti Al
Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh dalam Al Manar menyatakan hal
yang sama.
Beberapa hadits pun memiliki makna
bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadits: “Sesungguhnya
saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana
Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia
berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR.
Muslim) [8]
Karena amat banyak jalan
periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan
bahwa hadits ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti
Pakistan Muhammad Syafi’.
Sebagaimana disebutkan juga oleh
Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa
tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada
seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah
pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang
aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan
Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).
Selain Al Quran dan Sunnah, ijma’ juga
menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm
dalam Al Maratib Al Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam
Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/33).
Kekufuran Para Pengingkar Syari’at
yang Mutawatir
Tentu yang namanya nabi palsu pasti
menyeru kepada hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi
di lapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran
Rasulullah saw, seperti shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati
kewajibannya dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu
tidak sebatas maksiat biasa, karena hal itu pun sudah masuk kepada wilayah
kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2172) mengatakan,”Bagitu juga
(dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti
zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu
hampir tidak bisa dihitung dan ijma’ pun menyatakan hal yang serupa”.
Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib
Al Ijma’,sesuai dengan nukilan Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi
Masa’il Al Ijma (1/126): “Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada
Allah dan Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir
darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta
tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara mutawatir.
Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami sebutkan atau
ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah kafir dan kekal di
neraka”.
Kesimpulannya, bahwa ijma’ telah
menyatakan bahwa hal-hal yang dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti
kewajiban shalat, zakat, haji, termasuk khabar yang menyatakan bahwa Rasulullah
adalah nabi terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang
menolak maka ia telah kafir.
Berpedoman dari dalil-dalil di atas
maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat
lembaga ini sesuai dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk
ranah ijma’ maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena
Rasulullah sendiri bersabda:” Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat
dalam kesesatan”. Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna
menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al
Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).[9]
Banyak
dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah yang secara tegas menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain Nabi
Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan tidak aka nada lagi Nabi atau Rasul yang
dating setelah beliau. Di antaranya adalah firman Allah:
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia
adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)
Nabi Muhammad SAW.
menyebutkan akan adanya dajjal
(pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi SAW. bersabda:“…Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku
pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi,
sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”[10]
Dengan
demikian sudah jelas
bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir dan penutup para Nabi. Tidak ada
Nabi yang datang setelahnya. Orang yang mengaku sebagai Nabi, maka sungguh ia
telah murtad dari ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW.
[1]
http://forumpembelaaqidahislamcisarua.wordpress.com/2011/05/22/hadits-muhammad-saw-penutup-para-nabi-bag-1/
[2]
Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1996),hal. 175-177
[3]
Muhammad bin
A.W. al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2009), Penerjemah: Nabhani Idris, cet. 5., hlm. 484
[5]Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
(Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009), cet. 7., hlm. 237
[6]
Syeh Muhammad bin Abdul
Wahhab, Penjelas tentang Pembatal
ke-Islaman, (Solo: Darul Muslim, 1996), hlm. 59
[7]
Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 8
[8]http://onlinebusiness135.blogspot.com/2010/03/muhammad-saw-sebagai-rosul.html
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !