I.
PENDAHULUAN
Pemimpin merupakan salah satu figur bagi
suatu kaum baik itu Negara, Bangsa, maupun Agama. Dengan Pemimpin yang jujur,
amanah, serta bertanggung jawab maka rakyatpun akan menjadi makmur.
Diantara kaidah penting dalam ajaran
Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan yang berhubungan dengan
kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan kemasyarakatan, kepada para
ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang agama. Adapun
orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara. Jika mereka berani berbicara dan
berkomentar maka akan muncul kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.
II.
LANDASAN HUKUM
A.
Al Qur’an
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya
orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al-Maidah:51)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin-pemimpinmu dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin / Muslim (An-Nisa : 144)[1]
B.
Hadits
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan
mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan
mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim pun
maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka.
Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka pun sesat dan menyesatkan.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma)
C.
Pandangan Ulama
أولياء
بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }
“Allah
ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi
dan Nasrani, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain.
III.
ANALISIS
Terlepas
dari apakah kita setuju atau tidak setuju dengan fatwa di atas, akan dikaji
lebih rinci di sini beberapa prinsip islam dalam hal memilih pemimpin. Dari
beberapa ayat Al-Quran, dapat dijelaskan bahwa seorang muslim harus memilih
pemimpin yang muslim. Dengan kriteria-kriteria dari al-Quran dan hadis di atas
jelaslah bahwa memilih pemimpin yang baik itu tidaklah mudah, apalagi di negara
kita yang terkadang yang menjadi calon pemimpin itu jauh dari kriteria
tersebut. Jika demikian halnya, tentu yang harus kita lakukan adalah kita
memilih yang terbaik dari yang ada (paling banyak kelebihannya), atau dengan
patokan lain kita memilih yang paling minim kekurangannya. Karena itu, jika kita dihadapkan pada dua calon pemimpin, yang
satu muslim tetapi jelek dan yang satu non-Muslim tetapi baik, maka kita harus
lebih cermat lagi dalam melakukan pilihan.[2]
Perbedaan dua sisi pandang dalam
menyikapi pemilihan pemimpin nonmuslim, yang pertama adalah produk manusia yang
hanya berdasarkan hawa nafsu dan kemampuan akal yang sangat terbatas, sedang
yang kedua berasal dari sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Orang yang berakal tentu mengerti dari sisi mana sebaiknya dia
memandang memilih calon pemimpin yang muslim meskipun
jelek lebih baik daripada memilih calon pemimpin yang baik tetapi non-Muslim.
Dalam pandangan Islam kedua calon pemimpin itu sama-sama tidak baik (kurang),
sehingga yang harus dipilih adalah yang paling minim kekurangannya. Argumen
yang bisa dipegangi adalah membuat orang yang jelek menjadi baik lebih mudah
ketimbang membuat orang yang non-Muslim menjadi Muslim. Seorang pemimpin terpilih
tidak lagi bisa berbuat sekehendaknya lagi. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
ia diikat oleh aturan (Undang-Undang). Jika ia masih melakukan kebiasaan-kebiasaan
buruknya dan bertentangan dengan aturan, maka ia akan dikenaisanksi, bahkan bisa
dihukum. Dengan argumen ini, maka calon pemimpin Muslim yangsemula tidak baik,
ia “dipaksa” mengikuti ketentuan yang ada sehingga ia tidak bisa sekehendaknya
berbuat sesuatu.[3]
Seorang
calon pemimpin non-Muslim yang baik pasti memiliki kelebihan (kebaikan), namun
dari sisi yang lain ia memiliki keyakinan yang bertentangan dengan yang
ditetapkan oleh al quran. Meskipun sulit membuktikan bahwa ia akan berbuat
tidak baik untuk bangsa dan negara, namun jika kita beriman kepada Allah dan
Kitab Allah, maka sebagai umat Islam, kita harus mengikuti ketentuan al quran
tersebut.
Jika semua
calon pemimpin yang akan kita pilih non-Muslim, tentu kita harus menentukan
pilihan yang terbaik, apakah harus mengikuti ketentuan di atas, memilih yang
terbaik dari yang ada, ataukah harus memilih untuk tidak memilih (golput).
Kalau patokannya adalah untuk kemaslahatan individu, barang kali alternatif
terakhir yang terbaik, yakni golput. Namun, jika patokannya kemaslahatan
bersama (bangsa atau negara), maka kita harus memilih salah satu dari mereka.[4]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !