I.
PENDAHULUAN
Sebagai agama yang
ajarannya penuh rahmat bagi penghuni dunia ini (rahmatan lil ‘alamin), Islam telah
memberikan tuntunan-tuntunan bagi pemeluknya. Ajaran Islam sarat dengan
tuntunan untuk merawat dan memperlakukan orang yang sakit dengan baik. ‘iyadah
al-Maridh yang sangat digalakkan oleh
Islam sebenarnya, tidak ahnya berarti menengok orang yang sakit,
sebagaimana yang dipahami selama ini, melainkan juga berarti merawat dan
mengobati orang yang sakit.
Manusia di tuntut untuk
selalu memperhatikan orang-orang yang sakit dengan memberikan bantuan baik
moril maupun materiil, sehingga mereka tidak merasa terkucil, khususnya secara
moril dari masyarakat. Sementara itu, ajaran Islam juga sarat dengan tuntunan untuk
menghindari hal-hal yang membahayakan, apalagi penyakit yang berpotensi untuk
menular.
Karenanya tanpa
mengurangi perlakuan yang baik kepada orang yang sakit, Islam mengajarkan agar
kita waspadai dan menghindari kemungkinan penularan penyakit dari orang yang
sakit tersebut.
Anjuran Islam untuk
memperhatikan dan memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang sakit itu
juga termasuk orang-orang yang terkena penyakit HIV/AIDS.
Dalam makalah ini akan
dibahas tentang Bagaimana hukum pernikahan orang yang terkena penyakit HIV/AIDS
menurut pandangan Islam.
II.
LANDASAN HUKUM
A.
Al-Qur’an
Artinya:..”, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...( al-baqarah:195)
B.
Hadis
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ ( رواه احمد و البيحق و الحكيم و ابن ماجة )
Artinya:”Tidak
boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”(HR. Ahmad, al-Baihaqi,
al-Hakim, dan Ibnu Majah)[1].
عن ابي هريرة رضى الله عنه
قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم , يُوْرَدُ
لاَ مُمَرِضٌ عَلَى مُصِخُ. (رواه البخارى و المسلم)
Artinya
dari Abu hurairah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:Tidak boleh dicampur
orang yang sakit dengan orang yang sehat ( HR. Al-Bukhari dan Muslim).[2]
C.
Pandangan Ulama
اَلضِّرَرَيُزَالُ
Artinya: “setiap bahaya harus dihindarkan”[3]
الْمَصَالِح
جَلْبٍ عَلَى مُقَدَّمٌ سِدِ الْمَفَا دَرْءُ
Artinya
: mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik
kemaslahatan.[4]
III.
ANALISIS
Penyakit
HIV/AIDS dimana 80%-90% penyebabnya adalah berzina, merupakan penyakit yang
sangat berbahaya, khususnya bagi orang-orang yang tidak memiliki akhlak yang
tidak terpuji. Penyakit ini merupakan musibah yang dapat menimpa siapa saja
termasuk orang-orang yang berakhlakul karimah. Orang yang terkena musibah ini
belum tentu akibat dosa yang diperbuatnya, tetapi boleh jadi merupakan korban
perbuatan orang lain[5].
Seseorang
yang menderita HIV/AIDS pertama kali akan mengalami gejala-gejala seperti
penyakit influenza, namun penyakit itu kemudian akan menjadi bervariasi selama
kurun waktu antara waktu 6-7 tahun atau rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan
60 athun pada orang dewasa. Disamping itu, diperhatikan gejala klinis lainnya,
antara lain: kelainan pada kulit kepala dan rambut kepala, kulit muka dan
bagian lainnya, hidung ,mata, rongga mulut, paru-paru, alat kelamin, dan berat
badan semakin susut hingga tulang berbaut kulit.[6]
Karena
sangat berbahayanya penyakit HIV/AIDS itu, maka disini timbul permasalahan
mengenai bagaimana hukumnya menikah dengan orang yang terkena penyakit
HIV/AIDS, dimana penyakit itu sangat berbahaya dan menular.
Anjuran
Islam untuk memperhatikan dan
memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang
sakit itu juga termasuk orang-orang yang menderita virus HIV/AIDS. namun tentu
jangan sampai perlakuan yang baik itu justru akan mengorbankan orang lain yang
tidak terkena HIV menjadi terkena. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Kaidah
fiqih menyebutkan: “ Bahaya itu tidak dapat dihilangkan
dengan mendatangkan bahaya yang lain”.
Hukum
pernikahan penderita HIV/AIDS dibedakan menjadi dua hukum, yaitu:
1.
Perkawinan antara
seorang yang menderita HIV dengan orang yang tidak menderita HIV/AIDS:
a)
Apabila HIV/AIDS itu
dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan (maradhdaim), maka hukum
tersebut dalam kifayah Al-Akhyar III (38) sebagai berikut:
أَلْحَالَةُ الثَا نِيَةُ اَنْ يَجِدَ مؤْنً النِكَاحِ وَلَكِنَاهُ
غَيْرُمُحْتَاجٍ اِلَيْهِ اِمَّا لِعَجْزِهِ بِجُبٍّ اَوْ تَعْنِيْنٍ اَوْكَا نَ
بِهِ مَرَضٌ دَائِمً وَنَحْوِهِ وَهَذَااَيْضًا يَكْرَهُ النِّكَاحُ
” keadaan kedua, yaitu
laki-laki yang mempunyai biaya perkawinan, Tersebut
dalam Al Fiqh al-IslamyWaAdilatuhu VII (32):
وَيَكْرَهُ عِنْدَ اَلشَّافِعِيَةِ لِمَنْ بِهِ عِلَةِ كَهَرَمِ
اَوْتَعْنِيْنٍ اَوْ مَرَضٍ دَائِمٍ اَوْ كَانَ مَمْسُوْحًا وَيَحْرُمُ النِّكَاحُ
إِذَا تَيَقَّنَ الشَخْصُ ظُلْمُ الْمَرْاَةِ وَاْلاِضْرَارَ بِهَا اِذَاتَزَوَّجَ
“Menurut mazhab Syafi’i, orang yang sakit
seperti lanjut usia atau sakit
kronis atau impoten yang tidak
bisa disembuhkan, “Makruh” untuk menikah.
b).
Apabila HIV/AIDS itu selalu dianggap sebagai penyakit yang sulit disembuhkan, juga
diyakini membahayakan orang lain, maka
hukumnya”haram”. Tersebut dalam
Al-Fiqh al-Islamy WaAdilatuhu V11(83):
وَيَحْرُمُ النِّكَاحَ اِذَا تَيَقَّنَ الشَّخْصُ ظُلْمُ
الْمَرْآَةِ وَاْلاِضْرَارُبِهَا َإِذَا تَزَوَّجَ
“ Apabila laki-laki
yakin bahwa perkawinanya akan mendzhalimi dan menimpakan
kemadharatan atas perempuan yang akan dikawininya. Maka hukum
perkawinanya “ haram”[7]
2.
Perkawinan antara dua
orang (laki-laki dan wanita) yang sama-sama menderita HIV/AIDS
hukumnya “boleh”.
Dalam Asnal Mathalib jus III
menjelaskan hukum pernikahan keduanya(pengidap HIV/AIDS) adalah sah, namun
makruh,
يَصِخُّ
نِكَا حُهُمَا مَعَ الكَرَاهَةِ وَكَذَاباِلبَرَصِ وَالجُذّامِ
غَيْرَاَلحَادِثِيْنَ لِأَنَّهُمْ يُعَبِّرُوْنَ بِكُلِّ مِنْهُمَا وَلِأَنَّ اْلعَيْبَ
قَدْ ىَتَعَدَّى اِلَيْهَا وَ اِلَى نَسْلِهَا .(أسنى المطا لب 3/186)
Dan sah namun makruh pernikahan keduanya( pengidap
HIV/AIDS). Demikian halnya penderita kusta dan lepra yang sudah lama, karena
mereka menganggapnya sama dengan keduanya dan karena aib bisa menimpanya dan
keturunanya[8].
Menurut
ketua MUI, KH.Ma’ruf dalam fatwanya yaitu: Bagi Suami atau istri yang menderita HIV/AIDS
dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang
dapat mencegah penularan HIV/AIDS,’’ .
Selain itu, menurut fatwa tersebut, suami atau istri yang menderita HIV/AIDS
diminta untuk tidak memperoleh keturunan,
namun jika ibu penderita HIV/AIDS hamil, tidak boleh menggugurkan
kandungannya.Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT surat Al-Isra: 31[9]
‘’Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan” ( QS.Al- Isra: 31).
[1]
Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, ( Jakarta: Erlangga,2011), hlm. 357.
[2]
Ahsin W Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta:Amzah,2010), Cet.2, hlm.55.
[3]
Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI
. . ., hlm. 357.
[4]
Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI . . ., hlm. 481.
[5]
Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI . . ., hlm. 352.
[6]
Ahsin W Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta:Amzah,2010), Cet.2, hlm.
58.
[7]
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: departemen Agama RI, 2003),
hlm.228.
[9]www. Republika.co.id... 07/11/2012,
16.00
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !