Agama Islam
tidak memandang wanita sebagai benda najis, titisan roh halus, iblis dan
berbagai hinaan dan cacian lainnya, sebagaimana yang menjadi kepercayaan agama
kuno di Eropa. Sebaliknya justru Islam memuliakan para wanita, agama Islam juga
tidak mengurung wanita di dalam rumah, atau mengharamkan para wanita keluar
rumah, bekerja atau bersosialisasi. Asalkan semua itu tetap menjaga batas-batas
yang telah ditentukan di dalam syariat Islam. Khusus di dalam masalah kesehatan
dan kedokteran, Islam justru memberikan peran besar bagi para wanita untuk
terjun ke dalamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa rumah sakit pertama yang
dibangun dalam sejarah Islam adalah tenda milik seorang wanita, di mana di
dalamnya para korban luka perang dirawat oleh para wanita juga.
Dalam
pembahasa kali ini akan di jelaskan secara singkat berkaitan hukum dokter dan
pasien yang berbeda jenis, apa saja landasan hukum yang dipakai, bagaimana
pendapat para ulama tentang hukum dokter dan pasien yang bukan muhrimnya, dan
bagaimana menganalisa tentang hukum tersebut.
II.
Landasan Hukum
A. Al-Qur’an
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah : 2)
Dan
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu lakukan. (Q.S. Al-An’am : 119)
B. Hadits
مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ
Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buat saudaranya, maka berilah
manfaat. (H.R. Muslim)
اِنَّ
اللهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً اِلاَّ اَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ
وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan di turunkan-Nya pula
obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak diketahui oleh orang
yang tidak mengetahuinya. (H.R. Ahmad)
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى
عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya
Nabi SAW. bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang
lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang
lain)". (H.R. Muslim)
C. Pandangan Ulama
1.
Fatwa Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsmani RA.
Dalam kitab Wa Rasaail Syaikh Ibnu Utsmaimin Juz 1 halaman 30, Syamilah.
إن
ذهاب المرأة إلى الطبيب عند عدم وجود الطبيبة لا بأس به كما ذكر ذلك أهل العلم ،
ويجوز أن تكشف للطبيب كل ما يحتاج إلى النظر إليه إلا أنه لابد وأن يكون معها محرم
ودون خلوة من الطبيب بها ، لأن الخلوة محرمة وهذا من باب الحاجة
وقد ذكر أهل العلم رحمهم الله أنه إنما
أبيح هذا لأنه محرم تحريم الوسائل ، وما كان تحريمه تحريم الوسائل فإنه يجوز عند
الحاجة إليه
“Sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi dokter lelaki di saat
tidak ditemukan dokter wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang disebutkan
oleh para ulama, dan dibolehkan bagi wanita tersebut membuka di hadapan dokter
lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya saja disyaratkan harus
ditemani mahram tanpa khalwat dengan dokter lelaki tersebut, sebab khalwat
diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Telah disebutkan pula oleh para ulama
–semoga Allah merahmati mereka- bahwa perkara ini dibolehkan karena dia
diharamkan dengan sebab sebagai wasilah (pengantar kepada zina) dan sesuatu
yang diharamkan karena dia sebagai wasilah dibolehkan dalam kondisi
dibutuhkan.”
2.
Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa
tarikhul. Jannatiddaimati lil buhusil alamiyati wal ifta’i No. 3201 tanggal
1/9/1400 H
إذا
تيسر الكشف على المرأة وعلاجها عند طبيبة مسلمة لم يجز أن يكشف عليها ويعالجها
طبيب ولو كان مسلما , وإذا لم يتيسر ذلك واضطرت للعلاج جاز أن يكشف عليها طبيب
مسلم بحضور زوجها أو محرم لها , خشية الفتنة أو وقوع ما لا تحمد عقباه , فإن لم
يتيسر المسلم فطبيب كافر بالشرط المتقدم . وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه
وسلم
Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada
dokter wanita yang muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya dan
melakukan pengobatan kepada dokter lelaki meskipun dia seorang muslim. Namun
jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa melakukannya karena pengobatan, maka
boleh dibuka auratnya oleh dokter lelaki muslim dengan kehadiran suaminya atau
mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau terjatuh kedalam perkara yang tidak
disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan dokter lelaki muslim, maka dibolehkan
dokter lelaki kafir dengan syarat yang telah disebutkan.[1]
III.
Analisis
Islam
sangat menghargai tugas kesehatan, karena tugas ini adalah tugas kemanusiaan
yang sangat mulia, sebab menolong sesama manusia yang sedang menderita. Dan
menurut Islam, hubungan antara petugas kesehatan dengan pasien adalah sebagai
hubungan penjual jasa dengan pemakai jasa, sebab si pasien dapat memanfaatkan
ilmu, keterampilan, keahlian petugas kesehatan, sedangkan petugas kesehatan
memperoleh imbalan atas profesinya berupa gaji atau honor. Karena itulah
terjadilah akad ijarah antara kedua belah pihak, ialah suatu akad, di
mana satu pihak memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan
keahlian pihak lain, dengan memberi imbalannya.[2]
Namun semua
itu ada ukuran dan batasannya. Dalam masalah merawat dan mengobati pasien di
dalam dunia kedokteran, secara umum Islam mengizinkan hal itu terjadi walau
antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini bisa saja dokter laki-laki dan
pasiennya perempuan, atau sebaliknya. Kecuali untuk jenis penyakit tertentu dan
penanganan tertentu yang mengharuskan dengan sesama jenis.
1.
Haram Melihat Aurat
Laki-laki
dan perempuan yang bukan suami istri atau mahram, diharamkan saling melihat
aurat.
Dari
Ummi Hani’ berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW. di tahun kemenangan, namun
beliau sedang mandi dan Fatimah menutupinya. Beliau SAW. bertanya, “siapakah
anda?”. Dan aku pun menjawab, “Umu Hani”. (H.R. Bukhari)
Keharaman
laki-laki melihat aurat wanita dan wanita melihat aurat laki-laki pada dasarnya
berlaku dalam urusan perawatan kesehatan dan penyembuhan. Tentu dikecualikan
dalam keadaan darurat yang mempertaruhkan nyawa atau yang memenuhi ketentuan
syariat.
2.
Haram Menyentuh
Keharaman menyentuh tubuh atau kulit dari lawan
jenis adalah hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama, atau pendapat
jumhur ulama. Kalau pun ada pengecualian, namun hukum asalnya adalah at-tahrim
(keharaman).
Dari Aisyah RA. Berkata, “Telapak tangan
Rasulullah SAW. tidak pernah menyentuh telapak tangan seorang perempuan pun,
dan beliau bersabda ketika membaiat para wanita: Aku telah membaiat kalian
lewat ucapan. (H.R. Muslim)
Dan pada
dasarnya keharaman sentuhan kulit ini juga berlaku pada dokter atau perawat
laki-laki yang menangani pasien perempuan, dan dokter atau perawat perempuan
yang menangani pasien laki-laki. Tentu dikecualikan dalam keadaan darurat yang
mempertaruhkan nyawa, atau yang memenuhi ketentuan syariat.
3.
Haram Berduaan
Selain
diharamkan melihat aurat dan menyentuhnya, laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram juga diharamkan untuk bersepi-sepi berdua. Tanpa ada kehadiran mahram.[3]
Adapun
duduk berkhalwat dengan dokter pria, meskipun dalam waktu yang lama,
semata-mata hanya karena tujuan pengobatan dan selama dokter itu seorang muslim
yang dapat dipercaya dan baik akhlaknya dan selama itu merupakan keharusan,
maka hal itu tidak dilarang.[4]
Dalam
keadaan darurat itu membolehkan segala yang dilarang, menurut kaidah Ushul fiqh
yang disepakati oleh sekalian ulama ushul. Dengan demikian, dokter boleh
melihat dan memegang bagian badan yang memerlukan pengobatan dan pemeriksaan
sekalipun kepada aurat terbesar. Ini berlaku umum baik terhadap tubuh pria
maupun tubuh wanita atau sebaliknya.[5]
[1] http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1694 diakses 9 November
2012.
[2] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. III, (Libanon: Darul Fikar,
1981), hlm. 198 – 205.
[3] Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (13) : Kedokteran, (Jakarta:
DU Publishing, 2011), hlm. 306 – 310.
[4] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Anda Bertanya Islam..., hlm. 404
[5] Said Abdullah Al-Hamdani, Risalah Djanaiz, (Bandung: P.T.
Al-Ma’arif, t.th.), hlm. 19.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !