I.
Pendahuluan
Khitan atau
sunat (tetakan, Jawa) untuk anak-anak pria telah membudaya di masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sedangkan khitan untuk anak-anak
wanita tidak membudaya di Indonesia.
Keluarga
Muslim di Indonesia biasanya mengkhitankan anak-anak prianya pada usia sekolah
dasar atau madrasah ibtidaiyah, yakni sekitar umur 6 – 12 tahun. Sedangkan
mengkhitankan anak-anak perempuan, di masyarakat Jawa dan Madura misalnya, anak
perempuan dikhitankan ketika masih bayi, yang dilakukan oleh dukun atau bidan,
ketika anak itu berumur 7 – 40 hari. Tetapi di masyarakat Sulawesi mempunyai
cara lain; yaitu anak perempuan dikhitankan bersamaan waktunya dengan upacara
khataman Al-Qur’an.
Dalam
makalah ini akan di jelaskan secara singkat berkaitan hukum khitan bagi wanita,
apa saja landasan hukum yang dipakai, bagaimana pendapat para ulama tentang
hukum khitan bagi wanita, dan bagaimana menganalisa tentang hukum tersebut.
II.
Landasan Hukum
A.
Al-Qur’an
kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang
hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
(Q.S. An-Nahl : 123)
Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
(Q.S. An-Nisaa : 125)
B. Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَن رَسُوْلُ الله صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ؛ أَنَّهُ قَالَ: اَلْفِطْرَةُ
خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ،
وَتَقْلِيمُ الأظْفَارِ، وَنَتْفُ الإبَطِ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW.,
beliau bersabda: ada lima perkara yang termasuk fitrah: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku, dan
mencabut bulu ketiak. (H.R. Muslim)[1]
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَتْ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ فَعَلْتُهُ
أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah istri Nabi SAW. ia berkata: “Apabila bertemu du khitan maka
wajiblah mandi, aku dan Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi”. (H.R.
At-Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dari Aisyah RA.)[2]
عَنْ أُمِّ
عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةِ فَقَالَ
لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى
لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Dari Ummu ‘Ahiyah RA. diceritakan bahwa di Madinah ada seorang
perempuan tukang sunat/ khitan, lalu Rasulullah SAW. bersabda kepada perempuan
tersebut: “Janganlah berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan
perempuan dan paling disukai lelaki (suaminya)”. (H.R. Abu Daud)[3]
C.
Pandangan Ulama
"...
وَقَدْ أَخَذَ بِظَاهِرِهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٌ فَقَالاَ سُنَّةٌ مُطْلَقًا
وَقَالَ أَحْمَدُ وَاجِبٌ لِلذَّكَرِ سُنَّةٌ لِلأُ نْثَى وَأَوْجَبَهُ الشَّافِعِيَّ
عَلَيْهِمَا"
“Berdasarkan
zhahir hadits, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hukum khitan adalah
sunah secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), Imam Ahmad berpendapat
wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, sedang Imam Syafii berpendapat
wajib atas keduanya”.[4]
1.
Pendapat Imam Syafii RA. : “Wajib
bagi laki-laki dan perempuan”.
2.
Pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal RA.
: “Wajib bagi laki-laki tetapi bagi perempuan tidak”.
3.
Pendapat Imam Abu Hanifah RA. :
“Bagi laki-laki sunah sedang perempuan satu kehormatan (perbuatan baik)”.
4.
Pendapat Imam Malik RA. : “Bagi
laki-laki maupun perempuan sunnah”.
5.
Pendapat banyak ahli fiqih yang
lain : “Bagi laki-laki sunah dan bagi wanita dibolehkan apabila ada kelebihan
yang menonjol (klitoris). Apabila tidak ada kelebihan itu, tidak usah
dikurangi”.[5]
III.
Analisis
Perkataan
khitan wanita adalah terjemahan dari Bahasa Arab خِتَانُ الاُنْثَى atau خِتَانُ الْبَنَاتِ (khitan anak perempuan). Dan dikatakan juga خَفْضُ
البَنَاتِ (menurunkan kepekaan alat kelamin anak
perempuan). Karena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat
kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksualnya) di masa
remaja dapat terkendalikan.[6]
Khitan pada
perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian
atas farj. Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh
memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi
tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama.[7]
Khitan merupakan sunnah fitrah yang
dianjurkan oleh Rasulullah SAW. sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Lima perkara termasuk fitrah,
istihdad (mencukur bulu kemaluan), khitan, memendekkan kumis, mencabut bulu
ketiak, dan memotong kuku.
Maksud sabda tersebut, jika semua
perkara ini dikerjakan maka pelakunya akan mendapat fitrah yang telah
ditetapkan oleh Allah kepada hamba-Nya sehingga hal tersebut disunnahkan dan
dianjurkan agar mereka mendapatkan sifat yang paling sempurna dan pribadi yang
paling mulia.[8]
Mengenai hukum khitan, para fukaha
(ahli hukum Islam) berbeda pendapat. Ada yang berpendapat wajib khitan bagi
anak pria dan wanita. Ada pula yang berkata, sunnah bagi keduanya. Dan ada pula
yang berfatwa, wajib bagi anak pria saja, sedangkan bagi anak wanita bukan
wajib dan bukan sunnah, melainkan hanya sebagai kehormatan.
Menurut Mahmud Syaltut, masalah
khitan ini termasuk masalah ijtihadiyah, karena tidak adanya nas
Al-Qur’an dan Hadits yang sahih (jelas petunjuknya) yang menjelaskan khitan
ini. Karena itu, wajarlah kalau terdapat perbedaan pendapat dikalangkan ulama
tentang hukum khitan. Hanya terkadang pendapat mereka berlebih-lebihan,
misalnya mewajibkan khitan dengan memakai dalil syar’i yang tidak proporsional
atau tidak mendasar.[9]
Mengenai masalah ini, keadaan di
masing-masing negara Islam tidak sama. Artinya, ada yang melaksanakan khitan
wanita dan ada pula yang tidak. Namun bagaimanapun, bagi orang yang memandang
bahwa mengkhitan wanita itu lebih baik bagi anak-anaknya, maka hendaklah ia
melakukannya. Akan hal orang yang tidak melakukannya, maka tidaklah ia berdosa,
karena khitan itu tidak lebih dari sekedar memuliakan wanita.[10]
Di samping mengandung fungsi
kesucian, kebersihan, dan berhias, khitan juga dapat meredam syahwat yang jika
berlebihan akan membuat manusia disamakan dengan hewan, sementara jika
ditiadakan sama sekali akan membuatnya disamakan dengan benda mati. Di sini,
khitan hadir menyeimbangkan syahwat manusia. Dunia kedokteran masih terus
menemukan lebih banyak lagi kegunaan syariat khitan yang dibawa oleh ajaran
agama Islam.[11]
Adapun hikmah khitan bagi wanita jika
telah bersuami akan menimbulkan kebaikan dalam segi perhubungannya, dan membawa
kebaikan bagi dirinya.
Dalam melaksanakan khitan itu harus
dilakukan dengan cara yang hati-hati, melalui dokter wanita yang mahir, atau
dokter laki-laki yang ahli pula jika ketika akan menyunat anak wanita itu tidak
ada dokter wanita. Dalam hadits juga diterangkan tentang perlunya khitan bagi
wanita itu dengan cara yang paling sedikit atau meringankan, tidak
berlebih-lebihan dan tidak menyiksa pada wanita yang sedang dikhitan itu.[12]
[1] Muslim bin al-Hijij Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim Juz II, (Bandung: Dahlan, t.th.), hlm. 49.
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemah Tamamul Minnah,
terj. Afifuddin Said, (Tegal: Maktabah Salafy Press, 2002), hlm. 69.
[3] Sirojuddin Iqbal, Terjemahan Al-Minhaajul Mubin Fii Adillatiddin,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 245.
[4] Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak
1975, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 233.
[5] Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab,
terj. Abu Abdillah Al Mansur, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 404.
[6] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah; Berbagi Kasus yang Dihadapi Hukum
Islam Masa Kini ,jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 7.
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid I, (Damaskus:
Daar al-Fikr al-Islami, 1985), hlm. 356.
[8] Su’ad Ibrahim Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, terj. Nadirsah
Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 147
[9] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta:
Haji Masagung, 1991), hlm. 174.
[10] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid I, terj. As’ad
Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 555.
[11] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Ibadah, terj. Kamran As’at Irsyady, dkk, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 17.
[12] Husein Bahreisj, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al Ikhlas, 1987),
hlm. 323 – 324.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !