I.
PENDAHULUAN
Kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur
oleh hukum Islam, yang bersumber pada Al-Qur'an dan operasionalnya diterangkan
oleh Rasulallah, dalam penjelasannya al-Qur'an banyak menerangkan hukum-hukum
secara ijmal dan lebih bersifat universal dan hanya sebagian kecil dari
hukum-hukum secara ijmal dan lebih bersifat universal dan hanya sebagian kecil
dari hukum yang dijelaskan secara terperinci, sementara sunnah terbatas pada
kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulallah. Lebih dari itu, seiring dengan
perubahan yang begitu komplek pada saat ini telah lahir pula sejumlah problem
yang belum pernah muncul pada waktu yang lalu sebagai efek bola salju dari
perkembangan dan perluasan wilayah ilmu pengetahuan baik secara vertikal atau
horizontal, dimana riak dan gejolak perubahan kecil dan besar banyak terjadi
dimasyarakat, hingga untuk memecahkan persoalan-persoalan baru tersebut
diperlukan adanya ijtihad hukum.
Kajian tentang relevansi hukum inilah yang kemudian akan menjadi
permasalahan baru, manakala persoalan-persoalan yang kontemporer muncul pada
zaman modern seperti sekarang ini yang belum ditemukan penyelesaiannya.Seperti
halnya makalah ini yang akan membahas tentang hukum melepasi gigi dengan emas
II.
DASAR HUKUM
A.
Al-Qur’an
Artinya; 26.dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.
27.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.(Q.S.Al Isra; 26-27)
7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.(Q.S. Al Hasyr; 7)
B.
Hadis
عن علِي بن
اَبي طَلب رِضي اللّه عَنهُ قَالَ إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَخَذَ حَرِيرًا فَجَعَلَهُ فِي يَمِينِهِ وَأَخَذَ ذَهَبًا فَجَعَلَهُ
فِي شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي (رواه
النساء)
Artinya:“Sesungguhnya
Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- pernah mengambil sutra kemudian beliau
meletakkannya pada tangan kanan beliau. Beliau juga mengambil emas kemudian
beliau meletakkannya pada tangan kiri beliau. Kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya kedua benda ini (emas dan sutra) diharamkan untuk laki-laki dari
umatku.” (HR. An-Nasa’i)
عَن عَرْفَجَهْ
بن اَسْعَدْ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَ قَالَ أُصِيبَ أَنْفِي يَوْمَ الْكُلَابِ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَاتَّخَذْتُ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيَّ فَأَمَرَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ
ذَهَبٍ (رواه التّرمذي)
Artinya:“dari
Arfajah bin As’ad RA berkata; Hidungku terluka (patah tulang) ketika perang
Kulab pada masa jahiliyah. Maka aku memasang hidung buatan (prostese) dari
perak kemudian hidungku membusuk.Maka Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-
memerintahkanku untuk memasang hidung dari emas.” (HR. At-Tirmidzi)[1]
C.
Pendapat Ulama
(ولايجوز) في غير ضرورة لر جل وامرأة
(استعمال) شيئ من (أواني الذهب والفضة) وعند الحنفية قول بحواز ظروف القهوة. وإن
كان المعتمد عندهم الحرمة. فينبفي لمن ابتلي بشيئ من ذلك كما يقع كثيرا تقليد ما
تقدم ليتخلص من الحرمة. (قوله فى غير ضرورة) فإن دعت إلى استعمال ذلك كمر
ودبكسرالميم من ذهب أوفضة يكتحل به لجلاء عينه فلا حرمة. (الباجورى على فتع
القريب, فصل الأنية)
Dan tidak
diperbolehkan diluar keadaan darurat bagi laki-laki dan perempuan memakai
bejana dari emas dan perak.Dikalangan mazhab Hanafi terdapat pendapat yang
memperbolehkan penggunaan tempat kopi (yang terbuat dari emas dan perak),
walaupun pendapat yang lebih banyak dijadikan pedoman (mutamad) dikalangan
mereka adalah haram.
لَا أَنْفٌ
وَأُنْمُلَةٌ) بِتَثْلِيثِ الْهَمْزَةِ وَالْمِيمِ (وَسِنٌّ) أَيْ لَا يَحْرُمُ
اتِّخَاذُهَا مِنْ ذَهَبٍ عَلَى مَقْطُوعِهَا وَإِنْ أَمْكَنَ اتِّخَاذُهَا مِنْ
الْفِضَّةِ الْجَائِزَةِ لِذَلِكَ بِالْأَوْلَى لِأَنَّهُ يَصْدَأُ غَالِبًا وَلَا
يَفْسُدُ الْمَنْبَتُ وَلِأَنَّ {عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ
الْكُلَابِ…الخ
Artinya:“Tidak
(diharamkan bagi laki-laki) hidung, ruas-ruas jari (dengan tatslits huruf
hamzah dan mim) dan juga gigi. Maksudnya adalah bahwa tidak haram menjadikan
mereka (hidung, ruas jari dan gigi, pen) dari emas jika mereka
terpotong.Walaupun masih dimungkinkan untuk menjadikan mereka dari perak yang
lebih pantas untuk dibolehkan. Oleh karena emas dapat membersihkan karat dan
tidak merusak tempat tumbuhnya organ dan juga karena Arfajah bin As’ad
–radliyallahu anhu- terputus hidungnya ketika perang Kulab (kemudian
Al-Bujairami membawakan hadits tentang kisah Arfajah)…dst.” (Hasyiyah Al-Bujairami alal Minhaj: 5/207).
III.
ANALISIS
Memakai gigi palsu dari emas tidak boleh hukumnya bagi
laki-laki kecuali darurat; karena haram bagi laki-laki memakai emas dan berhias
dengannya. Sedangkan untuk wanita, jika ada suatu kebiasaan wanita berdandan
dengan memakai gigi emas, maka tidak apa-apa, dan mereka boleh melapisi gigi
mereka dengan emas jika itu menjadi kebiasaan mereka dalam berdandan dan tidak
berlebih-lebihan, karena Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dihalakan
emas dan sutera bagi ummatku yang wanita."(Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Jika seorang wanita meninggal dalam kondisi memakai emas
atau seorang lelaki mati dalam kondisi memakai emas atau seorang lelaki mati
dalam keadaan memakai gigi emas yang dipakai karena darurat, maka emas itu
harus dilepas kecuali jika ditakutkan akan merusak fisik mayit, sepertinya
robeknya gusi dan sebainya, maka tidak dilepas tidak apa-apa. Demikian itu karena emas dianggap
sebagai harta dan harta harus diwariskan kepada ahli waris yang ditinggal,
sedangkan membiarkannya dikubur bersama mayit berarti menyia-nyiakan harta.[2]
Pada dasarnya pemakaian emas tergantung dari kadar dan tujuannya untuk
digunakan serta dipakai, dalam melapisi gigi dengan emas menurut pendapat ulama
ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Demikian pula
memasang gigi emas pada laki-laki, ia tidak termasuk darurat tetapi hanya hajat
saja yaitu sebagai terapi dan pengobatan. Oleh karena itu Rasulullah SAW memperbolehkannya.
Penggunaan emas untuk melapisi gigi dilihat dari tujuannya seperti halnya
tempat untuk bercelak apabila tanpa darurat dan tujuannya jelas maka
dibolehkan, dan semuanya dilihat dari kadar yang digunakan dalam melapisi gigi
tersebut lebih banyak emasnya atau hanya sekedar sebagai pencampur saja jadi
gigi yang asli masih utuh, emas sebagai campuran saja.[3]
Seperti halnya keterangan dari kitab. Bajuri 'Alal Fathil Qorib.
Maka bagi mereka yang diuji harus mempergunakan bejana dari emas dan perak
tersebut sebagaimana yang banyak terjadi, maka sebaliknya ia harus mengikuti
(pendapat mazhab Hanafi) agar terhindar dari haram.
Maksud tanpa dharurat, jika menggunakan bejana emas dan perak seperti
mirwad itu suatu keharusan (dharurat) sebagai alat bercelak, agar mata menjadi
terang, maka itu yang tidak dihukumi haram (boleh).
Dalam keterangan lain juga menjelaskan membuat gigi bahkan hidung dari emas
apabila diperlukan juga diperbolehkan apalagi melapisi gigi tersebut dengan
emas sebagaimana riwayat Tirmidzi dari Arfajah bin As'ad dia diatas.[4]
Apabila
seseorang melapisi giginya dengan emas maka akan timbul rasa sombong apalagi
melapisi gigi depan dengan emas karena Allah tidak menyukai orang yang
berlebihan telah berhias dengan berlebihan dan rasanya ingin memamerkan pemanis
senyum tersebut, sehingga dengan itu akan timbullah sifat riya' dalam hati
tersebut, meskipun Sayyidina Utsman ra menambal giginya dengan emas.[5]
Dengan melapisi
gigi dengan emas apabila berniat sekedar pamer dan tidak ada tujuan termasuk
orang yang tidak menyukuri nikmat yang telah diberikan Allah.[6]Tidak
dibolehkannya ulama karena akan dapat merusak gigi dan akan menghabiskan uang
dalam mengganti gigi tersebut.
[1]http://sulaifi.wordpress.com/2012/01/26/gigi-emas-untuk-laki-laki-bolehkah/ diunduh pada hari jum’attanggal07-12-2012, pukul 15. 37 WIB
[2]Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan
Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin,
M.Ag.(Darul Falah 1426 H.), hlm. 224.
[3]Djamaluddin
Miri, "Ahkamul Fuqoho (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam)",(Surabaya
: LTN dan Khalista, 2007), hlm,. 34.
[6] Sa'ad Yusuf
Abdul Aziz, Buku Pintar Sunnah dan Bid'ah,(Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 455.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !