I.
PENDAHULUAN
Nikah
hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir-akhir ini.Bahkan
seolah-olah nikah hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang dalam
masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah
mencatat pasangan yang nikah hamil, pasti akan diperoleh data yang dapat
membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi
oleh nikah hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar
kita yang belum tahu tentang hukum nikah hamil itu sendiri, untuk itu dalam
makalah ini kami akan mengungkap misteri dibalik nikah hamil dilihat dari
kacamata islam.
II.
LANDASAN HUKUM
A.
Al-Qur’an
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.(Q.S
At-Thalaq: 4)
Artinya :”dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(Q.S
Al-Baqarah :235)
Artinya: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. (Q.S. An-Nuur;3)
B.
Al-Hadis
روي سعيد بن المسيب أن رجلا تزوج
امرأة فلما أصابها وجدها حبلى فرفع ذلك إلى النبي صلى الله عليه و سلم ففرق بينهما
وجعل لها الصداق وجلدها مائة (أخرجه سعيد بن منصور والبيهقي)
Artinya: “diriwayatkan
dari Sa’id bin Musayyib Sesungguhnya seorang leki-laki mengawini seorang
wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia
laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu
diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali”.
عَنْ
رُوَيْفِى بن ثَابِتْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ, قالَ رَسوْلُ الله صلي الله عليه
وسلم لاَيَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ( اخرجه الترمذي
وصححه ابن حبّان )
Artinya“dari
Ruwaifi bin Sabit RA berkata, Rasululullah bersabda tidak halal lagi bagi
seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, menuangkan air bibitnya
pada tanaman orang lain”.[1]
C.
Pandangan Ulama
( تَجِبُ عِدَّةٌ لِفُرُقِهِ زَوْجٍ حَيًّ ) بِطَلاَقٍ اَوْ فَسْحٍ
بِنَحْوِ عَيْبٍ أَوْ اِنْفِسَاخٍ بِنَحْوِ لِعَانٍ ( وَطِئَ وَاِنْ تَيَقَّنَ
بَرَأَةَ رَحِمٍ ) كَمَا فِيْ صَغِيْرَةِ الَّتِي لاَيُمْكِنُ وَطْؤُهَا
وَالاَيِسَةِ وَكَمَا فِي الْمُعَلَّقِ طَلاَقُهَا عَلَى يَقِينِ البَرَاءَةِ
فَاِذَا مَضَى عَلَيهَا بَعْدَ وَضْعِ الحَمْلِ سِتّةُ اَشْهُرٍ طُلَّقَتْ
وَعَلَيهَا العِدَّةُ تَعَبُّدًا [2]
“ ‘Iddah itu wajib karena bercerai
dengan suami yang masih hidup dan telah menyetubuhinya, baik perceraian karena
talak, perusakan akad nikah disebabkan semisal adanya cacat, atau rusak karena
semacam li’an. Meski telah diyakini bersihnya rahim dari janin, seperti wanita
kecil yang belum disetubuhi, wanita yang telah menopaus, dan wanita yang
talaknya dikaitkan atas keyakinan kebersihan rahimnya, maka setelah melahirkan
dan melewati masa enam bulan wanita tersebut tertalak dan wajib ‘iddah karena
murni menjalankan ajaran Allah (ta’abbudi)”.
III.
ANALISIS
Bahwasannya nikah
hamil disini ialah nikah dengan seorang yang hamil karena ditinggal suaminya
atau dicerai dan menikahi seorang wanita
yang hamil diluar nikah, baik yang menikahi laki-laki yang menghamili maupun
bukan laki-laki yang menghamili.
Seorang wanita yang
hamil karena ditinggal suaminya baik dicerai atau meininggal dunia, maka wanita
tersebut tidak boleh dinikahi kerena harus menjalani ‘iddah sampai bayinya
lahir. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 4 “perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungnnya”.
Kemudian bagaimana
menikahi wanita hamil diluar nikah ? untuk masalah ini para fuqoha berbeda
pendapat, diantaranya ialah :
a.
Mayoritas fuqoha berpendapat bahwa seorang wanita yang
telah melakukan zina dan mereka lalu menikah satu sama lainnya, sedang si wanita
tersebut tidak hamil dari perbuatnnya itu, maka pernikahan mereka boleh dan sah
dalam hukum syari’at islam. Dasar atau dalil dari kebolehan/kehalalan pernikhan
itu karena wanita yang bersangkutan tidak sedang terikat dalam suatu perkwinan,
juga tidak sedang dalam masa iddah, sepanjang dia tidak termasuk dalm golongan
wanita yang haram dinikahi yang termaktub dalam QS an nisa ayat 23
b. Dalam kasus seorang wanita telah berbuat zina
dan hamil dari perbutannya tersebut, kemudian ia menikah dengan laki-laki yang
menghamili itu, maka mayorits fuqoha pun berpendapat boleh dan sah pernikahan
mereka dalam hukum syari’at islam.
c.
Dalam kasus
seorang wanita telah berbuat zina dan hamil karena perbuatannya, tetapi dia
akan menikah dengan laki-laki lain,
dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalngan mazhab dan ulama islam. Mazhab
abu Hanafi dan Syafi’i memandang dan berpendapat boleh pernikahan tersebut
dilakukan , tetapi mereka tidak boleh melakukan
hubungan khas suami istri, sampai bayinya lahir. Larangan ini seperti dalam
hadis nabi. “tidak halal lagi bagi
seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, menuangkan air bibitnya
pada tanaman orang lain”. Dalam kasus wanita tersebut menikah bukan dengan
pria yang telah berbuat zina itu, tetapi si wanita tidak sedang hamil,maka Imam
Abu Hanifah dan Abu Yusuf pun berpendapat boleh atau halal pernikahan tersebut,
dan tidak ada larangan apa-apa berkenaan dengan hubungan khas.[3]
d. Adapun Imam Malik dan Ahmad bin Hambal serta Abu Yusuf dan Zhufar
berpendapat bahwa tidak boleh atau tegasnya tidak sah akad nikah dilakukan,
yakni manakala yang akan menikah dengan wanita yang bersangkutan adalah orang
lain, bukanya yang berbuat dan menjadi penyebab kehamilan itu. Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah
dalam surat An-Nur ayat 3, “laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin”.
e.
Ibnu
Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria
tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang
lain kecuali dengan dua syarat:
1)
Wanita
tersebut telah melahirkan bila ia hamil, jadi dalam keadaan hamil tidak boleh
dinikahkan.
2)
Wanita
tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
f.
Imam Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani
mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama
bayi yang dikandungnya belum lahir.[4]
Umumnya, kita boleh menikahkan
wanita yang hamil dari zina karena tidak ada kehormatannya, kehamilan yang majhul
(tidak diketahui penyebabnya, apa karena zina, wathi syubhat, atau hubungan
yang sah) diasumsikan pada kehamilan sebab zina.[5]
[1]Masjfuk Zuhdi, Masa’il
Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 145.
[2]Muhamad Nawawi
bin Umar al-Jawi, Nihayah Al-Zain Syarah Qurrah al-Ain, (Beriut: Dar
al-Fikr, [tpth]), hlm. 328.
[3]Sutan
Marajo Nassarudin Latif, Ilmu Perkawinan:
Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, (Bandung : Pustaka Hidayah,
2001), hlm. 170-171.
[4]Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (
Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 125-127.
[5]Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I Mengupas MAsalah Fiqhiyah Berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadis, ( Jakarta : Almahira, 2010), hlm. 8.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !