Headlines News :
Home » » HADIS TENTANG AMANAH

HADIS TENTANG AMANAH

Written By Figur Pasha on Tuesday, March 26, 2013 | 9:28 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.       PENDAHULUAN
Amanah merupakan salah satu akhlak para rasul yang paling nampak. Nabi Nuh a.s., Nabi Hud a.s., Nabi Luth a.s., dan  Nabi Syuaib a.s., sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat Asy Syu’ara  ayat 107 bahwa:
    
Artinya:  “ Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul yang memegang amanah (yang diutus) kepada kalian. (QS. ASy Syu’ara/26: 107).
Adapun Rasulullah SAW memiliki sifat al Amin (memegang amanah, terpecaya) di tengah-tengah kaumnya. Orang-orang memilih beliau sebagai pihak untuk dititipi berbagai barang. Saat beliau hijrah beliau meminta Ali bin Abi Thalib supaya mengembalikan barang-barang titipan kepada mereka yang menitipkannya.
Bagaimana kita bersikap amanah di zaman sekarang ini yang modern dan era globlalisasi meski banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu pemakalah akan menjelaskan secara gamblang dan sistematis tentang pengertian amanah, hakikat amanah, bentu-bentuk amanah, khianat dan cara untuk menjadi pengemban amanah tanpa keluar dari koridor-koridor hukum syar’i dan hadis. Sehingga bisa menjadi insan yang muttaqin.


II.    HADIS AMANAH
Sahabat nabi Khudzaifah r.a. menerangkan dalam hadis yang berbunyi:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَدِيْثَيْنِ رَأَيْتُ اَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلاَخَرَ.حَدَّثَنَا أَنَّ اْلأَ مَانَةَ نَزَلَتْ فِيْ جَذْرِ قُلُوْبِ الرِّجَالِ ثُمَّ عَلِمُوْامِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ عَلِمُوْامِنَ السُّنَّةِ وَ حَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ اَثَرِالْوَكْتِ ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ فَيَبْقَى اَثَرُهَا مِثْلَ اْلمَجْلِ كَجَمْرِ دَحْرَجْتَهُ عَلىَ رِجْلِكَ فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًاوَلَيْسَ فِيْهِ سَيْءٌ فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَا يَعُوْنَ فَلاَيَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَماَنَةَ فَيُقَالُ إِنَّ فِيْ بَنِيْ فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنًا وَيُقَّالُ لِلرَّجُلِ ماَأَعْقَلَهُ وَماَ اَظْرَفَهُ وَمَا اَجْلَدَهُ وَمَا فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ اِيْمَانِ وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَا لِيْ أَيَّكُمْ بَايَعْتُ لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا رَدَّهُ عَلَيَّ اْلإِسْلاَمُ وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا رَدَّهُ عَلَيَّ سَاعِيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ أُبَا يِعُ إِلاَّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا. (اَخْرَجَهُ الْبُخَا رِيُّ فِيْ كِتَابِ الرِقَاقْ)          
Artinya: Dari Khudzaifah berkata, Rasulullah ­­­SAW menyampaikan kepadaku dua hadis, yang satu telah saya ketahui dan yang satunya lagi masih saya tunggu. Beliau bersabda kepada kami bahwa amanah itu diletakkan di lubuk hati manusia, lalu mereka mengetahuinya dari Al Qur’an kemudian mereka ketahui dari al hadis (sunnah). Dan beliau juga menyampaikan kepada kami tentang akan hilangnya amanah. Beliau bersabda: seseorang tidur lantas amanah dicabut dari hatinya hingga tinggal bekasnya seperti bekas titik-titik. Kemudian ia tidur lagi, lalu amanah dicabut hingga tinggal bekasnya seperti bekas yang terdapat di telapak tangan yang digunakan untuk bekerja, bagaikan bara yang di letakkan di kakimu, lantas melepuh tetapi tidak berisi apa-apa. Kemudian mereka melakukan jual beli/transaksi-transaksi tetapi hampir tidak ada orang yang menunaikan amanah maka orang-orang pun berkata : sesungguhnya dikalangan Bani Fulan terdapat orang yang bisa dipercayai dan adapula yang mengatakan kepada seseorang alangkah pandainya, alangkah cerdasnya, alangkah tabahnya padahal pada hatinya tidak ada iman sedikitpun walaupun hanya sebiji sawi. Sungguh akan datang padaku suatu zaman dan aku tidak memperdulikan lagi siapa diantara kamu yang aku baiat, jika ia seorang muslim hendaklah dikembalikan kepada Islam yang sebenarnya dan juga ia seorang nasrani maka dia akan dikembalikan kepadaku oleh orang-orang yang mengusahakannya. Adapun pada hari ini aku tidak membaiat kecuali Fulan bin Fulan.(HR. Imam Bukhari)[1].

 
III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Amanah
Amanah dalam bahasa arab berasal dari kata al Amaanah yang berarti segala yang diperintah Allah SWT kepada hamba-hambanya[2]. Secara khusus amanah adalah sikap bertanggung jawab orang yang dititipi barang, harta atau lainnya dengan mengembalikannya kepada orang yang mempunyai barang atau harta tersebut.
Sedangkan secara umum amanah sangat luas sekali. Sehingga menyimpan rahasia, tulus dalam memberikan masukan kepada orang yang meminta pendapat dan  menyampaikan pesan kepada pihak yang benar atau sesuai dengan permintaan orang yang berpesan juga termasuk amanah. Maka sifat amanah baik secara umum maupun yang khusus sangat berhubungan erat dengan sifat-sifat mulia lainnya seperti jujur, sabar, berani, menjaga kemuliaan diri, memenuhi janji dan adil[3].
B.     Hakikat Amanah
Hadis diatas menuturkan tentang diturunkannya dan diangkatnya amanah, salah satu dari keduanya melihat bahwa sesungguhnya amanah itu kebalikan dari sifat khianat atau dengan kata lain adalah suatu beban tanggung jawab. Amanah diturunkan dalam lubuk hati orang-orang, setelah itu orang-orang mengetahui dari Al Qur’an kemudian dari Sunnah (Hadis) . Bahwasanya amanah itu diberikan kepada orang-orang menurut fitrahnya, setelah itu dengan melalui usaha dari syariat. Adapun secara lahir yang dimaksud dengan amanah adalah suatu tanggung jawab yang telah Allah SWT bebankan kepada terhadap hamba-hambanya dan juga janji yang telah Allah SWT berikan kepada hambanya, Pengarang kitab Tahrir mengatakan bahwa yang dikehendaki amanah di bab ini adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al Ahzab/33: 72)
Bahwa tingkah laku atau kondisi manusia yang menyerupai ayat tadi yaitu suatu beban atau tanggung jawab yang berupa ketaatan dengan tingkah laku yang ditawarkan. Apabila amanah itu ditawarkan atau ditimpakan kepada langit, bumi dan gunung-gunung  niscaya mereka enggan untuk menanggungnya karena sangat agung dan beratnya sebuah amanah untuk menanggungnya. Akan tetapi manusia dengan sifat lemah dan sedikit kemampuannya mau menanggung amanah tersebut. Sesungguhnya manusia itu termasuk orang-orang yang mendzolimi dirinya dan amat bodoh tingkahnya sekira dia mau mengemban beban suatu amanah.
Allah SWT menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunungnya maka Allah SWT berkata kepada mereka, Apakah kalian mampu menanggung amanah dengan apa yang ada didalamnya? Allah menjawab: Apabila kamu bisa mengemban dan menjaga baik amanah maka kalian akan memperoleh balasan yang banyak. Dan ketika kalian mendurhakai suatu amanah maka kalian akan mendapat siksa yang setimpal, lalu mereka menjawab: tidak ya Allah, tidak, kami tidak mengharapkan apapun dari balasan ganjaran maupun siksa karena memuliakan dan takut kepada Agama Allah SWT[4].
Sejatinya kesanggupan untuk memikul tanggung jawab berat ini diatas pundak adalah tindakan membahayakan diri sendiri. Karenanya manusia adalah makhluk yang mendzolimi dirinya sendiri dan jahil, tidak tahu kemampuannya sendiri. Ini jika dibandingkan dengan besarnya penolakan nafsunya untuk memikulnya. Namun demikian, jika dia bangkit dengan memikul tanggung jawab itu, saat dia sampai kepada makrifah yang menyampaikannya kepada penciptaannya, ketika dia mengambil petunjuk secara langsung dari syariat-Nya dan kala dia sangat patuh kepada kehendak Rabbnya, petunjuk dan ketaatan yang dengan mudah dicapai oleh langit, bumi, dan gunung, makhluk-makhluk yang bermakrifah dan taat kepada penciptaannya tanpa ada penghalang dari dirinya. Ketika manusia telah sampai kepada derajat ini dan dia sadar,mengerti,beriradah, maka sungguh dia telah sampai di kedudukan yang mulia, kedudukan istimewa diantara sekian makhluk Allah SWT[5].
C.    Bentuk-Bentuk Amanah dalam kehidupan Sehari-hari

  1. Memelihara titipan dan mengembalikannya seperti semula
      Apabila seorang muslim dititipi oleh orang lain, misalnya barang berharga, karena yang bersangkutan akan pergi jauh ke luar negeri maka titipan itu harus dipelihara dengan baik dan pada saatnya dikembalikan kepada yang punya, utuh seperti semula. Diantara sebab-sebab kenapa Nabi Muhammad SAW sejak mudanya di Mekah sudah terkenal dengan gelar al Amin adalah karena beliau sangat dipercaya oleh penduduk Mekah untuk menyimpan dan memelihara barang titipan, kemudian mengembalikannya seperti semula. Penduduk-penduduk Mekkah  yang akan ke luar negeri merasa aman dan tenang menitipkan barang-barang berharga kepada beliau.
2.      Menjaga rahasia
      Apabila seseorang dipercaya untuk menjaga rahasia, apakah rahasia pribadi, keluarga, organisasi, atau lebih-lebih lagi rahasia negara dia wajib menjaganya supaya tidak bocor kepada orang lain yang tidak berhak mengetahuinya. Apabila seseorang menyampaikan sesuatu yang penting dan rahasia kepada kita itulah amanah yang harus dijaga.


3.      Tidak menyalahgunakan jabatan
      Jabatan adalah amanah yang wajib dijaga. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya termasuk perbuatan tercela melanggar amanah. Semua komisi yang diterima seorang petugas dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya. Misalnya seorang kepala bagian perlengkapan membeli barang-barang untuk keperluan kantor, maka potongan harga yang diberikan pedagang bukanlah menjadi miliknya tetapi menjadi milik kantor karena dia bukan pedagang perantara tetapi petugas yang digaji untuk pengadaan barang-barang keperluan tersebut. Bentuk lain dari menyalahgunakan jabatan adalah mengangkat orang-orang yang tidak mampu untuk menduduki jabatan tertentu hanya karena dia sanak saudara atau kenalannya, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.
4.      Menunaikan kewajiban dengan baik
      Allah SWT memikulkan ke atas pundak manusia tugas-tugas yang wajib dia laksanakan baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama makhluk lainnya. Tugas seperti itu disebut takhlif manusia yang ditugasi disebut mukallaf dan amanahnya disebut amanah takhlif. Amanah inilah yang secara metaforis digambarkan oleh Allah SWT tidak mampu dipikul oleh langit, bumi dan gunung-gunung karena beratnya tetapi manusia bersedia memikulnya.
5.      Memelihara Semua nikmat yang diberikan Allah SWT
      Semua nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia adalah amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik. Umur, kesehatan, harta benda, ilmu dan lain-lain sebagainya termasuk anak-anak adalah amanah yang wajib dipelihara dan dipertanggungjawabkan. Harta benda misalnya harus kita pergunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri keluarga maupun kepentingan umat[6].


6.      Sikap Anak kepada orang tua
Diantara amanah yang lain adalah amanah anak-anak dalam bersikap di hadapan orang tuanya. Jika anda  mengambil uang milik orang tua tanpa seizin dari mereka berarti anda tidak menjaga amanah seorang anak meskipun jumlah uang yang anda ambil sedikit jumlahnya. Ingatlah bahwa amanah itu bersifat total tidak parsial. Namun yang disebut sebagai perbuatan amanah adalah anda harus izin terlebih dahulu kepada orang tua Anda. 

  1. Amanah dalam menjaga agama
Jenis amanah yang terakhir dan merupakan amanah paling besar adalah amanah dalam menjaga nilai-nilai agama dan menyiarkan kepada seluruh manusia. Sadarlah bahwa anda bertanggung jawab atas agama ini dan anda akan mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT[7].

D.    Khianat dan Cara Untuk Menjadi Pengemban Amanah

1). Hadis tentang Menyia-nyiakan Amanah

عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَاضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِالسَّاعَةَ,كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَاْلأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِالسَّا عَةَ. (اَخْرَجَهُ الْبُخَا رِيُّ فِيْ كِتَابِ الرِقَاقْ)                                                                            
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya. Salah seorang sahabat bertanya:”Bagaimanakah menyia-nyiakannya, hai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya (HR. Imam Bukhari)[8].

Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang salah satu pertanda akan datangnya hari kiamat adalah bilamana amanah atau kepercayaan diserahkan bukan pada ahlinya. Manusia memiliki keahlian yang berbeda-beda. Idealnya seorang manusia harus mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Kalau dia melakukan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan maka pekerjaan tersebut akan berantakan.  Kalau dia ahli pertanian janganlah disuruh memperbaiki mobil, untuk sekedar bergaya montir dan membongkar mesin mungkin bisa, tetapi memperbaiki mesinnya tidak akan bisa. Untuk itulah nabi melarang memberikan perkara kepada orang yang bukan ahlinya[9].
Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya[10]. Berpadunya kekuatan dan amanah pada diri seorang manusia sangat jarang terdapat. Maka bila ternyata ada dua orang laki-laki satu diantaranya lebih besar amanah padanya dan yang satunya lebih besar kekuatan haruslah diutamakan mana yang lebih bermanfaat bagi bidang jabatannya itu yang lebih sedikit resikonya.
Oleh karena itu didahulukanlah dalam jabatan pimpinan peperangan, orang yang kuat fisiknya lagi berani sekalipun dia fasik daripada orang yang lemah dan tidak  bersemangat sedangkan sekalipun dia seorang yang kepercayaan sebagaimana pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang dua orang laki-laki yang akan memimpin peperangan satu diantaranya kuat tetapi fasik, yang lain saleh tetapi lemah, dibawah komando siapa dia akan berperang? Maka beliau menjawab: Adapun orang fasik tetapi kuat, maka kekuatannya itu berguna bagi kaum Muslimin, sedang kefasikannya adalah atas tanggungan dirinya sendiri dan orang saleh tetapi lemah maka kesalehannya berguna bagi diri sendiri sedangkan kelemahannya menimbulkan hal yang tidak baik bagi kaum muslimin[11].

2). Khianat

Lawan dari amanah adalah khianat sebuah sifat yang sangat tercela. Sifat khianat adalah sifat kaum munafik yang sangat dibenci oleh Allah SWT apalagi kalau yang dikhianatinya adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu  Allah SWT melarang orang-orang yang beriman mengkhianati Allah SWT, Rasul dan amanah mereka sendiri[12].
Firman Allah SWT dalam surat Al Anfal ayat 27 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al Anfal/8:27).

3). Cara untuk Menjadi Pengemban Amanah

1.Takwa kepada  Allah SWT
Takwa sebagaimana didefinisikan oleh Ali bin Abi Thalib adalah takut kepada al Jalil (Yang Maha Agung), beramal dengan At Tanzil (Al Qur’an), ridha terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap untuk hari akhir.
2.Tidak menaati orang-orang kafir dan orang-orang munafik
Allah SWT memerintahkan kita supaya hanya menaati perintah-perintah-Nya dan hanya mengikuti Rasul-Nya.
3.Mengikuti apa yang diwahyukan dari Allah SWT
Bahwa ketaatan kepada manusia manapun di muka bumi ini terikat dengan dua perkara: makruf dan istitha’ah. Sedangkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan yang bersifat mutlak.
4.Bertawakal kepada Allah SWT
Bertawakal kepada Allah SWT adalah dengan cara mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, beriman kepada takdir secara mantap, berusaha semampunya, menjaga hati dari bergantung kepada selain Allah SWT[13].


[1]   Syihabuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad Asy Syafi’i al Qustholani, Irsyadus Syari Juz 13, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1996) hlm. 494.
[2]   Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif cetakan ke 14, 1997) hlm.41.
[3]   Abdul Mun’im al Hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Gema Insani, 2009) hlm. 266-267.
[4] Ibid hlm. 495-496.
[5]  Abu ‘Amar Mahmud al Mishry, Manajemen Akhlak Salaf: Membentuk Akhlak Seorang Muslim dalam Hal Amanah, Tawadhu’, dan Malu, (Solo: Pustaka Arafah, 2007) hlm. 87-88.
[6]   Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam cetakan ke 9, 2007) hlm. 90-96.
[7]  Amru Khalid, Berakhlak Seindah Rasulullah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007) hlm. 168-171.
[8]  Syihabuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad Asy Syafi’i al Qustholani… op.cit. hlm. 494.
[9]  Buya H.M. Alfis Chaniago, Indeks Hadits dan Syarah, (Jakarta: Alfonso Pratama, 2008) hlm. 168.
[10] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaqop.cit. hlm. 89.
[11] Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989) hlm. 27-28.
[12] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaqop.cit. hlm. 96.
[13] Abu ‘Amar Mahmud al Mishry… op.cit. hlm. 123-126.
Share this article :

3 comments:

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template