Headlines News :
Home » » HUKUM SHALAT JUMA’AT KE-2 BAGI KARYAWAN YANG TIDAK BISA JUM’ATAN

HUKUM SHALAT JUMA’AT KE-2 BAGI KARYAWAN YANG TIDAK BISA JUM’ATAN

Written By Figur Pasha on Monday, January 21, 2013 | 3:41 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.              PENDAHULUAN
Hari  jum’at  merupakan hari yang paling utama diantara hari yang lain, dan sebagai hari raya mingguan. Karena itu pada hari tersebut disunahkan memberi kelapangan nafkah pada anggota keluarga, misalnya; memasak yang lebih enak dari pada hari-hari biasa, memberi  uang saku  lebih dari pada hari-hari biasa.
Dalam penamaan jum’ah, ulama’ sediri berbeda pendapat , sebagian mengatakan sebab pada hari itu dikumpulkan berbagai bentuk kebajikan. Sedangkan  yang lain mengatakan sebab pada hari itu Nabi Adam bertemu dengan Hawa di bumi musdalifah.[1]
Kesadaran umat islam untuk menjalankan kewajiban agamanya dewasa ini dirasakan semakin meningkat. Hal ini antara lain ditandai dengan syiar agama yang semakin semarak, dan membludaknya masjid-masjid dalam shalat jum’at. Penyelengaraan shalat jum’at  tidak hanya di permukiman, tapi juga di perkantoran, pertokoan dan  kawasan industry.
Namun hal ini belum sepenuhnya di imbangi oleh penyediaan sarana dan prasarana ibadah yang cukup memadai, serta masih terdapatnya faktor-faktor kondisional yang menyebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Para karyawan pabrik, misalnya, tidak dapat secara bersama-sama melaksanakan shalat jum’at karena ada proses yang tidak dapat di tinggal sama sekali. Ada pula pertokohan yang tetap buka saat shalat jum’at, sehingga tidak memungkingkan pramuniaga prianya secara serentak meninggalkan tugasnya. Hal ini bisa diatasi dengan menyelenggarakan shalat jum’at secara bergantian, bertahap, atau shalat jum’at dalam dua shif. Dalam masalah ini timbul suatu pertanyaan, yaitu bolehkah menyelenggarakan shalat jum’at kedua dan seterusnya oleh orang –orang yang bekerja di tempat yang tidak mungkin ditinggalkan sama sekali pada hari jum’at itu karena menjaga produksi dari kerusakan.[2]

II.           Rumusan masalah
A.           Bagaimana Pengertian shalat  jum’at?
B.            Apa Saja Syarat Wajib Dan Syarat Pelaksanaan Shalat Jumat?
C.            Bagaiman Hukum Mendirikan Shalat Jum’at Kedua Bagi Karyawan Yang Tidak Bisa Melaksanakan Shalat Jum’at?

III.        Pembahasan
A.           Pengertian Shalat Jum’at
Kata Al-Jum’uah berasal dari  kata ijtima’. Ia disebut hari jum’at karena pada hari itu penciptaan Adam dihimpun dari air dan tanah.[3]
Shalat jum’ah disyariatkan di Makkah pada malam Isro’. Namun saat itu belum dapat dikerjakan karena waktu itu pengikut beliau masih sedikit belum ada empat puluh orang, sehingga tidak menetapi syarat jum’ah. Dan baru dikerjakan setelah beliau Nabi hijrah ke Madinah, dan pertama mengerjakannya adalah As’ad bin zuroroh bersama Mush’ab bin Umair, persisnya di Quba’.[4]

B.            Syarat Wajib Dan Syarat Pelaksanaan Shalat Jum’at
Perihal wajibnya shalat jum’at untuk setiap individu sudah menjadi kesepakatan kalangan fuqaha. Dasarnya, karena salat jum’at merupakan pengganti kewajiban lainnya, dalam hal ini ialah salat Zhuhur. Disamping itu karena firman Allah (QS. Al-jumu’ah; 9)
 
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

     Perintah diatas menunjukkan hukum wajib. Disamping itu, ada sabda Nabi Saw:
عن عبد الله بن عُمَرَ وأبى هريرة رضي الله عنهما أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللهِ صلعم يقول على أعوادمنبره: لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ اْلجُمُعُاتِ أَوْلَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَي قُلُوبِهِمْ. (أخرجه مسلم والنساءي)
“hendaklah khalayak menghentikan pembangkangannya terhadap shalat jum’at, atau Allah (perlu)mengunci hati mereka.” (HR. Muslim dan nasai)[5].

 Hadist riwayat imam muslim dari Abdullah Ibn Mas’ud:
عن عبد الله بن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ أنَّ النَّبِيَّ صلعم قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمْعَةِ: لَقدْ هَممْتُ أَنْ اَمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَ رِجَالٍ يَتخلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيوْتَهُمْ (رواه مسلم، انظر صحيح مسلم، الجزء الاول، بيروت: دار الكفر، ١٩٩٣، ص:. ٩٢(
“ Nabi Saw berkata kepada kaum yang meninggalkan shalat jum’at: ‘saya sudah berniat untuk memerintahkan seorang laki-laki agar menjadi imam shalat, kmudian saya akan membakar rumah oran-orang yang meninggalkan shalat jum’at.”[6]

Hadis Thariq bin Syihab dari Nabi Saw, beliau bersabda:
 الجُمْعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلى كُلِّ مُسْلِمٍ إِلَّا أَرْبَعةٌ عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ اَمْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ
Shlat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap orang muslim kecuali atas empat orang: budak belian, wanita, anak-anak, atau orang sakit.[7]

Syarat wajib shalat jum’at ada tujuh:
1.    Beragama islam
2.    Baligh
3.    Berakal
4.    Merdeka
5.    Sehat
6.    Bermukim
7.    Laki-laki

Sedangkan syarat pelaksaannya adalah:
1.    Dikerjakan pada waktu zhuhur
2.    Didirikan di tengah-tengah pemukiman, baik dalam kota (misrho), desa (balad), atau dukuh (quryah)
3.    Dikerjakan dengan berjamaah minimal 40 orang
4.    Didahului dua khutbah.[8]

C.            Hukum melaksanakan shalat jum’at yang ke dua bagi karyawan yang tidak bisa melaksanakan jum’atan.
Dalam dunia modern sekarang ini terdapat sejumlah industri yang sistem operasionalnya bersifat nonstop 24 jam, tanpa henti, serta harus ditangani secara langsung dan terus menerus, dan jika operasionalnya dihemtikan beberapa saat saja, atau tidak ditangani secara langsung (ditunggu), mesin industri menjadi rusak yang pada akhirnya timbul kerugian besar dan para pekerja kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber ma’isyahnya. Dengan sifat industri seperti itu, muslim yang bekerja di industri tersebut tidak bisa melaksanakan salat jum’at kecuali jika dilakukan  dua gelombang/shift, sehingga mereka  bertanya-tanya tentang status hukumnya[9].
Mendirikan shalat jum’at lebih dari satu dalam satu desa diperbolehkan jika memang ada hajat, semisal; banyaknya jumlah prnduduk sehingga tidak mungkin dikumpulkan dalam satu tempat, atau terjadi sengketa antar kedua kubu yang tak mungkin disatukan, atau jaraknya yang berjauhan[10].
     Ta’addud jum’at berbeda dengan jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya-ul jum’ah ba’da jum’ah). Ta’adud jum’ah ialah berbilangnya penyelenggaraan jamaah jum’at dalam satu masa di suatu tempat, dan hukumnya boleh dengan syarat-syarat tertentu.
Pendapat sebagian ulama mengenai Ta’addud jum’at diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu antara lain tercantum dalam kitab:
 القليوبي ج ١/ ص ١٧٧ : وَمِنْ جَوَازِهِ أَيْضًا وُقُوْعُ خِصَامٍ وَعَدَاوَةٍ بَيْنَ أَهْلِ جَانَبِيِ الْبَلْدَةِ وَإِنْ لم تَكُنْ مَشَقَّةً
Al-Qalyuubi, I/ 177: Di antara sebab yang memperbolehkannya juga adalah terjadinya pertengkaran dan permusuhan antara dua kelompok di dalam satu desa, meskipun tidak ada kesulitan.

تنوير القلوب ص ١٨٦ : وَإِنْ تَعَدَّدَتِ الْحَاجَةُ فَجُمُعَةُ الْكُلِّ صَحِيْحَةُ، سَوَاءٌ وَقَعَ إِحْرَامُ الْأَءِمَّةُ مَعًا أَوْ مُرَتَّبًا.
Tanwir al-qulub, hal 186: jika banyak kebutuhan yang tidak bisa dihindari maka shalat jum’at masing-masing kelompok tersebut sah, tidak peduli apakah takbiratul ihram masing-masing imam bersamaan atau berurutan.[11]

وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلاَمِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ: ضِيْقٌ مَحَلّ لصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ غَالِبًا وَلْقِتَاُل بَيْنَ اْلفَئَتَيْنِ بِشُرُطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بَأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يَسَعُ النِّدَاءُ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِ كْهَا إِذْلَا يَلْزَمُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ. (البغية: ٧٩( 
Bughyatul murtasyid, hlm 79: kesimpulan dari pendapat para tokoh ulama adalah, bahwa sebab-sebab diperbolehkan berbilangnya shalat jum’at ada tiga: 1) tempat pelaksanaan shalat sempit sehingga tidak mampu memuat (semua) jamaah sekaligus, 2) terjadi peperangan antar dua golongan berbagai syarat yang terkait dengan peperangan, 3) jarak batas daerah dengan daerah yang lain berjauhan, sehingga sura azan tidak terdengar, atau berada di suatu daerah yang seandainya, keluar ke daerah lain (yang melaksanakan jum’atan) setelah terbit fajar, maka waktunya tidak mncukupi. Hal ini, karena tidak ada keharusan untuk berusaha pergi ke daerah lain tersebut kecuali setelah terbtnya fajar.[12]    
 
 Adapun jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya-ul jum’ah ba’da jum’ah) yang artinya penyelenggaranya shalat jum’at lebih dari satu di suatu tempat, maka hukumnya tidak sah. Jalan keluarnya adalah sebagai berikut:
1.    Karyawan seperti itu wajib berikhtiar semaksimal mungkin agar dapat menunaikan jum’atan shif pertama.
2.    Sebaiknya ditugaskan kepada karyawati untuk menjaga produksi agar karyawan dapat menunaikan shalat jum’at.
3.    Dalam hal ikhtiar tersebut bila tidak berhasil maka kewajiban shalat jum’at menjadi gugur dan wajib menunaikan shalat zhuhur dan dianjurkan berjamaah. Jika ada udzur syar’i di dalam meninggalkan shalat jum’at demikian ini dengan menggamti shalat zhuhur hukumnya tidak berdosa. Tetapi jika tidak ada uzur syar’i, hukumnya berdosa.
Rekomendasinya adalah kepada para produsen/pengusaha agar memberikan jaminan kebebasan kepada karyawan untuk menjalankan agamanya, dan menjalaankan shalat.
 Pendapat sebagian ulama bahwa pelaksanaan salat jum’at lebih dari satu kali tidak dibenarkan, antara lain tercantum dalam kitab:
أَمَّا غَيْرُ اْلمأمُوْمِ فَلَايَجُوزْ اِسْتِحْلَافُهُ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ إِنْشَاَءَ جُمْعَةٍ بَعْدَ أُخْرَى وَهُوَمُمْتَنِعٌ.
( الحواشي المدينة ٧٦/٢)
Adapun selain makmum, maka tidak boleh menggantikannya, karena serpa dengan membentuk shalat jum’at setelah shalat jum’at yang lain (dalam satu masa secara serenatakditempat yang sama). Dan hal ini tidak diperkenankan. ( al-hawasyil madaniyyah juz II,hlm. 76)

الشَّافِعِيَّةُ قَالُو: مَنْ فَاتَهُ صَلاَةُ الْجُمْعَةِ لِعُذْرَ أَوْ لِغَيْرِهِ سُنَّ لَهُ أَنْ  يُصَلِّيَ الظُّهْرِ فِيْ جُمُا عَةٍ. (الفقه عل مذاهب الأربعة. ٢ /٤٠)
Para ulama syafi’i berpendapat, barang siapa yang ketinggalan shalat jum’at karena sesuatu uzur atau lainnya, maka disunatkan untuk shalat zhuhur berjama’ah (al-fiqh ‘ala madzahibul arba’ah, juz I, hlm. 406).

... حَتَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ لَمْ يُقِمْهَا إِلَّا فِي مَسْجِدِهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يُرَ خِّصْ عليه الصَّلاةُ والسلام مَعَ فَرَطِ حُبِّه لِلتَّيْسِيْرِ على اُمَّتِهِ فِي أَنْ يُقِمُوهَا فِي مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّي بِمَونْ يَتَيَسَّرُ لَهُ الحُضُورُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِي أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ جُمْعَةٌ وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِي ِالَّذِينَ لَايَسْتَطِيعُ أَنْ يَحْضَرُوا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَنَ. (تنوير القلب ١٨٩/١(
…sehingga jika sudah datang hari jum’at, maka ia tidak melaksanakan shalat jum’at kecuali di mesjid Rasullullah Saw. Dan rasullullah Saw. meskipun sangat ingin untuk memberikan kemudahan kepada umatnya tidak memberikan dispensasi untuk mendirikan shalat jum’at di banyak mesjid, atau shalat bersama orang yang bisa datang kepadanya di awal waktu, dan mendirikan shalat jum’at yang ke dua dan ketiga sesudahnya. Demikian halnya bagi mereka yang tidak bisa datang. Dan yang demikian itu lebih mudah bagi mereka seandainya memeng diperkenankan. (tanwirul qulub juz I, hlm. 189).[13]
                       
Sebagai ibadah, bentuk maupun tata cara pelaksanaan slat jum’at harus mengikuti segala ketentuan yang telah ditetepkan hukium islam (syariah) serta dipraktikan oleh rasullullah. Kaidah fikih menegaskan:
 لَاتُشْرَ عُ عِبَادَةٌ إِلاَّ بِشَرْع للهِ (ِلدكتور وهبة الزحلي، نظرية الظرورة الشرعية، دمشق: مكتبة الفارابي(
“suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali  disyariatkan oleh Allah.”

Dan hadist nabi Saw:
          إِذَا اَمَرَتُكُمْ بِاَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ       
“jika aku memerintahkan kepadamu suatu hal, lakukanlah semampumu” (HR. Bukhari dan muslim).

IV.        ANALISIS
Menimbang bahwa tedapat banyak industri yang sistem operasionalnya 24 jam, dengan sistem seperti itu maka banyak karyawan yang tidak dapat melaksanakan shalat jum’at, kecuali jika melakukan shalat jum’at yang kedua (dua gelombang), dan mengingat bahwa hukum shalat jum’at adalah fardhu a’in dan pendapat ulama bahwa pelaksanaan shalat jum’at lebih dari satu kali tidak dibenarkan, maka bagi karyawan yang demikian itu hukumnya tidak sah. Dan seharusnya bagi semua pimpinan perusahaan atau industri mengupayakan kepada setiap pekerjanya yang muslim dapat menunaikan shalat jum’at.


[1] Mukhammad Sokhi Asyadi, Fikih Ibadah(Grobogan: Ponpes Fadllul Wahid, 2011) hlm. 159
[2] Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum islam (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004) hlm. 496
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah,(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 303
[4] Mukhammad Sokhi Asyadi, Fikih Ibadah…hlm, 159-160
[5]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid (Jakarta: pustaka amani, 2002) hlm.351.
[6] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI (jakarta: penerbit erlangga, 2007) hlm. 178 .
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah… hlm. 309.
[8] Muhammad sokhi asyhadi, fikih ibadah… hlm. 162.
[9] Majelis ulama indonesia, himpunan fatwa MUI... hlm. 177
[10] Muhammad sokhi asyhadi, fikih ibadah... hlm. 168
[11] Aziz Masyhuri, Permasalahan thariqah, (Surabaya: khalista, 2006) hlm. 193-194.
[12] Sahal mahfudh, ahkamul fuqaha... hlm. 384
[13] Sahal mahfudh, ahkamul fuqaha... hlm. 496-498
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template