Headlines News :
Home » » HUKUM KB, STERILISASI, SERTA IUD

HUKUM KB, STERILISASI, SERTA IUD

Written By Figur Pasha on Monday, January 7, 2013 | 2:36 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


I.                   PENDAHULUAN
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan penduduk di Negara ini semakin bertambah. berdasarkan data dari BKKBN pusat, laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,5% pertahun atau sekitar 3,5 juta jiwa. Dan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2012 telah mencapai 245 juta jiwa. Angka ini sangatlah memprihatinkan bagi Negara ini. Karena jika dibiarkan kelak akan terjadi peledakan penduduk. Maka pemerintah menganjurkan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menjalankan progam KB. Karena progam ini sangatlah penting untuk menekan pertumbuhan penduduk di Negara ini.
Selain KB, juga terdapat berbagai alat kontrasepsi lain dalam pelaksanaan keluarga berencana seperti sterilisasi dan IUD. Kemudian, bagaimanakah hukum dari berbagai alat kontrasepsi tersebut menurut hukum Islam?
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana hukum KB, Sterilisasi, dan IUD  dalam syari’at Islam.
II.                LANDASAN HUKUM
1)      Al-Qur’an
a.       KB
  Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(An-Nisa ayat 9)[1]
b.      Sterilisasi dan IUD
  
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.(Al-Isra ayat 36)

2)      Hadits
a.       KB
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ(متفق عليه)

Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash ra)
b.      Sterilisasi dan IUD

لَايَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَاتَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَايَغُضُّ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فىِ الثَّوْبِ الْوَاحِدِ,وَلَاتَغُضُّ الْمَرْأَةُ إِلىَ الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ.
Bersabda Rasulullah SAW, “janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan janganlah bersentuhan seorang laki-laki dengan laki-laki lain di bawah sehelai selimut, dan tidak pula seorang wanita dengan wanita lain di bawah satu kain(selimut).” (Hadits riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)[2]
III.             PANDANGAN ULAMA
a)      Mengenai permasalahan KB, kebanyakan ulama/sarjana muslim sejak dahulu seperti Amr bin Ash (sahabat nabi), Imam Syafi’i, dan Imam Ghazali sampai abad XX ini seperti Dr. Muhammad Abd. Salam Madkur, dan Dr. Mahmud Shalthoet, Rektor Universitas Al-Azhar berpendapat bahwa Islam tidak melarang Keluarga Berencana.[3]
b)      Syekh Syalthut memberikan pendapat bahwa tidak diizinkanya sterilisasi permanen, kecuali untuk alasan-alasan serius menyangkut penyakit keturunan atau yang mungkin menular.[4]
c)      Dr. H. Ali Akbar yang dikenal mempunyai keahlian dalam bidang (kedokteran dan agama) membuat kesimpulan sebagai berikut, “Maka saya berpihak kepada yang mengharamkan pengguguran, juga mengharamkan pemakaian spiral ini, karena sifatnya bukan contraseptif, abortif[5]
IV.             ANALISIS
a)      KB
Keluarga Berencana (KB) adalah istilah resmi yang dipakai di dalam lembaga-lembaga Negara kita seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Keluarga Berencana juga mempunyai arti yang sama dengan istilah Arab “تَنْظِيْمُ النَّسْلِ” (pengaturan keturunan/kelahiran), bukan “تَحْدِيْدُ النَّسْلِ” (Arab) atau Birth Control (Inggris), yang mempunyai arti pembatasan kelahiran.
KB/family planning itu menitikberatkan pada perencanaan, pengaturan, dan pertanggungan jawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya. Sedangkan birth control artinya pembatasan/penghapusan kelahiran.
Sehubungan dengan KB, sebagian ulama membuat suatu penegasan, bahwa terlarang memakai sesuatu yang sama sekali menghentikan kehamilan, akan tetapi apabila hanya memperlambat kehamilan untuk sementara waktu dan tidak menghentikanya, maka tidaklah terlarang.[6]
Selanjutnya dasar kebolehan KB dilaksanakan dalam Islam, beralasan dari keputusan konferensi besar pengurus besar Syuriah Nahdlatul Ulama ke 1 di Jakarta sebagai berikut:
Kalau dengan ‘azl (mengeluarkan air mani di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya mani ke rahim seperti kopacis/kondom, maka hukumnya makruh. Begitu juga makruh hukumnya kalau dengan meminum obat untuk menjarangkan kehamilan. Tetapi kalau dengan sesuatu yang memutuskan kehamilan sama sekali, maka hukumnya haram, kecuali kalau ada bahaya. Umpamanya saja karena terlalu banyak melahirkan anak yang menurut pendapat orang yang ahli tentang hal ini bisa menjadikan bahaya, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada.
Keterangan dalam kitab Asnal Mathalib 186, Fatawi Ibnul Ziyad 249, al-Bajuri II/93, Ahkamul Fuqaha’ II/231:
وَالْعَزْلِ تَحَرُّزًا مِنَ الْوَلَدِ مَكْرُوْهٌ وَإِنْ أَذِنَتْ فِيْهِ الْمَعْزُوْلُ عَنْهَا حُرَّةً كَانَتْ أَوْ أَمَةً لِأَنَّهُ طَرِيْقٌ اِلَى قَطْعِ النَّسَلِ (أسنى المط لب)
Adapun al-azl (mengeluarkan air mani di luar rahim) adalah makruh walaupun pihak wanita mengizinkan, baik sebagai wanita merdeka maupun budak karena al-azl tersebut merupakan cara memutuskan keturunan.

وَكَذَا إِسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِيْ يُبْطِئُ الْحَبْلَ وَيَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأَوَّلِ وَيَحْرُمُ فِي الثَّانِي. وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَا عِدَةِ الْفِقْهِيَّةِ. إذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَارًا بِارْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةً (البا جوري على فتح القريب في كتاب النكاح۲/٩۳)
          
Demikian halnya wanita ynag mempergunakan sesuatu (seperti alat kontrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan. Hal ini hukumnya makruh. Sedang memutus keturunan hukumnya haram. Dan ketika darurat maka sesuai dengan kaidah fiqhiyah; jika ada dua bahaya saling mengancam maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya.[7]

b)      Sterilisasi
Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Sterilisasi berbeda dengan cara-cara/alat-alat kontrasepsi lainya yang pada umumnya hanya bertujuan menghindari/menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja. Sedangkan sterilisasi ini, sekalipun secara teori orang yang disterilisasikan masih bisa dipulihkan lagi (reversable), tetapi para ahli kedokteran mengakui harapan tipis sekali untuk bisa berhasil.
Sterilisasi pada laki-laki disebut vasektomi atau vas ligation, dan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi. Sterilisasi baik untuk lelaki atau perempuan sama dengan abortus, bisa berakibat kemandulan, sehinga yang bersangkutan tidak lagi mempunyai keturunan.
Sedangkan menurut islam, hukum sterilisasi pada dasarnya haram(dilarang), karena ada beberapa hal yang prinsipal, yaitu:
1.    Sterilisasi (vasektomi/tubektomi) berakibat pemandulan tetap. Hal ini bertentangan dengan tujuan pokok perkawinan menurut Islam, yakni: perkawinan lelaki dan wanita selain bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan suami istri dalam hidupnya di dunia dan di akhirat, juga untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan kelak menjadi anak yang saleh sebagai penerus cita-citanya.
2.    Mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi(saluran mani/telur).
3.    Melihat aurat orang lain (aurat besar)
Pada prinsipnya Islam melarang orang melihat aurat orang lain, meskipun sama jenis kelaminya.
Akan tetapi apabila suami istri dalam keadaan yang sangat terpaksa (darurat), seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya. Yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi, maka sterilisasi diperbolehkan oleh Islam. Hal ini berdasarkan kaidah hukum Islam yang menyatakan:
الَضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاتِ.
Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.

c)        Intra Uterine Device (IUD)
IUD merupakan alat kontrasepsi yang dipasang pada wanita untuk menghalangi kehamilan dan dipasang 2 atau 3 hari sesudah haid, atau 3 bulan sesudah melahirkan dan pemasangannya harus dilakukan oleh tenaga yang telah telatih, serta perlu adanya kontrol sesudah pemasangan.[8]
 Sedangkan cara kerjanya yaitu  IUD Andalan akan mencegah pelepasan sel telur sehingga tidak akan terjadi pembuahan. Selain itu mengurangi mobilitas sperma agar tidak dapat membuahi sel telur serta mencegah sel telur yang telah dibuahi menempel pada dinding rahim.[9]
Bagaimana Pandangan Islam tentang IUD?
IUD menurut pandangan Islam fatwa hukum dari ulama dan cendikiawan muslim di Indonesia dalam Musyawarah ulama terbatas mengenai “KB dipandang dari hukum syariat islam” pada bulan juni 1972 yang memutuskan bahwa,  “pemakaian IUD dan sejenisnya tidak dapat dibenarkan, selama masih ada obat-obat dan alat-alatalain, karena untuk pemasanaganya atau pengontrolanya harus dilakukan dengan melihat aurot besar wanita, hal ini diharamkan dalam sariat islam, kecuali dalam keadaan dorurot”.[10] Kemudian musyawarah ulama nasional tentang kependudukan, kesehatan, dan pembangunan memutuskan antara lain “penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dalam pelaksanaan KB dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolanya dilakukan oleh tenaga medis atau para medis wanita, atau jika terpaksa dapat juga dilakukan oleh tenaga medis pria dengan didampingi oleh suami atau wanita lain”.
Menghadapi hal-hal tersebut, yang kesemuanya masih bersifat subhat atau mutasyabihat artinya yang masih belum jelas hukumnya, kita harus bersikap hati-hati selama cara kerja IUD belum jelas. Sepenuhnya ditandai dengan adanya perbedaan pendapat dikalangna ahli kedokteran yang tidak bisa dikompromikan hingga sekarang. Tentang mekanisme IUD dan sifatnya apakah abortif atau kontraseptif.[11] maka IUD sebagai alat kontraseptif tidak digunakan oleh islam kecuali benar-benar dalam keadaan darurat.


[1]Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.18 
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail…, hlm. 38.
[3] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan…, hlm. 17.
[4] Abd Al-Rahim ‘Umran, Islam dan KB, (Jakarta: Lentera, 1997), hlm. 228.
[5] Masjfuk Zuhdi, Masail…, hlm. 71.
[6]Ali yafie, Menggagas  Fiqh Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwi, (Jakarta: Mizan, 1995), hlm.189.
[7] M. Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha solusi problematika actual hukum Islam, keputusan muktamar, munas dan konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004M), (Surabaya: LTNU Jawa timur, 2007), hllm. 278-279.
[8] Masjfuk Zuhdi, Masail…, hlm. 70.
[9] http://www.tundakehamilan.com/product_iud.html, Rabu, 12 September 2012 pukul 17:03.
[10] Fide H. Isngadi, Penjelasan keputusan musyawarah ulama terbatas mengenai keluarga berencana, (Malang: inspeksi penerangan Kandepag, 1973), hlm. 19-24.
[11] Masjfuk Zuhdi, Masail…, hlm. 74-75.
Share this article :

2 comments:

  1. Ustadz ... saya masih bimbang neeh mohon pencerahannya. Istri saya sudah melahirkan 3 anak secara caesar semua dan sekarang sedang mengandung anak ke4 ... apakah saya diperbolehkan untuk sterilisasi istri saya.
    Alasan saya karena melihat kondisi setelah melahirkan anak ke3 kelihatannya sakit sekali serta susah payah dan berat badan juga sudah terlalu besar serta umur sudah 36th saat ini.
    Mohon pandangannya. Apakah haram kalo saya melakukan sterilisasi thd istri saya tsb
    Terima kasih

    ReplyDelete
  2. Mow Tidak haram. itu diperbolehkan jika menyangkut kesehatan dan adanya penyakit dalam tubuh pasien. asal adanya persetujuan dari suami istri.

    ReplyDelete

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template