I.
PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia,
perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum , baik hukum
syari'at yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak
tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui
syari'at. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Sedangkan yang dimaksud dengan
ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu
yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh,
wajib, sunnah,mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani').
Dari pada itu, lewat makalah ini
kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum
taklifi.
II RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian hukum wajib dan bagiannya ?
B.
Apa pengertian hukum haram dan bagiannya ?
C.
Apa pengertiann makruh dan bagiannya ?
D.
Apa pengertan mubah dan
bagiannya ?
III. PEMBAHSAN
A. Pengertian hukum wajib dan bagiannya
Ø Pengertian
wajib
Secara
etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti
dikemukakan oleh Abd al-Karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak,
wajib berarti :
Sesuatu yang diperintahkan (dihruskan)oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat
pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.[1]
Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap
mukallaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak
dilaksanakan diancam dengan dosa.
Ø Pembagian wajib
Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban. Hukum wajib
dibagi menjadi 2 macam :
1.
Wajib Ain
Segala bentuk pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang
untuk mengerjakannya dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang
lain. Misalnya Shalat lima waktu.
2.
Wajib kifa’I (Kifayah)
Segala bentuk pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya,
dengan tidak dipentingkan orang yang engerjakannya. Atau dengan bahasa yang
mudah adalah wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau salah
seorang ada yang mengerjaknnya maka tuntutan itu dianngap sudah terlaksana.[2]
Bila dilihat segi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi
dua macam :
1.
Wajib Mu’ayyan
Kewajiban
dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
2.
Wajib Mukhayyar
Yaitu
suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
Misalnya kewajiban membayar kaffarat sumpah, boleh meilih beberapa alternatif.[3]
Bila dilihat segi waktu pelaksanannya, hukum wajib dibagi menjadi
dua macam :
1.
Wajib Mutlaq
yaitu kewajiban yang pelaksanannyatidak dibatasi dengan waktu
tertentu. Misalnya kewajiban untuk membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar
kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
2.
Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yag pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. [4]
Wajib Muaqqat ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
v
Wajib Muwassa’ (kewajiban yang memiliki waktu batas waktu yang
lapang) yaitu kewajiban yang ditentukan waktunya, tetapi waktunya ini cukup
lapang, sehingga pada waktu itu bisa juga mengerjakan amalan yang sejenis
v
Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memiliki batas waktu sempit) yaitu
kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan pada suatu amalan, dan
waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. misalnya
puasa ramadhan.
v
Wajib dzu ay-syibhain yaitu
kewajiban yang mempunyai waktu lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan
sejenis secara berulang-ulang. wajib ini bila dipandang dari satu sisi ia
termasuk wajib muwassa’ dan dari sisi lain ia termasuk wajib mudhayyaq.
misalnya ibadah haji.[5]
B. Pengertian hukum haram dan bagiannya
Ø Pengertian
Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang
mengerjakannya. Secara terminology ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang
dilarang Allah da Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka an
diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Alah diberi
pahala.[6]
Ø Pembagian haram
Para
ulama’ ushul fiqh membagi haram menjadi beberapa macam yaitu :
1.
al-Muharram li Dzatihi
yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya
mengandung kemudaratanbagi kehidupan manusia, misalnya larangan berzina,
larangan menikahi wanita-wanita mahram seperti ibu kandung, larangan memakan
bangkai dan lain-lain.
2.
al-Muharram liGhairihi
Yaitu
sesuatu yang dialrang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak
mengandung kemudaratan , namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang
karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa pada sesuatu yang dilarang.
Misalnya larangan melakukan jual-beli pada waktu azan shalat jum’at.[7]
C. Pengertian makruh dan bagiannya
Ø Pengertian Makruh
Secara
bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah Ushul Fiqh kata
fiqh menurut jumhur ulama’ berarti sesuatu dianjurkan syari’at untuk
meninggalkannya, jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar
tidak berdosa.[8]
Ø Pembagian Makruh
Menurut Hanafiyah, makruh dibagi menjadi dua bagian yaitu makruh
Tanzih dan makruh Tahrim.
1)
Makruh Tanzih
Yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan
tuntutan tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama’ Hanafiyyah sama dengan
pengertian makruh di kalangan jumhur ulama’. Misalnya memakan daging kuda.
2)
Makruh Tahrim
Yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang
pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Misalnya larangan memakai
sutera dan perhiasan emas bagi kaum laki-laki, sebagaimana terdapat dalam sabda
Rasulullah SAW :
Keduanya
ini (Emas dan Sutera)haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi perempuan.
(H.R Abu Daud,
An-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad Ibnu Hambal)[9]
D. Pengertian Mubah dan bagiannya
Ø Pengertian
mubah
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang diperbolehkan mengambilnya
atau tidak mengambilnya. Menurut istilah mubah yaitu sesuatu yang tidak dipuji
mengerjakannya dan tidak pula dipuji meninggalkannya.
Ø Pembagian Mubah
Abu
Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga bagian :
1)
Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada suatu hal
yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah dan
seorang mukallaf bleh memilih untuk melakukan atau tidak melakukan pada waku
atau kondisi tertentu. Akan tetapi apabila seseorang meninggalkan makan minum
sama sekali maka pekerjaan tersebut menjadi wajib.
2)
Sesuatu dianggap mubah hukumnya bila dilakukan sesekali, tetapi
haram hukumnya bila dilakukan setip waktu. Misalnya bernyanyi dan mendengarkan
music hukumnya mubah, tetapi haram hukumnya bila menghabiskan waktu hanya untuk
bermain dan mendengarkan music.
3)
sesuatu yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu
yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah tangga untuk kepentingan
kesenangan. Hidup senang adalah hukumnya mubah.
IV. KESIMPULAN
v
Wajib adalah Sesuatu yang diperintahkan (dihruskan)oleh Allah dan
Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan
mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam
dengan dosa.
v
Haram adalah sesuatu yang dilarang Allah da Rasul-Nya, dimana orang
yang melanggarnya dianggap durhaka an diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Alah diberi pahala.
v
Makruh adalah sesuatu dianjurkan syari’at untuk meninggalkannya,
jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.
v
Mubah adalah sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak
pula dipuji meninggalkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi,
Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Amzah
Syafe’I,
Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
CV Pustaka Setia
[1] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushl Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hlm. 43
[2] Drs. Toto Jumantoro, M.A, Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu
Usul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.354-355
[3] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op.cit, hlm 47
[4] Ibid, hlm.48
[5] Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), hlm. 303
[6] Prof. Dr. Satria Effendi,
M.Zein, M.A, Op.cit, hlm 53
[7] Ibid, hlm. 55-57
[8] Ibid, hlm. 58
[9] Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, op.cit, hlm. 309
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !