Headlines News :
Home » » KONDISI SOSIAL POLITIK MASA ALI BIN ABI THALIB

KONDISI SOSIAL POLITIK MASA ALI BIN ABI THALIB

Written By Figur Pasha on Saturday, May 12, 2012 | 11:35 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

A. Proses Pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat islam Madinah. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar agar menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah.
Dia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.

Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Ibn Umar dan Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka membai’at secara terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka bersama kaum Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.

Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru dan wilayah islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Ustman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman.[1]

B. Kebijakan- kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Sudah jamak diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibai’at sebagai khalifah, beliau cepat mengambil tindakan. Beliau segera mengeluarkan perintah yang menunjukan ketegasan sikapnya, antara lain:

1) Memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat Utsman bin Affan, mereka adalah Bani Umayyah.
2) Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman kepada keluarga-keluarganya dan yang dihadiahkan Utsman kepada para pendukungnya dan hasil tanah tersebut diserahkan ke kas Negara .[2]
3) Berusaha mengembalikan pemerintahan islam seperti pada masa pemerintahan khalifah Umar.
4) Memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Januari 657 M), dikarenakan pengikut beliau yang paling banyak berada di Kufah.[3]

C. Kondisi Sosial Politik di Masa Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah

Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sangat tidak stabil karena terjadi pemberotakan dimana-mana. Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat diselesaikan hingga akhir kepemimpinannya, hingga hal-hal tersebut menyebabkan pecahnya umat islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali bin Abi Thalib.[4]

Pemberontakan-pemberontakan tersebut diantaranya adalah:

a. Perang Jamal (36 H/657 M)

Pada saat itu Aisyah yang disertai Zubair dan Thalhah serta kaum muslimin yang berasal dari Mekkah menuju Basrah untuk menetap disana. Mereka sampai disana dan menguasai Basrah. Bahkan mereka berhasil meringkus para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat ke beberapa wilayah untuk melakukan hal yang sama.

Ali pun mengubah rute perjalanannya dari Syam ke Basrah. Beliau mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang bersamanya dan menerangkan dampak negatif dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan mereka kembali ke base pasukan untuk melakukan kesepakatan damai.

Keduanya hampir saja melakukan kesepakatan damai. Namun, Abdullah bin saba’ dan pengikutnya yang menyimpang merasa ketakutan dan mereka melihat bahwa pertempuran harus terjadi antara kedua pasukan. Kembali mereka berhasil mengobarkan api perang di antara pasukan islam.

Kedua pasukan terlibat pertempuran yang demikian sengit. Ali tidak bisa menghentikan peperangan ini. Pertempuran terjadi demikian sengitya didepan unta membawa tandu Aisyah. Sehingga, kemudian perang ini disebut dengan perang jamal (perang unta).[5]

Sejarah mencatat bahwa korban pertempuran itu, pada kedua belah pihak, berjumlah 10.000 jiwa.[6]

Kemenangan peperangan ini dipihak khalifah Ali dengan korban Talhah dan Zubair mati terbunuh. Sedangkan Siti Aisyah ditawan yang akhirnya diantar pulang kembali ke Mekah dengan segala peghormatan sebagai ibu mertua khalifah Ali. Ini merupakan perang pertama yang terjadi antara dua kelompok kaum muslimin.

وَ قْعَةُ جَمَلِ هِيَ اَ و لُ حَرْ بٍ دَ ا خِلَةٍ فِيْ ا ْلإِ سْلاَ مِ

“ perang jamal merupakan perang pertama yang terjadi sesama kaum muslimin.”[7]

b. Perang Siffin (37H/658M)

Peperangan antara umat islam terjadi lagi, yaitu antara khalifah Ali bersama pasukannya dengan muawiyah sebagai gubernur Suriah bersama pasukannya. Perang ini terjadi karena khalifah Ali ingin menyelesaika pemberontakan Mu’awiyah yang menolak peletakan jabatan dan secara terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya. Peperangan ini terjadi di kota Siffin pada tahun 37H/658M yang hampir saja dimenangkan Khalifah Ali. Namun atas kecerdikan Mu’awiyah yang dimotori oleh panglima perangnya Amr bin Ash, yang mengacungkan Al-Qur’an dengan tombaknya yang mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai dengan menggunakan Al-Qur’an. Khalifah Ali mengetahui bahwa hal tersebut adalah tipu muslihat, namun karena didesak oleh pasukannya, khalifah menerima tawaran tersebut. Akhirnya, terjadi peristiwa tahkim yang secara politis khalifah Ali mengalami kekalahan, karena Abu Musa Al-Asy’ari sebagai wakil khalifah menurunkan Ali sebagai khalifah, sementara Amr bin Ash tidak menurunkan Mu’awiyah sebagai gubernur Suriah, bahkan menjadikan kedudukannya setingkat dengan khalifah.[8]

c. Peristiwa Tahkim pada Masa Ali bin Abi Thalib

Hasil tahkim karena kejujuran dan kelemahan Abu Musa Al-Asy’ari dan juga karena kecerdikan dan ketidakjujuran Amr bin Ash merugikan pihak Ali. Pasukan Ali sangat kecewa dengan hasil tahkim, karena kemenagan perang siffin yang sudah hampir ditangan, telah hilang dan tidak dapat diharapkan kembali. Oleh karena itu, pendukung Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua: kelompok yang tetap mendukung Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan kelompok yang melakukan pembelotan dengan menentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali bin Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib. Sedangkan disisi lain, Mu’awiyah dan pengikutnya tetap bersatu dan berarti lebih kuat dari pada pendukung Ali bin Abi Thalib.

Kelompok Ali yang kecewa dengan hasil tahkim berkumpul di Mekah dan melakukan kesepakatan yang dipimpin oleh Abd al-Rahman Ibn Muljam al-Maradi, al-Bark Ibn ‘Abdullah al-Tamimi, dan Amr Ibn Bakir al-tamimi untuk menentang kepada pemimpin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Mereka adalah khawarij. Oleh karena itu umat islam terbagi menjadi tiga kelompok politik: Ali, Mu’awiyah, dan Khawarij.

Ali dihadapkan pada dua lawan: Mu’awiyah dan khawarij, Ali dan pasukannya disibukan dengan melawan khawarij yang jumlahnya sekitar 12000 orang. Ketika Ali menumpas khawarij, Mu’awiyah memanfaatkan kesempatan dengan mengirim pasukan dibawah Amr bin Ash ke Mesir dan berhasil mengalahkan pasukan Qais yang menjadi amir Mesir. Pasukan khawarij dikalahkan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib ketika bertempur di Nahrawan. Sisa khawarij melarikan diri ke Bahrain dan Afrika Utara. Akan tetapi, pasukan Ali bin Abi Thalib kelelahan dalam berperang sehingga khalifah tidak dijaga ketat. Sedangkan disisi lain, penjagaan Mu’awiyah begitu ketat. Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib, sedangkan Mu’awiyah gagal mereka bunuh.[9]

Sebagai oposisi terhadap kekuasaa yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa statemen yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai kafir. Dalam mengeluarkan statemen politiknya, khawarij tampaknya tidak lagi berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagaman umat islam. Khawarij dinilai keluar dari wilayah politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang terlibat tahkim. Kafir dan mukminnya seseorang paling tidak, menurut Harun Nasution, bukan wilayah politik, tetapi wilayah kalam atau teologi. Karena menilai kafir terhadap Utsman, Ali, Mu’awiyah, Abu Musa al-Asy’ari, Amr bin Ash, khawarij tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetapi dianggap sebagai aliran kalam.

Disamping penentang, Ali bin Abi Thalib memiliki pendukung yang sangat fanatik dan setia kepadanya. Dengan adanya oposisi terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kesetiaan mereka terhadap Ali bin Abi Thalib semakin bertambah, apalagi setelah Ali bin Abi Thalib wafat dibunuh oleh kalangan khawarij. Mereka yang fanatik terhadap Ali bin Abi Thalib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.[10]

d. Akhir Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.[11]

Kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Disisi lain, perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam islam. Tahun 41 H./ 661 M., tahun persatuan itu dikenal dalam sejarah sebagai tahun jamaah (‘am jamaah). Jadi ‘am jamaah adalah tahun persatuan antara Hasan dan Mu’awiyah, artinya bahwa antara mereka tidak terjadi perebutan kekuasaan dan mereka berdamai serta menjalankan pemerintahan dalam satu kepemimpinan.

Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa al-khulafa’ al-rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik.[12]

D. Akhir Masa Khilafah

Mulai dari masa Abu Bakar sampai Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Dan para khalifahnya disebut al-khulafa’ al-rasyidun. Ciri masa ini adalah para khalifahnya betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan.[13]

Pada masa khulafa’ al-Rasyidin terdapat sejumlah peninggalan berharga yang sangat penting bagi umat islam. Pertama, pada waktu itu telah lahir sejumlah cara (metode) pengangkatan pemimpin, musyawarah terbatas, penunjukan dan team formatur. Kedua, pada waktu itu terdapat sejumlah mushaf Al-Qur’an yang dijadikan rujukan dalam penyalinan dan kodifikasi Al-Qur’an pada zaman Abu Bakar dan Utsman bin Affan, sehingga melahirkan mushhaf Utsmani (resmi) yang digandakan dan dikirim kebeberapa wilayah. Ketiga, umat islam telah dihinggapi sikap saling curiga dan saling tidak percaya sehingga melahirkan sejumlah pertempuran internal umat islam. Disamping itu, perluasan wilayah dilakukan sejak zaman Abu Bakar dan terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib. Keempat, khawarij yang melakukan pembelotan terhadap Ali pada dasarnya didasari atas keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah serta semua pihak yang terlibat dalam tahkim dianggap telah melakukan dosa besar; seorang muslim yang melakukan dosa besar berarti telah murtad, dan orang murtad harus dibunuh. Oleh karena itu, pada waktu itu telah ada konsep iman, dosa besar, dan murtad yang digagas oleh khawarij; dan kelima, pada waktu itu wilayah sudah dibagi-bagi, dan setiap wilayah memiliki gubernur (wali/amir) dan bahkan diantara wilayah telah memiliki pasukan militer tersendiri, termasuk Umar bin Khattab telah meletakan prinsip-prinsip peradilan yang hingga kini masih relevan.[14]

                          
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm. 95-96.
[2]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Media Grafika, 2003 ), hlm.173.
[3] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm.107.
[4] H. Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,, 2011), hlm. 62.
[5]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, ( Jakarta: Media Grafika, 2003), hlm. 174-175.
[6] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 478.
[7]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam Teologi Islam Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 78 .
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm.97-98.
[9] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm. 89-90.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah peradaban Islam, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 98-99.
[11] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm.177.
[12] H. Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, ( Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm.69.
[13] Badri Tatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.42.
[14] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.92-93.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template