I.
PENDAHULUAN
Sebelum kalangan ulama’ memutuskan
hukum terhadap suatu masalah tertentu yang belum dijelaskan secara
terperinci dan mendalam dalam Al Quran dan Hadits, penentuan hukum harus
dilakukan dengan hati-hati dan melewati beberapa proses tertentu. Dalam
penentuan suatu hukum, harus diketahui dahulu asal usul masalah yang menyebabkan
masalah itu terjadi. Setelah itu hukum yang ditetapkan juga harus sesuai dengan
kaidah-kaidah yang digunakan untuk menetapkan hukum tersebut. Hukum yang telah
ditetapkan selain untuk kemaslahatan umat, juga harus sesuai dengan dasar pokok
Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa yang dimaksud Ushul Fiqh?
B.
Apa kaidah-kaidah yang digunakan dalam Ushul Fiqh?
C.
Apa objek pembahasan dan manfa’at mempelajari Ushul Fiqh?
D.
Apa yang dimaksud Fiqh?
E.
Bagaimana cara/jalan untuk mengetahui Fiqh dan apa objek kajian
Fiqh?
F.
Apa saja dasar-dasar sumber hukum Islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
USHUL FIQH
a)
Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul al-Fiqh yang
terdiri dari dua kata yaitu al-ushul dan al-fiqh. Kata al-ushul adalah jamak dari kata al-ashl,
menurut bahasa berarti “landasan tempat membangun sesuatu”. Menurut istilah
yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, kata al-ashl
mengandung beberapa pengertian: (1) bermakna dalil, (2) bermakna kaidah umum
yaitu suatu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya,
(3) bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan), (4)
bermakna asal tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari
rukun qiyas, (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam
satu masalah.[1]
Sedangkan kata al-fiqh menurut
bahasa berarti pemahaman. Contohnya firman Allah dalam menceritakan sikap kaum
Nabi Syuaib dalam ayat:
Mereka berkata: "Hai Syu'aib, Kami tidak banyak mengerti
tentang apa yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya Kami benar-benar melihat
kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu
tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang
berwibawa di sisi kami."(QS Hud:19)
Menurut istilah, al-fiqh
dalam pandangan az-Zuhaili terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh.
Abu Hanifah mendefinisikan sebagai “pengetahuan diri seseorang tentang apa yang
menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya”. Sedangkan menurut Ibnu
Subki mendefinisikan sebagai
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها
التفصيلية
“pengetahuan
tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan , yang digali satu
per satu dalilnya”.[2]
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu
Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh
imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash
syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi ‘illat
(alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta
kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’. Oleh karena itu Ilmu
Ushul Fiqh juga dikatakan
مجموعة القواعد التىتبيّن للفقيه طرق استخراج الأدلّة الشّرعيّة
“kumpulan qoidah-qoidah
yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan
hukum-hukum dari dalil-dalil syara’”.[3]
b)
Kaidah-kaidah pokok Ushul Fiqh
Kaidah-kaidah pokok yang digunakan dalam Ushul Fiqh sebagai berikut:[4]
1.
الأمور بمقا صدها
“Segala sesuatu tergantung niatnya”
2.
اليقين لايزال بالشّكّ
“Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan”
3.
المشقّة تجلب التّيسير
“Keberatan itu bisa membawa
kepada mempermudah”
4.
الضّرر يزال
“Madlarat itu dapat dihapus”
5.
العادة محكّمة
“Adat kebiasaan itu bisa ditetapkan”
c)
Objek Pembahasan Ushul Fiqh
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al Ghozali, maka obyek bahasan
Ushul Fiqh dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1.
Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,
seperti hakim (yang menetapkan hukum), mahkum fih (perbuatan yang
ditetapi hukum), dan mahkum alaih (orang yang dibebani hukum),
2.
Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum,
3.
Pembahasan tentang cara mengistimbatkan hukum dari sumber-sumber
dan dalil-dalil itu,
4.
Pembahasan tentang ijtihad. Secara global muatan kajian Ushul Fiqh
seperti dijelaskan di atas menggambarkan obyek bahasan Ushul Fiqh dalam
berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang
sistematika dan jumlah muatan darimasing-masing bagian tersebut.[5]
d)
Manfaat mempelajari Ushul Fiqh
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa manfaat mempelajari Ushul
Fiqh.
1.
Dengan mempelajari Ushul Fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui
dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fiqhnya. Dengan
demikian, akan dimengerti betul secara mendalam, sehingga dengan itu bisa
diketahui sejauh mana kebenaran pendapat fiqh yang berkembang di dunia Islam,
2.
Dengan studi Ushul Fiqh
seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al
Quran dan hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan
hukum dari dua sumber tersebut. Dalam Ushul Fiqh, seseorang akan memperoleh
pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadits, dan
bagaimana cara mengembangkannya. Oleh sebab itu, ulama’-ulama’ mujtahid
terdahulu, lebih mengutamakan studi Ushul Fiqh dari Fiqh, sebab dengan
mempelajari Ushul Fiqh seseorang bukan saja mampu memakai tatapi mampu
memproduk fiqh,
3.
Dengan mendalami Ushul Fiqh seseorang akan mampu dengan benar dan
lebih baik melakukan studi komparatif antar pendapat ulama’ fiqh dari berbagai
madzhab, sebab Ushul Fiqh merupakan alat untuk melakukana perbandingan madzhab
fiqh.[6]
B.
FIQH
a)
Pengertian Fiqh
Fiqh, menurut bahasa bermakna : tahu dan paham. Menurut istilah,
ialah ilmu syari’at. Orang yang mengetahui ilmu fiqh dinamai Faqih. Para fuqaha (jumhur mutaakhirin)
mentakrifkan fiqh dengan : “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”. Hukum ini juga dinamai hukum furu’,
karena dipisahkan dari ushulnya, yakni diambil, dikeluarkan dari dalil-dalilnya
(dalil-dalil syar’i) yang menjadi objek ushul fiqh. Jelasnya fiqh islam mempunyai
ushul (pokok-pokok atau dasar-dasar) dan furu’ (cabang-cabang) yang diambilkan
dari pokok tersebut.
Furu’nya (cabangnya) ialah : hukum-hukum Syara’ yang dipetik dari
Al Kitab, As Sunnah, Al Ijma’, Al Qiyas, dan dari dalil-dalil syara’ yang lain.
Mengingat hal ini, lebih tepat apabila ilmu fiqh itu dinamai Furu’ul Fiqh, sebagai imbangan dari ilmu
Ushulul Fiqh.
Didalam kitab Durrul Mukhtar diterangkan,
bahwa Fiqh mempunyai dua makna : makna ahli ushul dan makna ahli fiqh. Makna
ahli ushul ialah : “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat
far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang tafshili (khusus,
terperinci)”. Tegasnya, fiqh menurut ahli ushul ialah mengetahui hukum dari
dalilnya.
Makna ahli fiqh (fuqaha) ialah : “mengetahui (menghafal) hukum
furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya atau tidak ”. jelasnya, fiqh menurut fuqaha, ialah
mengetahuihukum-hukum yang syara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba
(mukallaf) yaitu : wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.
b)
Jalan Mengetahui Fiqh
Fiqh diambil/digali dengan jalan ijtihad. Untuk mngetahuinya
diperlukan perhatian dan ketekunan yang mendalam (ta’ammul).
c)
Objek Fiqh
Walaupun hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, seperti : wajib,
haram, sunat, makruh, mubah, shah, batal, ada’ atau lainnya, namun dalam
kenyataanya tersusun dari dua bagian : pertama,
hukum-hukum syara’ amaliyyah dan kedua,
dalil-dalil tafshiliyyah (yang jelas) mengenai
hukum itu.
Hukum Fiqh diambil dari wahyu baik yang ditilawatkan (Al Qur-an) maupun
wahyu yang tidak ditilawatkan (Sunnatur Rasul). Dalam pada itu, apabila
mujtahid tidak memperoleh nash, maka dia menggali hukum itu dari ruh (jiwa)
syari’at dan maksud-maksudnya. Ilmu Fiqh ini, dinamai juga dengan Ilmu Halal wal Haram, Ilmusy Syari’ah wal
Ahkam.[7]
C.
SUMBER-SUMBER FIQH
a) Al Qur’an
Lafadz Al Qur’an didalam uruf umum ialah kumpulan yang tertentu
dari kalam Allah yang dibaca para hamba”. Al Qur’an dalam pengertian ini lebih
terkenal dari lafadz al kitab dan lebih nyata. Karena al kitab juga dipakai
untuk kitab-kitab yang lain, baik yang diturunkan kepada Nabi-Nabi maupun
kitab-kitab lain. Al Qur’an adalah sinar Ilahi yang abadi, berkembang sinar
cahayanya selama masih berkembang layar
alam ini.
Allah menurunkan Al Qur’an bersuku-suku, berangsur-angsur, adalah
untuk menerangkan suatu hukum atau untuk menjawab suatu soal atau fatwa, dalam
tempo 23 tahun. Hikmahnya dilakukan demikian, ialah supaya mudah dihafal oleh Rosul
dan dipahami, dan supaya menarik untuk mempelajari pengertian ibadah atau
urusan-urusan akhirat juga mengandung urusan-urusan rahasia dan tujuannya,
bahkan merupakan rahmat bagi seluruh ummat. Dan Al Qur’an ini, selain
mengandung urusan-urusan ibadat atau urusan-urusan akhirat, juga mengandung
urusan-urusan dunia.
Al Qur’an terdiri dari 114 surat. Kira-kira 500 ayat mengenai
hukum, yang lain mengenai aqidah akhlak dan sebagainya. Hukum yang dicakupi Al
Qur’an mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah (global). Tidak menerangkan hukum
secara terperinci. Dan karenanyalah mempunyai daya tahan sepanjang masa dan
dapat sesuai dengan suasana dan kondisi tiap-tiap masyarakat. Yang demikian ini
pula segi kemu’jizatannya. Kebanyakan hukumnya mujmal (global), perinciannya
diserahkan kepada ahli ijtihad. Yang menjiwai hukum-hukumnya, adalah menolak
kemelaratan.[8]
b) As Sunnah
Yang dikehendaki dengan As Sunnah disini ialah “ segala yang dinukilkan dari Rasulullah
SAW”.
As Sunnah adakala qauliyah yaitu hadist-hadist yang Nabi
SAW Lafadhkan atau sabdakan, adakala fi’liyah
yaitu sesuatu yang Nabi SAW kerjakan untuk disyariatkan dan adakala taqririyah, yaitu suatu perbuatan yang
dikerjakan sahabat di hadapan Nabi SAW dan Nabi SAW mengetahui orang mengerjakan
dan Nabi berdiam diri.
Sunnah ialah sumber yang kedua tasyri’/syari’at yang wajib kita ketahui. Sebagai bukti yang
nyata bahwa Sunnah mempunyai daya hujjah dan menduduki tempat kedua sesudah Al
Qur’an ialah sabda nabi SAW. Di dalam haji wada’: “aku tinggalkan padamu dua
urusan, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudah keduanya : Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya”. [9]
c) Ijma’
“kebulatan pendapat para
mujtahidin dari umat Islam di sesuatu masa, sesudah berakhir zaman risalah
terhadap sesuatu hukum syara’ ”
Untuk menetapkan adanya ijma’ hendaklah :
1.
Berwujud ijma’ segala mujtahid terhadap sesuatu pendapat walaupun
mereka berjumlah kecil asalkan tak ada lagi mujtahid yang dapat turut serta
memberikan pendapat.
2.
Berwujud kesepakatan seluruh para mujtahid.
3.
Yang mereka ijma’i, masuk hukum syar’i yang dapat diwujudkan dengan
ijtihad.
4.
Ijma’ itu berlaku sesudah Rasul wafat.
Ijma’ ada yang bersifat kalami,
atau qauli dan yang bersifat amali. Ke dalam kedua macam ijma’ ini,
tidak diperlukan berkumpul para mujtahid disuatu majlis. Suara mereka dapat
diambil dengan jalan mengumpulkan mereka dalam suatu kongres.[10]
d)
Qiyas
“Menghubungkan suatu urusan yang tidak ada nashnya baik dari Al
Qur’an maupun sunnah dengan yang dinashkan hukumnya karena bersekutu tentang
‘illat yang karenanya disyariatkan hukum”
Qiyas mempunyai empat rukun
yaitu:
1.
Maqis ‘alaihi (asal = pokok)
2.
Maqis (furu’ = cabang)
3.
Illat
4.
Hukum pokok
Qiyas hanya
dipergunakan terhadap kejadian yang tidak ada nash yang menentukan hukumnya dan
qiyas itu tidak dapat dilakukan pada hukum-hukum yang sudah ada nashnya.[11]
[1] PROF. DR. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqh,
Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 1-2.
[2] Ibid., hlm. 2-4.
[3] Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Ditjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1985,
hlm. 4.
[4] Drs. Moh. Adib Bisri, Terjamah Al Faraidul Bahiyyah, Kudus:
Menara Kudus, 1977, hlm. 1.
[5] PROF. DR. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Op. Cit., hlm.
11-12.
[6] Ibid., hlm. 14-15.
[7] Teungku Muhammad Habsi
Asy Syiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm 15-17.
[8] Ibid, hlm 174-178.
[9] Ibid, hlm. 177.
[10] Ibid, hlm. 183-184.
[11] Ibid, hlm. 189-190.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !