I.
PENDAHULUAN
Agama adalah sesuatu yang datang dari
Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan
kebahagiaan ukhrowi. Adapun kebudayaan adalah semua produk aktifitas
intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahaguiaan hidup
duniawi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya
pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan dalam hal ini kecerdasan.[1]
Al Islam hanyalah satu, tetapi kebudayaan Islam tidaklah satu. Sedemikian
banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif ruang dan waktu, sesuai
dengan tempat dan masa para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.[2]
II.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan pendahuluan yang telah
kami sampaikan di atas. Dapat kami sampaikan rumusan masalah dalam penyusunan
makalah ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
2.
Bagaimana
Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan?
3.
Bagaimana
Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual?
III.
PEMBAHASAN
A. Proses Akulturasi Budaya Jawa
dan Islam
Pendekatan dalam penyebaran Islam di
Jawa dapat ditempuh melalui dua pendekatan. Pendekatan tersebut adalah, yang
pertama disebut Islamisasi Kultur Jawa.
Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak becorak Islam, baik
secara formal maupun secara substansi. Upaya ini ditandai dengan penggunaan
istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan para tokoh Islam pada
berbagai cerita lama.
Sampai kepada pernerapan hukum-hukum,
norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua
disebut Jawanisasi Islam. Yang
diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara
penyusupan ke dalam budaya Jawa.[3]
Melalui cara pertama, Islamisasi
dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol keislaman
nampak secara nyata dalam budaya Jawa, sedangkan pada cara kedua, meskipun
istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang
dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa. berbagai
kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam
cenderung mengarah kepada polarisasi Islam
kejawaan atau Jawa yang keislaman
sehingga timbul istilah Islam Jawa
atau Islam Kejawen.
Sebagai suatu cara pendekatan dalam
proses akulturasi, kedua kecenderungan itu merupakan strategi yang sering
diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai
dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap moderat serta mengutamakan
keselarasan. Namun, persoalan yang muncul dan sering menjadi bahan perbincangan
dikalangan para pengamat adalah makna yang terkandung dari percampuran kedua
budaya tersebut.
Sebagian mereka menilai bahwa
percampuran itu masih sebatas pada segi-segi lahiriah sehingga Islam seakan
hanya sebagai kulitnya saja, sedangkan nilai-nilai esensialnya adalah Jawa.
Sementara itu, sebagian yang lain menilai sebaliknya, dalam arti nilai Islam
telah menjadi semacam ruh dari penampakan budaya Jawa kendatipun tidak secara
konkret berlabel Islam.[4]
Dalam kehidupan keberagaman,
kecendurungan untuk ‘mengakomodasikan Islam dengan budaya Jawa setempat telah
melahirkan kepercayaan-kpercayaan serta upacara-upacara ritual. Adapun yang
dimaksud dengan budaya Jawa di sini adalah budaya sebelum Islam tersebar di
Jawa, yakni budaya yang bersumberkan dari ajaran-ajaran agama Hindu dan agama
Budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.[5]
B.
Interelasi antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
Interelasi berarti hubungan satu sama
lain.[6] Jadi yang
dimaksud interelasi disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau
kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan.
Setiap agama dalam arti
seluas-seluasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau
keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci, atau
yang gaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah
atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman adalah percaya kepada Allah, para
malaikat-Nya, para nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya, hari akhir, dan percaya
kepada qadla dan qadar, yakni ketentuan tentang nasib baik atau buruk dari
Allah SWT.[7]
Unsur-unsur keimanan itu karena berjumlah
enam disebut dengan rukun iman yang enam. Namun demikian, di luar semua itu
masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai
seperti percaya kepada adanya Setan, Iblis, Syafa’at Nabi Muhammad SAW, dan
lain-lain. Sementara itu dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan dari
ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak lagi para Dewa.
Demikian juga terdapat kepercayaan
terhadap kitab-kitab suci, orang-orang suci (para resi), roh-roh jahat,
lingkaran penderitaan (samasara).
Hukum karma, dan hidup bahagia abadi (moksa).
Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudya
(sebab penderitaan), nirodha
(pemadaman keinginan), dan marga
(jalan kelepasan). Kelepasan yang dimaksud adalah Nirwana, dan untuk sampai ke
Nirwana harus menempuh delapan jalan kebenaran, semacam rukun iman juga dalam
agama Budha.
Meskipun semula agama ini tidak jelas
konsep ketuhanannya, tetapi dalam perkembanganya agama Budha juga percaya
kepada Tuhan yang disebut Sang Hyang Adi Budha. Adapun pada agama “primitif”
sebagai “agama” orang Jawa sebelum kedatangan agama Hindu ataupun agama Budha,
inti kepercayaannya adalah percaya kepada daya-daya kekuatan gaib yang
menempati pada setiap benda (dinamisme), serta percaya kepada roh-roh ataupun
makhluk-makhluk halus yang menempati suatu benda ataupun berpindah-pindah dari
suatu tempat ke tempat lain, baik benda hidup maupun mati (animisme).
Kepercayaan-kepercayaan dari agama
Hindu, Budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam
proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan- kepercayaan dalam
Islam. Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan
dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif.
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan
animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak
murni oleh karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap
keramat, baik benda mati ataupun
hidup. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai jenis barang yang dikeramatkan.[8]
Sebelum Islam datang,
masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu
yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci,
roh jahat, lingkaran penderitaan [samsara],
hukum karma dan hidup bahagia abadi [moksa].
Disamping itu juga ada yang bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan
adanya percaya pada Tuhan [Sang Hyang Adi Budha], selain itu juga ada
kepercayaan animisme dan dinamisme.
Setelah kedatangan Islam ke Jawa,
terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah
interelasi antara kepercayaan dengan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada
dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara
berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa arab
menjadi fenomena Jawa.[9]
Beberapa nama Nabi juga dikaitkan dengan
doa-doa tertentu yang dipandang memiliki nilai-nilai khusus. Terdapat salah
satu doa yang disebut doa Nabi Sulaiman untuk mendapatkan kewaskitan dan keprabawaan.
Ada pula salah
satu doa Nabi Ibrahim untuk mengindarkan dari bahaya fitnah, pencurian, kebakaran,
kedatangan musuh, dihindarkan dari penyakit, dan cepat dapat membayar hutang[10]
Sebelumnya perlu
diketahui, bahwasanya ada dua manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup
berbeda, yaitu Agama Jawi dan Agama Islam Santri. Sebutan yang pertama berarti
“ agama orang Jawa”, sedangkan yang
kedua berarti “agama Islam yang dianut
orang santri”.
Bentuk agama Islam
orang Jawa yang disebut Agami Jawi
atau Kejawen Itu adalah suatu
kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu Budha yang cenderung ke arah mistik
yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Varian agama Islam
santri, yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme
dan unsur-unsur Hindu Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang
sebenarnya.
Agama Jawi ini
lebih dominan di daerah-daerah Negarigung di Jawa Tengah, di Bagelen dan di
daerah Mancanegari, sedangkan agama Islam Santri lebih dominan di daerah
Banyumas dan pesisir Surabaya, daerah pantura, ujung timur pulau Jawa, serta
daerah-daerah pedesaan di lembah sungai Solo dan sungai Brantas.[11]
1.
Sistem Keyakinan Agami Jawi
Sistem budaya
Agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa.
Terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin adanya
Allah, Muhammad sebagai pesuruh Allah, yakin adanya Nabi-nabi lain dan
tokoh-tokoh Islam keramat, yakin adanya konsep dewa-dewa tertentu yang
menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu
tentang hidup dan kehidupan setelah mati, yakin adanya makhluk-makhluk halus
jelmaan nenek moyang yang sudah meninggal, yakni roh-roh penjaga, yakin adanya
setan hantu dan raksasa dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan ghaib dalam
alam semesta ini.
2.
Sistem Keyakinan Islam Santri
Sistem keyakinan
Islam santri baik penduduk pedesaan maupun kota berawal dari enkulturasi,
mereka dilatih membaca al-Qur’an yang terdiri dari konsep-konsep puritan
mengenai Allah, Nabi Muhammad, mengenai penciptaan dunia, perilaku yang baik
dan buruk, kematian dan kehidupan dalam dunia akhirat, yang semua telah
dipastikan adanya. Orang santri di pedesaan umumnya menerima konsep-konsep ini
sebagaimana adanya tanpa mempedulikan mengenai interpretasinya; akan tetapi
para santri di kota
biasanya memperhatikan moral serta etika dari interpretasi dari ajaran-ajaran
tersebut.[12]
Lebih simpelnya
dari aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah tercampur dengan
keyakinan Jawa [Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme], diantaranya sebutan
Allah menjadi Gusti Allah, Ingkang Maha
Kuwaos (al-Qadir). Disamping itu juga ada Hyang Jagad Nata (Allah Rabb al-Amien), kata Hyang berarti Tuhan atau Dewa.
C. Hubungan Antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Agama Islam mengajarkan agar para
pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai
bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat,
shalat, puasa, zakat, dan haji. Intisari dari shalat adalah doa, oleh karena
arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan puasa
adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
Aspek doa dan puasa tampak mempunyai
pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang
Jawa.[13]
Menurut Geertz dan Koentjoroningrat mengemukakan,
berbagai upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup, antara lain :
1. Upacara
Tingkeban atau Mitoni
Yaitu ritual
pertama dari siklus kelahiran manusia, pada saat janin berusia tujuh bulan
dalam rahim ibu. Dalam upacara ini dipersiapkan sebuah kelapa gading yang
digambari wayang Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih supaya si bayi seperti sang
Dewa jika laki-laki dan seperti sang Dewi jika perempuan. Kemudian sang ibu
dimandikan oleh para ibu-ibu dengan air kembang setaman (air yang ditaburi
mawar, melati, kenanga, dan kantil) yang biasa dinamakan tingkeban.
2. Upacara
Kelahiran
Slametan pertama
yang berhubungan dengan lahirnya bayi dinamakan brongkohan. Dan saat anak diberi nama dan pemotongan rambut (cukur)
yang berumur tujuh hari yang disebut sepasar.
Dalam tradisi
Islam disebut dengan korban aqiqah (kekah) yang ditandai dengan penyembelihan
kambing dua ekor untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan.
3. Upacara
Sunatan
Upacara sunatan
ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Pelaksanaan khitan ini
merupakan perwujudan secara nyata tentang hukum Islam. Sunatan ini sering
disebut selam (nyelamaken) yang mengandung makna meng-Islamkan.
4. Upacara
Perkawinan
Upacara ini
dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang rumah tangga.
Upacara ini ditandai dengan pelaksanaan syari’at Islam yaitu akad nikah (ijab
qabul) dan diiringi dengan slametan.
Akad nikah ini
dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan
disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Sedangkan slametan ini dilakukan
dengan bertahap dari sebelum akad nikah, akad nikah dan sesudah akad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin).[14]
4.
Upacara Kematian
Upacara yang
dilaksanakan saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan
memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada akhirnya menguburkan jenasah ke pesarean (pemakaman). Selama sepekan
setelah penguburan diadakan tahlilan tiap malam hari yang dinamakan slametan mitung dino, yaitu kirim do’a
kepada si jenasah yang didahului dengan bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat pada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana budaya
Jawa, slametan ini dilakukan sampai mendaknya orang yang meninggal. Di samping
itu juga ada upacara nyadran yaitu upacara ziarah kubur pada waktu menjelang
bulan Ramadhan.
Selain dari beberapa upacara-upacara
tersebut, ada juga upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup yaitu upacara
atas kekeramatan bulan-bulan hijriyah dan upacara tahunan. Pada kekeramatan
bulan-bulan hijriyah ada upacara bakda besar, suran, saparan, rejeban, syawalan
(kupatan).
[1] Nourouzzaman Shiddiq, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: 1996, cet.1, hlm. 258
[2] M. Amin Rais, Islam di Indonesia, Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Rajawali, 1986, hlm.92
[3] M. Darori Amin, Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2000, hlm.119.
[4] Ibid, hlm. 120.
[5] Ibid, hlm. 121.
[6] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2005, cet.3, hlm. 438
[7] M. Darori Amin,op.cit, hlm. 121.
[9] M. Darori Amin, op.cit, hlm.123
[10] M. Darori Amin, op.cit,
hlm. 129.
[11] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 312-313.
[12] Ibid.
hlm.379-380
[13] Amin, Darori, op.cit,
hlm. 130.
[14] Ismawati, Keilmuan Islam di Pesisir Utara Jawa Abad ke 15-17, (Makalah
Stadium General IAIN Walisongo Semarang), 2005.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !