I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan dewasa ini banyak
masalah-masalah islam kontemporer yang disebabkan beberapa faktor, salah
satunya adalah faktor sosial. Ada sebagian individu yang
merasakan adanya ketidaksamaan dalam pemberian sikap masyarakat terhadap
dirinya sendiri yaitu orang yang berganti kelamin. Mereka yang melakukan hal
itu merasa tersudutkan karena masyarakat menganggap tindakan tersebut yang
dilakukan menurut asumsi mereka telah melanggar.
Banyak hal-hal tersembunyi dari hal tersebut yang
belum dipaparkan secara jelas mengapa dan bagaimana mereka melakukan hal yang
melanggar tersebut. Dari sinilah akar permasalahan mulai timbul dan
bagaimana solusi yang tepat untuk bisa menjadikan semua kehidupan masyarakat
berjalan seperti biasa tanpa adanya diskriminasi kepada mereka.
II. LANDASAN HUKUM
A. Al-Qur’an
Artinya:”
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”.
B. Al- Hadits
عَنْ عَبْدُاللهِ بْنُ مَسْعُوْدِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ:لَعَنَ اللهُ الوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ
وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنَ
الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ (رواه البخاري(
Artinya:”Dari Abdullah Bin Mas’ud berkata:Allah
SWT mengutuk para wanita tukang tato yang meminta di tato, yang menghilangkan bulu
mukanya, dan para wanita yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu
dikerjakan dengan maksud untuk kecantikandengan mengubah ciptaan Allah SWT”. (H.R Bukhori)[1]
C. Pandangan ulama’
Imam al-Qurthubi dalam
tafsirnya juz III, halaman 1963 mengatakan sebagai berikut:
قَالَ
أَبُوْجَعْفَرٍِ الطَّبَرِيُّ:حَدِيْثُ ابْنُ مَسْعُوْدٍِ دَلِيْلٌُ عَلىَ أَنَّهُ
لاَ يَجُوْزُ تَغْيِيْرُ شَيْءٍِ الَّذِيْ خَلَقَ اللهُ عَلَيْهِ بِزِيَادَةٍِ
أَوْنُقْصَانٍِ...إِلَى اَنْ قَالَ:قَالَ عِيَاضٌ:وَيَأَْتِى عَلَى مَا ذَكَرَهُ
أَنَّ مَنْ خُلِقَ بِأُصْبُعٍِ زَائِدَةٍِ أَوْعُدْوٍِ زَائِدٍِ لاَيَجُوْزُ لَهُ
قَطْعُهُ وَلاَنَزْعُهُ ِلأَنَّهُ مِنْ تَغْيِيْرِ خَلْقِ اللهِ،إِلاَّ أنْ
تَكُوْنَ هَذِهِ الزَّوَائِدُ مُؤْلِمَةًَ فَلاَ بأْسَ بِنَزْعِهَا عِنْدَ أَبِيْ
جَعْفَرٍِ وَغَيْرِهِ. (تفسير القرتبي ١٩٦٣/٣)
Artinya:”Abu Ja’far al-Thabari berkata, hadits
riwayat Ibnu Mas’ud adalah sebagai dalil tentang ketidakbolehan mengubah apapun
yang telah diciptakan oleh Allah SWT., baik menambah atau mengurangi ... Imam
Iyadh berkata, bahwa orang yang diciptakan dengan jari-jari berlebih atau
anggota tubuh yang berlebih, maka ia tidak boleh memotongnya ataupun
mencabutnya, karena yang demikian itu berarti mengubah ciptaan Allah SWT.
Kecuali jika kelebihan itu menyakitkan, maka boleh mencabutnya menurut imam abu
ja’far dan lainya. (Tafsir Qurthubi 3/1963)[2]
III. ANALISIS
Operasi kelamin adalah
pergantian jenis kelamin, bisa berupa perbaikan atau penyempurnaan kelamin
terhadap orang yang cacat kelamin, pembuangan salah satu kelamin (kelamin
ganda) atau operasi pergantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang
memiliki kelamin normal, sedangkan masalah kebingungan jenis kelamin atau yang
lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender
merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya
kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya
ketidak puasan dengan alat kelamin yang dimilikinya, transeksual dapat
diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan.[3]
Menurut MUI dalam musyawarah Nasional II tahun 1980 memutuskan fatwa:
1. Merubah jenis kelamin
laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya haram, karena bertentangan
dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 19 dan bertentangan pula dengan jiwa
syara’. Ayat Al-Qur;an yang dimaksud adalah: “... Mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S.
An-Nisa’:10)
2. Orang yang kelaminya diganti
kedudukan hukum jenis kelaminya sama dengan jenis kelamin semula sebelum
diubah.
3. Seorang khuntsa (banci) yang
laki-lakinya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakianya. Demikian pula
sebaliknya, dan hukumnya menjadi positif (laki-laki).[4]
Operasi yang boleh dilakukan
atau hukum melakukan operasi kelamin tergantung kepada keadaan kelamin luar dan
dalam misalnya apabila seseorang
punya organ kelamin dua atau ganda: penis dan vagina, maka untuk memperjelas
identitas kelaminnya, ia boleh melakukan operasi mematikan salah satu organ
kelaminnya dan menghidupkan organ kelamin yang lain yang sesuai dengan organ
kelamin bagian dalam contohnya yaitu seseorang mempunyai dua kelamin penis dan
vagina, dan disamping itu ia juga mempunyai rahim dan ovarium yang merupakan
ciri khas dan utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh dan disarankan untuk
mengangkat penisnya demi mempertegas identitas jenis kelamin wanitanya, dan ia
tidak boleh mematikan
vaginanya dan membiarkan penisnya karena berlawanan dengan organ bagian dalam
kelaminnya yakni rahim dan ovarium.Dan juga apabila seseorang punya organ
kelamin satu yang kurang sempurna bentuknya, misalnya ia memiliki vagina yang
tidak berlubang dan ia mempunyai rahim dan ovarium, maka ia boleh bahkan
dianjurkan oleh agama untuk operasi memberi lubang pada vaginanya, begitu juga
sebaliknya.
Operasi kelamin yang bersifat tashih
dan takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan pergantian jenis kelamin,
menurut para ulama dibolehkan menurut syariat. Bahkan dianjurkan sehingga
menjadi kelamin yang normal karena kelainan yang seperti ini merupakan suatu
penyakit yang harus diobati.[5]
Adapun konsekuensi hukum penggantian
kelamin adalah apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan
tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama
dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud
Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian
kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian
wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan
pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan
tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan
hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhubahwa jika selama ini penentuan hukum waris
bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa)
didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka
setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya
menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin
bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.[6]
[1] Majsfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta:
Masagung, cet2, 1991), hlm. 165-166
[2] Djamaluddin Miri, AHKAMUL FUQAH’
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes
Nahdlatul Ulama’(1926-2004), (Surabaya: Khalista), hlm. 334
[3] http://shofazakiya.blogspot.com/2011/06/makalah-transgender-dan-operasi-kelamin.html, sabtu, 24-11-2012, pukul 20.52
[4] Ma’ruf Amin, Himpunan Fatwa Majelis
Ulama’ Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 605
[5] http://shofazakiya.blogspot.com/2011/06/makalah-transgender-dan-operasi-kelamin.html,
sabtu, 24-11-2012,
pukul 21.05
[6] http://politikislam123.wordpress.com/2010/11/04/transgender-operasi-kelamin-dalam
pandangan-islam/, sabtu, 24-11-2012, pukul 21.24
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !