I.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk sosial yang
notabenenya mengharuskan seseorang manusia itu untuk menolong manusia yang
lain, apalagi itu terkait dengan masalah nyawa. Tentunya hal itu dilakukan
sesuai dengan kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun. Tranfusi darah
merupakan salah satu wujud kepedulian kita kepada sesama manusia. Secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor
darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun
dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini perlu ditentukan status
hukumnya atas dasar kajian ilmiah. Masalah transfusi darah adalah masalah baru
dalam hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa
pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam,
tidak menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah
ijtihadi guna menjawab permasalahan mengenai hubungan pendonor dengan
resepien, hukum menjual belikan darah dan hukum transfusi darah dengan orang
beda agama, karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode
istinbath atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam.
II. LANDASAN HUKUM
A. Al-Qur’an
Artinya:”Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al-Baqarah 173)
B. Al-Hadits
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمْ الطَّيْرُ
فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا فَقَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَدَاوَى فَقَالَ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ (رواه ابي داوود)
Artinya:”
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An Namari telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari Usamah bin Syarik ia berkata,
"Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para
sahabatnya, dan seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung. Aku kemudian
mengucapkan salam dan duduk, lalu ada seorang Arab badui datang dari arah ini
dan ini, mereka lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah boleh kami
berobat?" Beliau menjawab: "Berobatlah, sesungguhnya Allah 'azza
wajalla tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali
satu penyakit, yaitu pikun." (H.R Abu Dawud)
C. Pandangan Ulama’
Berdasarkan kaidah hukum Fiqh
Islam yang berbunyi:
لامل فى لاشياء الاباحة حتىّ يدل الدّليل
على تحريمها
Artinya: Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya
kecuali kalau ada dali yang mengaramkannya.
III. ANALISIS
Perkataan
tranfusi darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “Blood Transfusi“, kemudian
diterjemahkan oleh dokter Arab menjadi نقل الدم للعلاج (memindahkan darah karena kepentingan medis).[1]
Lalu Dr.Ahmad
Sofian mengartikan tranfusi darah dengan istilah “pindah-tuang darah”
sebagaimana rumusan definisinya yang berbunyi: ”pengertian pindah-tuang darah
adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan
ditolong”.[2]
Tranfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya kemahraman antara pendonor
dan resipien.sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah
ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat
23:
Artinya:”Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang
perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.[3]
Masalah transfusi darah
tidak dapat dipisahkan dari hukum menjual belikan darah sebagaimana sering
terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk
darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim
dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia,
seperti kotoran hewan untuk keperluan pupuk. Menurut madzhab Hanafi dan
Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya
seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual
beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama
manusia, yang memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat
adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk
barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia
yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena
bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan
semata, guna menyelamatkan
jiwa sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam hadist Ibnu Abbas ra : “Sesungguhnya
jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan
haramkan harganya."[4]
Persyaratan dibolehkannya tranfusi darah
itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi karena adanya
kaidah-kaidah hukum Islam sebagai berikut:
1.
الضرريزالArtinya bahaya
itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus dihindari
dengan berobat dan sebagainya.
2.
الضرر لايزال بالضرر Artinya bahaya itu tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya lain [lebih besar bahayanya] .misalnya seorang yang
memerlukan tranfusi darah karena kecelakaan lalu lintas, atau operasi, tidak
boleh me-nerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatang-kan
bahaya yang lebih besar/berakibat fatal.
3.
لاضرر ولا ضرار Artinya
tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula
membuat mudarat kepada orang lain, misalnya seorang pria yang impotent atau
terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh.[5]
Apabila terdapat padanya maslahat dan
tidak menimbulkan kemudharatan yang dapat membahayakan dirinya, maka donor
darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala dan keutamaan,
sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. QS 99:78, “Barangsiapa yang beramal
dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan barangsiapa yang
beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan melihatnya”.
Hukum fikih sangat terkait dengan
praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan,
berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu
'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati
terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)”. Sebagaimana dalam
sebuah hadis seorang wanita pada masa bani Israel masuk surga karena memberi
minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada
orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua
,mahramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait
dengan af'al bukan dengan zawat. Didalam mendefenisiikan hukum ulama
mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan
pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru).[6] Penerima sumbangan darah
tidak disyari’atkan harus sama dengan donor darahnya mengenai agama atau kepercayaan,
suku bangsa dan sebagainya. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah
termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh
islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah :
Artinya:“Dan barang siapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara
kehidupan manusia semuanya” (Q.S. Al-Maidah : 32),
Firman Allah :
Artinya:"Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah : 8).
Secara umum, ayat ini
menerangkan begitu pentingnya toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnul Ishak
dalam “sirahnya” dan juga Ibnul Qoyyim dalam “Zaadul Ma’ad” adalah ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah
60 orang. Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah
Al-Qomah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin
mengenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat. Benarkah Muhammad itu
seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran Islam itu.
Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang berbagai masalah
agama.Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar.
Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara
mereka. Para sahabatpun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Biarkanlah mereka !” maka mereka pun
menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan
bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng,
pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni..
Peristiwa di atas menunjukan
toleransi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemeluk agama lain.
Walaupun dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
utusan Najran itu tidak ada “kese-pakatan” karena mereka tetap menganggap bahwa
Isa adalah “anak Tuhan” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang
teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah
manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam beberapa hari.
Jadi boleh saja
mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang kafir begitupun sebaliknya,
demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab, Allah
sebagai Khaliq alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia.[7]
[1]
.Mahjuddin , Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini (Jakarta:
Kalam Mulia, 2005), hlm. 89
[2] Ahmad Sofyan, Ilmu Urai Tubuh Manusia,
(Jakarta: Teragung, 1962), hlm. 103
[3]
Al-Suyuti, Al-ASybah wa al-Nadzair fial-furu’, vol I, Mesir, Mathba’ah
Mushtafa Muhammad, 1936, hal.3-4
[4] http://mizan-poenya.blogspot.com/2010/08/makalah-donor-darah-dalam-perspektif.html, selasa, 12-10-2012, pukul 20.56
[5]
Al-Suyuti, Al-ASybah …, hal.59-61
[6] Al-Suyuti, Al-ASybah …, hal.51
[7] http://mizan-poenya.blogspot.com/2010/08/makalah-donor-darah-dalam-perspektif.html, selasa, 12-10-2012, pukul 21.16
trimakasih atas infonya...
ReplyDeleteminta izin copas buat tugas... sukses selalu...
Mantap makasih min atas infonya ini sangat bermanfaat sekali bagi umat manusia
ReplyDeleteIni bagus dan lengkap terimakasih yaa
ReplyDelete