I.
PENDAHULUAN
Nyanyian
dan musik adalah jenis hiburan yang dapat menghibur hati lara, mengurangi
kepenatan, menyejukkan telinga dan dapat mengendurkan urat-urat yang kaku,
serta dapat mendorong semangat kerja yang lebih baik.[1]
Musik dan nyanyian merupakan masalah yang pernah dipersoalkan hukumnya
dikalangan ulama. Ada ulama yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan
orang Islam mempelajari, memainkan, dan mendengarkan musik dan nyanyian.
Ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian mengemukakan alasan antara lain
ialah, bahwa musik dan nyanyian itu adalah jenis hiburan, permainan, atau
kesenangan yang bisa membawa orang lalai atau lengah dari melakukan kewajiban- kewajibannya,
baik terhadap agama, misalnya shalat : terhadap diri dan keluarganya, seperti
lupa studinya atau malas mencari nafkah: maupun terhadap masyarakat dan negara,
seperti mengabaikan tugas organisasinya atau tugas negara.
Namun demikian, dalam makalah ini akan
dijelaskan sacra singkat berkaitan hukum kontes ratu kecantikan, apa saja
landasan hukum yang dipakai, bagaimana pandangan para ulama tentang hukum
kontes ratu kecantikan dan bagaimana analisanya.
II.
LANDASAN HUKUM
A. Al Qur’an
‘’Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS.
Ali Imran :14)
“
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki
dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah
mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan
tipuan belaka”.(QS. Al-Israa’:64)
B. Hadits
عن أبي هريرة رضى الله تعالى
عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن
يمتلئ شعرا
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik
salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak
perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].
لَيَشْرَبَنَّ
انُاَسٌ مِنْ اُمَّتِيْ الخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اِثْمِهَا يَعْزِفُ
عَلَى رُؤُسِهِمْ بِالْمَعَارِفْ وَالْمُغَنِيَاتِ يَحْسَفُ اللهُ بِهِمْ الاَرْضَ
وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ الْقِرْدَةَ وَالخْنَاَزِيْرُ (رواه ابن ماجه)
“ Sesungguhnya akan ada beberapa orang dari
umatku minum arak, mereka namakan dengan nama lain nyanyian-nyanyian, maka
Allah akan tenggelamkan mereka kedalam bumi dan akan menjadikan mereka itu
seperti kera dan babi (H.R. Ibnu Majah)
عَنْ عَائِشَةَ
اَنَّ اَباَ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ
فِي اَياَّمِ مِنىَ (فِي عِيْدِ الْاَضْحَى) تَغْنِيَانِ تَضْرِباَنِ وَالنَّبِيُ
مُغْتَشٌ بِثَوْبِهِ فَانْتَهَى هُمَا اَبُوْ بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَنْ وَجْهِهِ وَقَالَ دَعْهُمَا يَااَبَا بَكْرٍ فَاِنَّهَا
اَياَّمُ عِيْدٍ (متفق عليه)
“Dari
aisah, sesungguhnya abu bakar pernah masuk kepadanya (rumahnya) sedang
disampingnya ada dua orang gadis sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari
mina (idul adha) dan nabi menutup muka dengan kainnya (pakaiannya), maka
keduanya gadis itu di usir oleh Abu Bakar kemudian nabi membuka wajahnya dan
berkata.” biarkan mereka itu hai abu bakar ! sebab hari ini adalah hari
bersenang-senang (H.R Bukhori dan muslim).[2]
C. Pandangan Ulama
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan
diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (orang) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu sebagai olok-olokan mereka itu akan mendapat siksaan yang hina (QS. Lukman:6)
لهو الحديث pada
ayat diatas adalah segala obrolan, ketawa, khurafat, nyanyian dan sejenisnya
yang dapat memalingkan dari ibadah dan mengingat Allah.
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ الله ُعَنْهَا اِنَّهَا زَفَّتِ امْرَاَةٍ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْاَنْصَارِ
فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: يَا عَائِشَةُ: مَاكَانَ مَعَهُمْ
لَهْوٌ؟ فَاِنَّ الْاَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوَ (رواه البخاري)
“ Dari Aisah ra. Bahwa ketika dia menghantar
pengantin perempuan ke tempat laki-laki ansor, maka nabi bertanya: hai aisah! Apakah mereka ini disertai
dengan suatu hiburan ? sebab orang-orang ansor gemar sekali terhadap hiburan.”
(Riwayat Bukhori)[3]
Dari penelitian berjudul “Studi
pemikiran DR. Abdul Muhaya M.A tentang bersufi melalui musik ditinjau dari
perspektif pendidikan Islam” dapat simpulkan sebagai berikut:
1. Syarat
utama untuk melakukan bersufi melalui musik adalah mahabatu ilaa Allah ( Cinta
kepada Allah), yaitu hati mereka telah suci, badan mereka terlepas dari hal-hal
yang sensual, kondisi batin mereka telah bebas dari keinginan duniawi, dan
mereka ingin memperoleh maqamat dan ketauhidan cahaya rohani melalui
sinyal-sinyal Illahiyah. Karena tanpa hal ini masyarakat awam dengan mudah
terjerumus pada hawa nafsu, sehingga dengan mudah akan melalaikan Allah.
Statemen ini menunjukkan bahwa sasaran Bersufi melalui musik adalah menangkap
sasaran Illahiyah yang terdapat dalam sya’ir melalui mata hati yang penuh kecintaan
dan kerinduan kepada Allah. Karena sya’ir dari segi komposisi, pesan, dan
bacaannya, secara psikologis dapat mempengaruhi jiwa pendengarnya.
2. Keterkaitan
Musik bagi pendidikan adalah sebagai bentuk instrumen pembantu dalam rangka
ikut serta membangun pendidikan siswa. Dengan apresiasi musik secara tepat,
siswa diharapkan mampu menangkap unsur- unsur estetika yang terkandung dalam
musik, yang pada akhirnya diharapkan dapat membantu memperluas perasaan siswa
untuk diterapkan pada kehidupan sehari- hari. Unsur utama yang mempengaruhi
proses belajar adalah keadaan dan strategi. Dan yang ketiga adalah isi. Keadaan
menciptakan suasana yang tepat untuk belajar. Strategi menunjukkan gaya atau
metode dalam pembelajaran. Isi adalah topiknya. Dalam setiap pelajaran yang
baik dan anda akan mendapatkan ketiganya.[4]
III.
ANALISIS
Perlu dicatat bahwa lantunan
syair yang dikenal di jaman Rasulaullah shallallaahu ’alaihi wasallam sangatlah
berbeda dengan nyanyian [al-ghina’
atau as-simaa’]. Imam Ahmad
Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful-Qina’
halaman 47 : Al-Ghina’ secara bahasa
adalah meninggikan suara ketika bersya’ir atau yang semisal dengannya (seperti
rajaz secara khusus). Di dalam Al-Qamus (halaman 1187),
al-ghinaa’ dikatakan sebagai suara
yang diperindah.
Para ulama telah membagi al-ghina’ menjadi dua :
1.
Nyanyian yang seperti kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari
dalam perjalanan, pekerjaan, mengangkut beban,
dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan
bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi. Contoh yang
pertama ini di antaranya adalah al-hida’,
lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis
atau rengekan buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam
sendau-gurau permainan mereka, wallaahu a’lam [Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan Kasyful-Qina’
halaman 47-49]. Disebutkan oleh para ulama bahwa jenis pertama ini selamat atau
bersih dari penyebutan kata-kata keji dan hal-hal yang diharamkan. Ringkasnya,
nyanyian – atau lebih tepatnya syair (karena lebih mirip kepada syair) –
seperti ini adalah diperbolehkan.
2. Nyanyian yang
dilakukan oleh penyanyi laki-laki atau perempuan, artis, dan yang semacamnya
yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama – sebagaimana lazim ada di
jaman sekarang) suatu lagu, dari rangkaian syair; kemudian mereka
mendendangkannya dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan
menyentuh hati, membangkitkan gejolak, serta menggairahkannya. Nyanyian jenis kedua inilah yang
diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga
kelompok : mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya.
Khilaf yang terjadi dalam nyanyian jenis kedua di atas, yang paling rajih
adalah pendapat yang mengharamkannya atau minimal membencinya (makruha)
–untuk ditingggalkan. Apabila diiringi oleh alat musik, maka ini lebih jelas
dan kuat keharamannya.[5]
[1] H. Hasar
Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 1994), hal.103.
[2] M. Ali
hasan . Masail Fiqhiyah, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1996),.hal. 156.
[3] H. Nazar
Bakeri, Problematika
Pelaksanaan..., hal. 412.
[4] http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-2006-abdulmughi-159. Rabu,
19 Desember 2012, Pukul 09.17.
[5] http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-2.html, jum’at 30 november 2012, Pukul 15.30
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !