I.
PENDAHULUAN
Membahas
tentang pendidikan tak ada habisnya, sepanjang sejarah pendidikan selau
berkembang sesuai dengan kebutuhan para penikmatnya. Dalam perkembangannya
tersebut tidak selalu berjalan mulus sebagaimana mestinya, selalu ada hal-hal
yang menghambat kemajuan di bidanag pendidikan.
Bukan
hanya pendidikan pada umumnya yang banyak mengalami problematika, hal tersebut
juga terjadi dalam pendidikan islam di era global ini.
Oleh
karena itu dalam makalah ini akan diulas mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan masalah problematika
pendiddikan islam di era global.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai
hakikat pendidikan islam dan globalisasi, problematika pendidikan islam
di era global, solusi pendidikan islam di era global dan orientasi pendidikan
islam di era global.
III. PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Islam dan Globalisasi
1.
Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses
mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif
dan efisien. Sedangkan Pendidikan Islam
menurut para tokoh ialah sebagai berikut :
Pertama, menurut Ahmadi
mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah
manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh
Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam
jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan
jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi
tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat
jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan
dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama
pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.[1]
2.
Dasar-dasar
Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi
dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a.
Al
Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt.
Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab guna menjalankan
jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin),
baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk (
Hudan ) ditunjukkan dalam firmanNya :
ان هذا القرأن يهدى للتى هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين
يعملون الصلحت أن لهم أجرا كبيرا
Artinya :
Sesungguhnya Al Quran ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar, (Al Israa’ ayat 9)
Pelaksanaan pendidikan islam
harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al Qur’an. Dengan
berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an – teruatama dalam
pelaksanaan pendidikan islam – umat islam akan mampu mengarahkan dan
mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai
esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.[2]
b.
Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain
adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an,
sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya.
Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan
keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang tidak terdapat
didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.[3]
c.
Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas
dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar senantiasa
sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat. Sementara
disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah
sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah
yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk selalu
berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan
zaman dan kemajuan IPTEK.[4]
3.
Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil
al-Jamaly, tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan
posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan
tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai
makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3)
menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah
penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya
dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[5]
4.
Hakikat
Globalisasi
Globalisasi secara harfiah
berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Menurut A. Qodry
Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan
nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi,
transformasi, dan informasi yang merupakan hasil modernisasi di bidang
teknologi.
Proses global ini pada hakikatnya
bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas,
mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk
pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.[6]
B. Problematika Pendidikan Islam di
Era Global
Pendidikan Islam diakui
keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama,
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam
secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya
pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat
dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value)
yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan.[7]
Walaupun demikian, pendidikan
islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua
faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
a.
Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan
pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat
dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi
dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara
lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat
ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana
dengan baik.
Orientasi pendidikan,
sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era
sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat
adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini
patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif,
dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan
yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan
cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan,
kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan
social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[8]
b.
Masalah
Kurikulum
Sistem sentralistik
terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan
pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system
yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang
kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar
menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang
dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot.
Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada
praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah
kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan.
Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[9]
Dalam realitas
sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan
dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk
mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir
tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan
kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai
islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan
islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga
menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum
pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan
menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari
para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan
Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.[10]
c.
Pendekatan/Metode
Pembelajaran
Peran guru atau dosen
sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam
mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan
suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang
kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai).
Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul
dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa
bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta
pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun
siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya.
Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa
masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti
ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk
berfikir.
d.
Profesionalitas
dan Kualitas SDM
Salah satu masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah
profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara
kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup
memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi
harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified,
dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan
menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[11]
e.
Biaya
Pendidikan
Faktor biaya
pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN
dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi.
Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun
2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor Eksternal
a.
Dichotomic
Masalah besar yang
dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu
antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara
Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah
berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan.
Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan
menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi
untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b.
To
General Knowledge
Kelemahan dunia
pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu
general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah
(problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan
kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas
menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan
non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu
untuk melihat konsekuensinya.
c.
Lack
of Spirit of Inquiry
Persoalan besar
lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya
semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk
kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani,
Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi
salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d.
Memorisasi
Rahman menggambarkan
bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang
berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena
jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang
diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek
tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini
pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual
daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan
untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang
sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya
menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang
pada dasarnya orisinal.
e.
Certificate
Oriented
Pola yang
dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan
semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh,
penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai
tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik
para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge
oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir
tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama
encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan
dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan
kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate
oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan
sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati
prioritas berikutnya.[12]
C. Solusi Pendidikan Islam di Era
Global
Pendidikan memiliki keterkaitan
erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi
yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi,
indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan
menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga
para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global
demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang
memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara
alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung
jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami
masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun
penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan
global.[13]
Selain itu, program pendidikan
harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat
memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok
menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis
dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya.
Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu
industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari
struktur sosial dan sistem keagamaannya.[14]
Berbagai macam tantangan tersebut
menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam
untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus
diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam
seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah
dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti
at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan
memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib al-bashar wa
al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan
(cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat
sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta
mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif
guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.[15]
D. Orientasi Pendidikan Islam Di Era
Global
Menurut Ahmad Tantowi, dengan
adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut
ialah sebagai berikut :
1.
Pendidikan
Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam
harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga
dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan faktor-faktor
sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran
tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa
melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah
sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi
sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.
2.
Pendidikan
Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses Humanisasi
dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai
makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang
ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan
(ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
3.
Pendidikan
Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan
domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era globalisasi ini.
Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya
masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri
ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian
kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat
luas, termasuk kalangan pelajar.
Bagi pendidikan
Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab
akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi
budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi
pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan
kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa
mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam
institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.
Pembinaan akhlak
sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah
sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat
ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.[16]
[1]
Isma’il SM, Strategi Pembelajaran
Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan, (Semarang : Rasail, 2008), Cet. I, hlm. 34-36
[2]
Ahmad Tantowi, Pendidikan
Islam di Era Transformasi Global, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet.
I, hlm. 15-16
[3]
Ibid., hlm. 17
[4]
Ibid., hlm. 21
[5]
Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta :
Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hlm. 36-37
[6]
Ahmad Tantowi. hlm. 47-49
[7]
Haidar Putra Daulay,
Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Cet.
I, hlm. 44-45.
[8]
Musthofa Rembangy,
Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah
Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II, hlm. 20-21
[9]
Haidar Putra Daulay,
Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2004), Cet. I, hlm. 205-208
[10]
Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11
[11]
Musthofa Rembangy, hal. 28
[12]
Abdul Wahid, Isu-isu
Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang : Need’s Press, 2008), Cet. I, hlm.
14-23
[13]
Zamroni, Paradigma Pendidikan
Masa Depan, (Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000) Cet. I, hlm. 90-91.
[14]
Abdul Wahid, hlm. 27-28
[15]
Muhaimin, Nuansa Baru
Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 86-89
[16]
Ahmad Tantowi, Op. Cit.,
hlm. 90-104
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !