Headlines News :
Home » » METODOLOGI PENGEMBANGAN MORAL DAN DISIPLIN

METODOLOGI PENGEMBANGAN MORAL DAN DISIPLIN

Written By Figur Pasha on Monday, March 18, 2013 | 10:19 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.     PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia di kenal sebagai bangsa yang beraneka ragam budaya, bahasa, suku terlebih lagi bangsa Indonesia juga di kenal sebagai Bangsa yang beradab dan mempunyai moral yang baik tehadap sesama, namun ironisnya melihat realita sekarang semakin tahun Moral Bangsa kita sudah mulai luntur dan bisa dimungkinkan lama kelamaan Bangsa kita dikenal oleh bangsa lain sebagai Bangsa yang tidak mempunyai Moral.
Sudah kita ketahui bahwasanya pendidikan anak usia dini di dunia yang berkembang sudah berjalan cukup lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat, namun di Negara kita berjalan belum cukup lama, tapi setidaknya sudah mulai mengikuti perkembangan-perkembangan di Negara maju. Ini sebagai upayah pemerintah agar anak bangsa bisa mempersiapkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga membekali peserta didik dengan moral dan disiplin yang baik, selanjutnya tujuan dari pada pemerintah yakni membekali anak usia dini agar ketika manjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan bisa lebih cepat dan mudah karna sudah adanya bekal sejak  kecil.

II.     RUMUSAN MASALAH
A.       Konsep Dasar Moral dan Disiplin Anak Usia Dini
B.       Tahapan Perkembangan Moral
C.       Disonansi Moral
D.      Pendekatan dan Teori Perkembangan Moral
E.       Strategi dan Contoh Penysunan dan Perencanaan Penanaman Serta Pengembangan Moral dan Disiplin
F.        Alat Penilaian Dalam Pengembangan Moral dan Disiplin pada Anak Usia Dini

III.            PEMBAHASAN
A.      Konsep Dasar Moral dan Disiplin Anak Usia Dini
Moral merupakan suatu kebiasan yang dilakukan setiap individu baik moral yang baik atupun buruk. Moral berasal dari bahasa latin ”Mores” yang berarti tata cara, kebiasaan dan adat. Prilaku sikap moral mempunyai arti prilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial yang di kembangkan oleh konsep Moral. Yang dinamakan konsap moral ialah peraturan prilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pada prilaku yang diharapkan dari masing-masing anggota kelompok.
Menurut Piaget, hakikat Moral ialah kecenderungan menerima dan menaati system peraturan. Selanjutnya ada pendapat lain seperti yang dikatakan oleh Kohlberg mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak di bawa dari lahir, akan tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dipelajari. Perkembangan Moral merupakan proses internalisasi Nilai atau Norma masyarakat sesuai dengan kematangan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupanya.  Jadi perkembangan Moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik atau buruk dan benar atau salah, dan faktor afektif yaitu sikap atau Moral itu di praktekan.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengamanatkan dilaksanakanya pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini, yakni sejak anak dilahirkan. Disebutkan secara tegas dalam UU tersebut bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan dengan cara pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan jasmani dan rohani agar anak mempunyai kesiapan untuk kejenjang yang lebih lanjut. Saya memberikan stetmen dalam pendidikan Rohani disini bisa juga pendidikan moral yang artinya moralitas yang baik sesama manusia.[1]
Contoh dari penerapan disiplin pada anak usia dini, misalnya: ada seorang anak perempuan kecil berusia 4 tahun. Ia menangis berguling-guling di lantai karena mengantuk dan meminta meminum susu sambil teriak keras memanggil Ibunya. Dan ibunya seolah-olah tidak menghiraukan tindakan anaknya itu. Karna Ibunya telah memerintahkan anaknya sehabis bermain dan sebelum minum susu cuci tangan terlebih dahulu, baru minum susu. Namun, anaknya menginginkan Ibunya yang mencucikan tangannya” kamu sudah bisa cuci tangan sendiri,” bentak Ibu. Anak itu semakin keras menangisnya dan meronta, membuat keributan dalam rumah tersebut. Sewaktu anak berteriak keras, ibu menariknya kekamar mandi untuk diguyur hingga basah kuyup lalu anak itu ditinggal ibunya untuk membereskan rumah. Dengan terseduh-seduh anak tersebut melepaskan bajunya yang basah dan mengambil handuk, mengeringkan badanya sendiri, kemudian dia naik keranjang dan tertidur pulas. Pada waktu bangun ia berkata pada Ibunya,”Ibu, saya mau minum susu!” jawab Ibu,” baik nak, sebelum minum susu, makan dulu yah’ pasti kamu lapar. Ibu ambilkan makan dan makanlah sambil melihat akuarium.”
Ternyata, dengan berlaku demikian, Ibu anak trsebut sedang mengadakan percobaan mengajarkan disiplin kepada anaknya menurut caranya sendiri. Apabila disekolah anak tersebut maunya menang sendiri, bila berbaris tidak mau menuruti aturan, dia selalu teriak minta paling depan, padahal harus bergantian dengan temanya. Namun, guru dengan cara memberi aba-aba untuk balik arah dengan sendirinya anak tersebut berada pada posisi paling belakang.[2]

B.       Tahapan Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg ada tiga tahapan perkmbangan:
1.    Tingkatan tahapan Prokonvensional
dimana aturan ini berisi tentang ukuran Moral yang di buat otoritas oleh lembaga terkait, pada tahapan perkembangan ini anak –anak tidak akan melanggar ketentuan yang berlaku di lembaganya, di karnakan merasa takut  atas ancaman dan hukuman yang telah di tentukan oleh lembaganya, sehingga anak secara tidak sadar di tuntut untuk melaksanakan peraturan dan takut melakukan larangan yang ada imbasnya anak akan selalu melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek.
Tingkatan yang pertama ini di bagi dua (2) tahap lagi:
· tahap orientasi terhadap kepatuhan dan  hukuman: pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada ini di tentukan oleh adanya kekuasaan yang mana tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun. Jadi dalam tahapan ini mau atau tidak harus mentaati peraturan yang ada, di karnakan kalau tidak anak akan mendapatkan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang di lakukan.
·           Tahap Relativistik hedonosme: pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada peraturan yang berlaku diluar dirinya yang di lakukan oleh orang lain yang mempunyai otoritas. Jadi dalam hal ini anak sudah memulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (Relativisme ) orang yang membuat peraturan dan kesenangan seseorang.
2.    Tingkatan tahap Konvensional: dalam hal ini anak dituntut untuk mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama-sama agar dia mau diterima di kelompok sebayanya.
Kelompok ini tediri dari dua (2) tahap:
Ø   Tahap Orientasi mengenai anak yang baik: dalam tahapan ini anak mulai memperlihatkan orientasi terhadap perbuatan yang di nilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau sekitarnya. Sesuatu dikatakan baik dan banar apabila segala sikap dan prilaku atau perbuatanya dapat di terima oleh orang lain atau sekiternya.
Ø   Tahapan mempertahankan Norma sosial dan otoritas : pada tahapan ini anak anak mulai menunjukan perbuatan yang benar bukan hanya agar supaya diterima oleh lungkungan  atau sekitarnya saja akan tetapi juga bertujuan agar supaya dirinya dapat ikut serta mempertahankan aturan dan norma atau nilai social yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab Moral untuk melaksanakan peraturan yang ada.
3.    Tingkatan tahapan pasca Konvensional: pada tahapan ini anak mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkatan ini juga terdiri dari dua (2) tahap:
§    Tahap Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahap ini ada hubungan timbale balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Jadi dalam tahap ini anak akan menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab atas dirinya dalam menjaga keserasian hidupnya di sekitarnya.
§    Tahapan Universal: pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat  subyektif ada pula norma etik ( baik atau buruk, benar atau salah ) yang bersifat unifersal sebagai sumber menentukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Perkembangan sosial dan moral yakni suatu proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain baik sebagai indifidu maupun kelompok.[3]
Akan tatapi menurut J.Buul perkembangan moral dibagi menjadi empat(4) yaitu:
1)         Tahap anomi
Ketidak mampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap di kembangkan dalam lingkungan. Artinya bayi lahir dalam keadaan fitrah ( mempunyai potensi ) yang selalu siap untuk di kembangkan. Jadi tergantung yang mau member warna kehidupan,sikap,prilaku,moral yang akan di tanamkan sejak dini pada dirinya.
2)        Tahap heteromoni
Dimana moral yang berpotensial dipacu berkembang orang lain atau otoritas melalui aturan dan kedisiplinan. Artinya dengan bantuan orang lain baik keluarga maupun lingkungan itu yang akan memacu perkembangan moralnya.
3)        Tahapan Sosionami
Dimana moral berkembang di tengah sebaya atau dalam masyarakat, mereka lebih menaati peraturan kelompok daro pada yang bersifat otoritas.
4)        Tahap Otonomi
Tahapan ini mengenai tantang moral yang mengisi dan mengendalikan kata hatinya sendiri serta kemampuan bebasnya untuk berprilaku tanpa campur tangan orang lain atau lingkungan.
Ada pendapat yang mengatakan anak dilahirkan itu membawa fitrah keagamaan. Fitra itu baru berfungsi dikemudan hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. [4]disamping itu perkembangan anak pada usia dini ditandai dengan aspek moralitas heteronom, tetapi pada usia 10 tahun mereka beralih kesuatu tahap yang perkembanganya lebih tinggi yang disebut dengan moralitas otonom.[5]

C.      Disonansi Moral
Pada hakikatnya posisi anak sebagaimanusia pada umumnya memiliki tiga macam tanaga dalam ( yang ada pada unsure pesikis ) keberadan tenaga dalam itu akan memberikan pengaruh pada dirinya untuk melakukan berbagai kegiatan/aktifitas baik berupa sifat positif maupun yang negative. Dorongan dari ketiga tenaga dalam inilah yang perlu dicermati oleh para guru. Motifasi terhadap para peserta didik untuk menentukan dan mengarahkan anak didik pada kegiatan positif. Kegiatan akan sangat berarti bagi peserta didik apabila mampu membuahkan hasil adanya perubahan sikap dan prilaku kearah yang positif. Ketiga tenaga dalam itu menurut istilah psikiligi dikenal dengan: Id, Ego, dan super Ego.
v  Id adalah suatu dorongan yang bersal dari dalam diri seseorang untuk mendahulukan rasa, enak, mencapai kenikmatan dan nafsu belaka
Sikap semacam ini mempunyai kecenderungan anak-anak bersikap instan dalam meraih kehidupan
v  Ego adalah ibarat suatu dorongan/tenaga dalam yang berasal dari jiwa seseorang yang berfungsi menyeimbangkan kemauan dari Id dengan mencoba mengarahkan dorongan tersebut dalam kenyataan hidup
v  Super Ego adalah dorongan atau tenaga dalam yang berfungsi sebagai alat control terhadap suatu dorongan yang berasal dari kemauan Id . control dari Super Ego disini berasal dari ajaran Agama, moral atau norma yang diajarkandan di terima manusia.
Suatu contoh ilustrasi untuk memahami istilah tersebut: ketika seorang anak seusia taman kanak-kanak disuruh mandi soere oleh Ibunya, ia akan tetap menginginkankan agar dirinya tetap bermain tidak perlu mandi, ini ( Id ). Kemudaian Ibunya menasihati dengan mengutip ucapan Ibu guru di TK bahwa untuk menjaga kesehatan kita harus mandi ( Super Ego ) kemudian anak tersebut melihat teman-teman sebayanya sudah pada mandi tinggal dia sendiri yang belum ( Ego ) maka disitulah peran orang tua atau guru untuk senantiasa mengarahkan segala sesuatu yang timbul dari anak kearah yang positif dengan pendekatan pendidikan. Dalam teori penanaman moral dan etika disini bisa di kenal sebagai istilah Disonansi Moral.

D.      Pendekatan dan Teori Perkembangan Moral
seperti yang dikemukakan oleh Kohlberg dan Piaget menunjukan bahwa sikap dan prilaku moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi oleh sebab akibat dari aktivitas spontan yang di pelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkunganya.
Selain perkembangan Moral, dalam mempelajari pola perkembangan Moral yang berkaitan dengan ketaatan mematuhi suatu peraturan yang berlaku Universal, [erlu dibahas pula mengengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata “Disciple” yang berarti seseorang yang belajar dari dirinya sendiri atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin sangat diperlukan salah satunya untuk membentuk prilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok budaya atau tempat orang tersebut menjalani kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berprilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat lingkungan sekiternya. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendalian prilaku dengan menggunakan hubungan secara Permisif atau Laissezfaire melalui kebebasan yang di berikan terhadap anak tanpa adanya suatu hukuman atau bersifat demokratis melalui penjelasan,diskusi dan penalaran mengenai peraturan yang berlaku. Artinya anak di kasih penjelasan dan arahan serta di beri tahu maksud dan tujuan yang tercantum dalam peraturan sehingga anak mampu mengerti tentang apa yang di harapkan oleh lembaga terkait.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut:
a)    peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk berprilaku dimana anak itu tinggal.
Mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang akan diikuti dan ditaati anak dan juga membantu mengekang prilaku yang tidak diinginkan.
b)   Hukuman akan diberikan apabila anak melakukan kesalahan atau bertindak yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat dimana dia hidup. Hukuman yang menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan atau tidak sesuai, mendidik anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk tidak berprilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
c)    Penghargaan diberikan apabila anak telah melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang berlaku, mendidik anak dan memotifasi anak agar mengulangi prilaku yang baik dan benar sesuai dengan harapan masyarakat.
d)   Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin  sehingga tidak membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar atau salah, baik atau buruk . disiplin dapat barmanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap prilaku, menimbulkan kepekaan atas sikap yang baik, benar dan adil serta mempengaruhi kepribadian anak dimana sikap prilaku disiplin merupakan bagian yang terInternalisasi pada anak secara keseluruhan.

E.       Strategi dan Contoh Penysunan dan Perencanaan Penanaman Serta Pengembangan Moral dan Disiplin .
program pembentukan prilaku pada anak usia dini merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada pada kehidupan anak ditaman kanak-kanak. Melalui program ini anak-anak diharapkan dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan disiplin. Pembentukan prilaku melalui pembiasaan yang dimaksud meliputi pembentukan moral agama, Pancasila, perasaan/emosi, kemampuan masyarakat, dan disiplin. Tujuan dari program pembentukan prilaku adalah mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan prilaku yang didasari oleh nilai-nilai agama dan Pancasila. Kompetensi dan hasil belajar yang ingin dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama. Penyusunan strategi dalam pengembangan moral anak usia dini yang berdasarkan  kurikulum berbasis kompetensi dan menu pembelajaran anak usia dini memiliki substansi ruang lingkup kajian sebagai berikut:
1.         Latihan hidup tertib dan teratur
2.         Aturan dalam melatih sosialisasi
3.         Menanamkan sikap tenggang rasa dan toleransi
4.         Merangsang sikap berani, bangga dan bersyukur, dan bertanggung jawab
5.         Latihan pengendalian emosi dan
6.         Melatih anak untuk dapat menjaga diri sendiri.

F.       Alat Penilaian Dalam Pengembangan Moral dan Disiplin
Sekolah juga mempunyai tanggung jawab menilai anak-anak untuk mengidentifikasi masalah pembelajaran yang potensial dan memberi tindakan penyembuhan yang sesuai bagi anak-anak yang membutuhkannya. Diagnosis dan penyaringan untuk mengenali anak-anak yang mungkin membutuhkan evaluasi dan campur tangan pendidikan lebih lanjut yang dituntut oleh undang-undang federal, merupakan langkah yang penting dalam merancang sebuah rencana pendidikan Individual Educational Plan (IEP).
     Kemudian juga, karena anak-anak bersekolah, maka penilaian dan evaluasi itu sangatlah penting. Informasi yang diperoleh lewat penilaian memberi tahu para guru mengenai daya guna kurikulum atau program. Dengan informasi ini, para guru dan sekolah memperoleh pengertian lebih baik mengenai apa dan bagaimana cara mereka merubah dan memperbaiki program dan kurikulum guna meningkatkan kegunaannya. Maka dari itu, hal ini membutuhkan alat penilaian dalam pengembangan moral dan disiplin yang diantaranya:

1.           Pengamatan
Setiap hari, para guru secara sepontan mengamati anak-anak, berbicara dengan mereka, dan berpikir mendalam mengenai pertumbuhan dan pembelajaran anak, bertanya kepada diri sendiri, “apa yang dilakukan Sasha hari ini ?” atau berkata, “Asep sedang membuat kemajuan yang baik di bidang belajar huruf-huruf. Ia memperlihatkan bahwa ‘A’ pada namanya adalah huruf ‘A’yang sama pada awal nama Alisa”.
2.           Daftar Periksa dan Skala Pemeringkatan
Pengamatan yang lebih terstruktur dapat dilakukan dengan menggunakan daftar cek dan skala-skala tingkat. Para guru bisa merancang ini untuk maksud khusus, seperti untuk menemukan keterampilan pemetaan mana yang digunakan anak-anak secara spontan ketika mereka bermain, bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan matematika yang diterapkan di bidang mengurus rumah tangga, atau keterampilan sosial mana yang sedang berkembang.
3.           Wawancara Terstruktur
Para guru bisa menggunakan jenis wawancara terstruktur yang sama untuk memeriksa pemahaman anak tentang konsep, kenyataan, perasaan mereka, atau situasi-situasi sosial. Sebagaimana karya hidup Piaget didasarkan pada pengamatan terhadap anak-anak. Pengamatan terhadap ketiga anaknya sendiri menuntun dia ke pengembangan metode klinis, yang menggabungkan pengamatan terhadap anak-anak dengan mengajukan pertanyaan, memeriksa, dan mengamati kembali.
4.           Standar dan Pembanding Kinerja
Untuk menilai apa yang telah dipelajari anak-anak, mereka dapat diberi tugas khusus untuk dikerjakan. Tugas itu langsung berhubungan dengan sasaran dan tujuan kurikulum dan program. Misalnya, standar kesenian menyatakan bahwa anak-anak harus mampu melakukan delapan gerak dasar: berjalan, berlari, melompat-lompat dengan satu/dua kaki sekaligus, melompat dari atas ke bawah, melompat cepat ke depan, berlari kencang meluncur, dan melangkah cepat. Untuk menentukan apakah anak itu telah mencapai standar ini, guru hendaknya meminta anak itu memperlihatkan gerak-gerak itu.
5.           Contoh Karya dan Portofolio
Portofolio adalah kumpulan karya anak-anak yang menggambarkan usaha, kemajuan, dan prestasi mereka, dan berpotensi menyediakan dokumentasi kaya bagi setiap pengalaman anak selama setahun. Jika portofolio itu harus dipakai sebagai alat untuk menilai, mak pembuatan portofolio itu dianjurkan menggunakan pendekatan yang relatif terstruktur. Penilaian portofolio, yang telah dibuat untuk memprediksi secara tepat kinerja anak-anak dalam melaksanakan tes yang dibakukan dan seluruh kinerja di sekolah, sangat dihargai oleh para guru, orang tua dan anak-anak.
6.           Evaluasi Diri
Anak-anak yang tahu diri sendiri mengetahui apa yang mereka lakukan dengan baik dan apa yang perlu mereka pelajari, memiliki identitas diri yang kuat, dan bisa mengendalikan perilaku dan pembelajarannya. Melibatkan anak-anak ke dalam evaluasi diri mereka sendiri merupakan salah satu cara membina perasaan tentang ketepat gunaan atau pengendalian.
7.           Tes Standar
Anak-anak usia tiga, empat, dan lima tahun boleh diberi beberapa jenis tes standar yang berbeda, yang mencakup:
a.       Tes kesiapan belajar
Tes kesiapan belajar disusun agar mampu menilai kemampuan anak-anak memanfaatkan pelajaran berikutnya.
b.      Tes kemajuan belajar
Tes kemajuan belajar dirancang untuk menilai apa yang sudah diajarkan kepada anak atau sudah dipelajari dalam suatu bidang pengajaran, atau sekurang-kurangnya menentukan sampel mengenai apa yang dapat dibuat anak pada saat itu.
c.       Tes saringan dan diagnostik
Menurut undang-undang, sekolah bertanggung jawab mengidentifikasi potensi masalah pembelajaran dan menyediakan tindakan penyembuhan bagi anak-anak yang dalam bahaya. Diagnosis dan penyaringan terdiri dari prosedur penilaian singkat yang dirancang untuk mengidentifikasi anak-anak yang mungkin memerlukan evaluasi dan campur tangan pendidikan lebih lanjut.
d.      Tes kecerdasan
Secara khusus, tes ini mengukur kecerdasan abstrak- kemampuan serta melihat hubungan-hubungan, membuat generalisasi, dan menghubungkan dan mengorganisasikan gagasan yang disampaikan dalam bentuk lambang.[6]


[1] Mursyid, Manajmen lembaga pendidikan anak usia dini, Akfi media, semarang,2010,Hal.4
[2] Danar santi,Pendidikan anak usia dini antar teori dan praktek,Pt. Matanan jaya cemerlang,2009,hal,47-48
[3] Tohirin, Psikilogi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005,hal.49.
[4] Jalaluddin, Psikologo Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1996, hal.65.
[5] Santrock,Life-Span Development.2001
[6] CarolSeefeldt dan Barbara, Pendidikan Anak Usia Dini,PT.Indek,2008, Hal.234-251
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template