Headlines News :
Home » » PANDANGAN ISLAM TERHADAP NABI PALSU DI ERA MODERN

PANDANGAN ISLAM TERHADAP NABI PALSU DI ERA MODERN

Written By Figur Pasha on Monday, January 21, 2013 | 3:23 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

         I.               PENDAHULUAN
Dalam Al-Quran dan As-Sunnah sudah banyak menjelaskan tentang kedudukan Nabi Muhammad sebagai Nabi atau utusan Allah yang terakhir. Dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelum Al-Quran seperti Injil, Taurat, dan Zabur pun telah menyebutkan bahwa akan datang Nabi atau utusan Allah yang terakhir dan sebagai penutup bagi para Nabi, tidak ada Nabi yang datang setelahnya.
Realita yang kita lihat mulai dari zaman Nabi maupun sampai sekarang banyak mereka yang mengaku sebagai Nabi atau utusan Allah. Yang seperti itu jelas sekali sudah menyimpang dari ajaran yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan Nabi palsu maupun hukumnya.
      II.               LANDASAN HUKUM
A.    Alqur’an
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (QS. Al-Mu’min: 78)

“Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu…” (QS. An-Nisa: 164)

B.     Hadits
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنِ ابْنِ دِينَارٍ يَعْنِي عَبْدَ اللَّهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا تِلْكَ اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma’il dari Ibnu Dinar -yaitu Abdullah- dari Abu Shalih As Samman dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: \”Permisalanku dengan para Nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membuat bangunan, ia memperbagus dan memperindahnya kecuali satu bata pada salah satu sudut bangunan tersebut, maka manusia berkeliling dan merasa kagum, dan mereka berkata; ‘Sekiranya satu bata ini disempurnakan, ‘ beliau bersabda: \”Maka aku adalah satu bata tersebut, dan aku adalah penutup para Nabi.\” ( Musnad Imam Ahmad hadits no 8802). [1]
III.                             PEMBAHASAN
Rasul adalah manusia dari diri umat. Jika manusia dari tambang, maka Allah memperuntukan kepadanya pemberian rasio dan rohani agar dia siap menerima wahyu dari Allah SWT. Allah memperuntukan Rasul dengan memperoleh beberapa keistimewaan agar dia mampu memikul beban risalah dan menjadi teladan baik yang harus diikuti, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Seandainya para utusan Allah tidak memperoleh beberapa keistimewaan rasio dan rohani seperti kesucian mereka telah ternoda atau rasio mereka lemah, tentu mereka tidak mampu menyampaikan petunjuk Allah kepada manusia.
Rasulullah mengalami dan merasakan apa yang dialami orang biasa seperti sehat dan sakit, kuat dan lemah, senang dan bencana, hidup dan mati. Hanya saja sesuatu yang diturunkan itu tidak menimpanya karena mengakibatkan orang lain lari. Allah berfirman : “Ingatlah ketika Ayyub memanggil Tuhannya : ‘Sesungguhnya diriku telah tertimpa bencana. Engkau lebih pengasih dari semua yang pengasih.’ Setelah itu permintaannya kami kabulkan dan Kami hilangkan bencana yang menimpanya. Kami datangkan kepada Ayyub keluarganya dan sesame mereka bersama-sama sebagai rahmat di sisi Kami dan peringatan bagi orang-orang yang beribadah” (QS. 21 : 83-84). “Muhammad itu tidak lain hanya seorang Rasul. Beberapa Rasul sebelumnya telah mendahuluinya. Jika Rasul itu mati atau terbunuh, apakah kalian kembali menjadi kafir ? Barang siapa yang kembali menjadi kafir, dia tidak akan mendatangkan bahaya kepada Allah sedikitpun” (QS. 3 : 144).
Rasul yang manapun tidak bisa bertindak sendiri di ala mini dan tidak mempunyai pertolongan dan bahaya. Dia tidak bisa mempengaruhi kehendak Allah dan tidak mengetahui yang gaib kecuali dengan qadar (ketentuan) yang dikehendaki Allah. Allah berfirman : “Katakan : Saya tidakberhak mendapat pertolongan untuk diriku dan saya tidak pula berhak menolak bahaya kecuali jika Allah menghendaki. Seandainya saya mengetahui yang gaib, tentu saya berbuat kebaikan dan kejahatan tidak akan menimpaku. Saya tidak lain hanya pemberi kabar takut dan kabar yang gembira bagi kaum yang beriman” (QS. 7 : 188). “Allah mengetahui yang gaib. Oleh karenanya, Dia tidak akan menampakan kegaiban-Nya kepada seseorang kecuali kepada Rasul yang diridhoi. Sesungguhnya Allah memasukan beberapa penjaga (Malaikat) di depan dan di belakang Rasul agar dia mengetahui bahwa para Rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhannya. Dia meliputi apa-apa yang ada di sisi-Nya dan menghitung bilangan segala sesuatu” (QS. 72 : 26-28).[2]
Dengan demikian kita dapat tahu bahwa antara Nabi dan Rasul mempunyai pengertian yang sedikit berbeda. Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah SWT. tetapi tidak berkewajiban untuk disampaikan kepada umatnya. Sedangkan Rasul adalah  seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah dan berkewajiban menyampaikan wahyunya kepada umatnya. Tapi dalam perkembangannya kedua istilah tersebut biasa digunakan untuk arti dan maksud yang sama, Nabi sama dengan Rasul.
Iman kepada para Rasul merupakan salah satu pokok keimanan. Arti iman kepada mereka adalah tashdiq (pembenaran) terhadap kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Allah kepada kita beritanya dan pembenaran terhadap mereka dalam apa-apa yang mereka sampaikan dari Allah. Selain itu juga membenarkan bahwa mereka benar-benar telah menyampaikan apa-apa yang telah diperintahkan kepada mereka untuk disampaikan dan hujjah Allah telah ditegakkan terhadap hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-rasul tersebut kepada mereka.
Diantara bentuk iman kepada mereka ialah iman kepada (utusan) yang tidak disampaikan oleh Allah kepada kita namanya. Maka kita beriman kepada mereka secara global, bahwasannya Allah telah mengutus pula beberapa Rasul lain di luar mereka, yakni yang telah disebut nama-namanya kepada kita.[3]
Selanjutnya, diantara bentuk iman kepada mereka adalah iman kepada semua sifat-sifat yang diberikan Allah tentang mereka dan kepada seluruh pernyataan yang mereka keluarkan tentang diri mereka sendiri, yakni bahwa mereka hanyalah hamba-hamba Allah jua; mereka adalah manusia yang dilebihkan oleh Allah dan dipilih-Nya melalui risalah dan firman-Nya. Meskipun demikian, bukan berarti mereka keluar dari maqom ‘ubudiyah (kewajiban beribadah). Sesekali seseorang di antara mereka bertambah usahanya dalam mewujudkan maqom ‘ubudiyah (kewajiban beribadah), bertambah pula kedekatan mereka kepada Allah. Maka tidak boleh lagi setelah itu mempersembahkan jenis ibadah apa pun dan dengan cara apa pun kepada mereka, bahkan dakwah mereka semua hanya bertujuan supaya beribadah hanya kepada Allah semata.
Dengan demikian, secara global iman kepada para Rasul dan para Nabi merupakan salah satu rukun iman yang tidak menjadi sempurna keimanan seorang hamba, kecuali dengannya.[4]

Rasul yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh AS, dan yang terekhir adalah Nabiyyullah Muhammad SAW.[5]
Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-nabi yang kemudian…” (QS. An-Nisa: 163)

Dan diantara hal-hal yang dapat membatalknan ke-Islaman dan keimanan seseorang adalah:
1.      Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi SAW., atau meyakini ada hokum yang lebih baik daripada hukum beliau.
2.      Membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.
3.      Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari Syariat Nabi Muhammad SAW.[6]
Dengan begitu seseorang benar-benar dituntut untuk beriman dengan sebenarnya dengan dilandasi unsure-unsur Iman serta tidak malakukan hal-hal yang dapat membatalkan ke-Islaman maupun ke-Imanan. Yang semuanya itu justru akan membuat apa yang kita yakini menjadi sia-sia dan tidak diterima.
Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha
Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil qath’i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.
Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang mengikutinya. Al Muthi’i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang mengikutinya”.
Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat, jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, menurut Al Muthi’i, ia telah murtad. Al Muthi’i juga merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para pengikut mereka”.
Ulama dari kalangan madzhab Hambali pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181), rujukan pokok madzhab Hambali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”.[7]
Penetapan bahwa Rasulullah adalah Rasul sekaligus Nabi terakhir oleh para ulama berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40:
Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tafsir ayat diatas adalah janganlah engkau takut kepada ejekan manusia, karena engkau menikahi bekas istri anak angkatmu. Sebab, engkau bukanlah ayah dari seorangpun dari mereka bukan ayah hakiki (kandung) dari anak angkatmu itu. Karenanya, mereka tidak bisa berkata, bagaimana Muhammad menikahi bekas istri anak angkatnya.
Engkau adalah Rasul Allah yang menyampaikan risalahnya kepada manusia dan sebagai nabi penghabisan. Tidak ada nabi lagi sesudahmu. Engkau adalah ayah dari semua umatmu dalam arti penghormtan dan kemuliaan serta dalam sifat kasih sayang, sebagaimana rasul-rasul yang lain terhadap umatnya masing-masing. Ringkasnya, Muhammad itu bukanlah ayah dari umatnya, dalam arti beliau haram menikahi bekas istri seorang umatnya. Tetapi beliau adalah ayah bagi seorang mukmin, dalam arti berhak menerima penghormatan dari mereka semua, sebagaimana wajib beliau untuk berdaya upaya mendatangkan kebajikan bagi umatnya.
Telah dikenal dalam sejarah, Rasulullah mempunyai 3 anak dari istri Siti Khadijah, tetapi semua meninggal dunia sewaktu masih kecil, yaitu Al-Qasim, At-Thayyib, dan At-Thahir. Selain itu beliau memiliki seorang anak lelaki Mariyah yang diberi nama Ibrahim, meninggal sewaktu masih bayi. Dari istri khadijah, Nabi juga dikaruniai 4 anak perempuan yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. 3 yang pertama meninggal sebelum Rasulullah wafat. Hanya Fatimahlah yang wafat 6 bulan setelah Rasulullah wafat.
Allah itu maha mengetahui siapa diantara nabi yang pantas untuk dijadikan sebagai nabi pada permulaan dan siapa diantara mereka yang pantas dijadikan nabi penghabisan.
 Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Al Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam Al Umm, Ibnu Katsir, Imam As Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti Al Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh dalam Al Manar menyatakan hal yang sama.
Beberapa hadits pun memiliki makna bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadits: “Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR. Muslim) [8]
Karena amat banyak jalan periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan bahwa hadits ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti Pakistan Muhammad Syafi’.
Sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).
Selain Al Quran dan Sunnah, ijma’ juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Maratib Al Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/33).
Kekufuran Para Pengingkar Syari’at yang Mutawatir
Tentu yang namanya nabi palsu pasti menyeru kepada hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah saw, seperti shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibannya dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa, karena hal itu pun sudah masuk kepada wilayah kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2172) mengatakan,”Bagitu juga (dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu hampir tidak bisa dihitung dan ijma’ pun menyatakan hal yang serupa”.
Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib Al Ijma’,sesuai dengan nukilan Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/126): “Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara mutawatir. Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami sebutkan atau ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah kafir dan kekal di neraka”.
Kesimpulannya, bahwa ijma’ telah menyatakan bahwa hal-hal yang dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti kewajiban shalat, zakat, haji, termasuk khabar yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang menolak maka ia telah kafir.
Berpedoman dari dalil-dalil di atas maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat lembaga ini sesuai dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk ranah ijma’ maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena Rasulullah sendiri bersabda:” Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).[9]
Banyak dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah yang secara tegas menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain Nabi Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan tidak aka nada lagi Nabi atau Rasul yang dating setelah beliau. Di antaranya adalah firman Allah:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Nabi Muhammad SAW. menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi SAW. bersabda:“…Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”[10]
Dengan demikian sudah jelas bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir dan penutup para Nabi. Tidak ada Nabi yang datang setelahnya. Orang yang mengaku sebagai Nabi, maka sungguh ia telah murtad dari ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW.


[1] http://forumpembelaaqidahislamcisarua.wordpress.com/2011/05/22/hadits-muhammad-saw-penutup-para-nabi-bag-1/
[2] Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996),hal. 175-177
[3] Muhammad bin A.W. al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2009), Penerjemah: Nabhani Idris, cet. 5., hlm. 484

[4] Muhammad bin A.W. al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah… hlm. 485-487
[5]Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009), cet. 7., hlm. 237
[6] Syeh Muhammad bin Abdul Wahhab, Penjelas tentang Pembatal ke-Islaman, (Solo: Darul Muslim, 1996), hlm. 59
[7] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 8

[8]http://onlinebusiness135.blogspot.com/2010/03/muhammad-saw-sebagai-rosul.html
[9] http://dir.groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/message/27989
[10] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Syarah ‘Aqidah… hlm. 237

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template