Headlines News :
Home » » MENGEVALUASI KURIKULUM PENDIDIKAN MENENGAH BERDASARKAN MODEL CIPP

MENGEVALUASI KURIKULUM PENDIDIKAN MENENGAH BERDASARKAN MODEL CIPP

Written By Figur Pasha on Thursday, January 24, 2013 | 11:01 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


Pendahuluan

Evaluasi kurikulum merupakan salah satu komponen inti kurikulum, kegiatan evaluasi kurikulum merupakan kegiatan yang amat mendasar bagi pengembangan kurikulum. Di Indonesia kurikulum telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu perubahan dari kurikulum 1974 menjadi kurikulum 1984; dari kurikulum 1984 ke kurikulum 1994; dan dari kurikulum 1994 ke kurikulum 2004. Perubahan itu belum didasari oleh hasil evaluasi kurikulum secara profesional, mendasar, menyeluruh, terpadu, dan bahkan lebih cenderung bersifat politis (ganti Menteri ganti kurikulum). Tetapi yang terjadi di negara kita adalah bahwa perubahan itu lebih banyak karena faktor politisnya ketimbang yang lain. Bahkan yang lebih menyedihkan kita adalah bahwa perubahan dari suatu kurikulum ke kurikulum berikutnya bukan pula didasarkan pada hasil evaluasi kurikulum yang dilakukan secara mendasar, menyeluruh dan terpadu.
Di dalam mengevaluasi kurikulum banyak model yang ditawarkan oleh pakar evaluasi kurikulum. Menurut Ornstein dan Hunkins (1985: 261) model evaluasi kurikulum secara garis besarnya ada dua, yakni: (1) model evaluasi kurikulum yang bersifat kualitatif. Ke dalam model ini termasuk model studi kasus dan model iluminatif; (2) Model kuantitatif seperti model evaluasi kurikulum ala Tyler, model teoretik Taylor dan Maguire, model pendekatan sistem Alkin , model Countenance Stake, dan model CIPP. Untuk keperluan makalah ini, penulis hanya memilih model evaluasi kurikulum kuantitatif, khususnya model Context, Input, Process, Product (CIPP ) yang dikembangkan oleh Daniel Stuffle­beam. Alasan pemilihan model ini untuk mengevaluasi kurikulum (terutama kurikulum Pendidikan Agama di Kota Padang) adalah karena model ini ber­sifat mendasar, menyeluruh, dan terpadu. Bersifat mendasar, karena men­cakup objek-objek inti kurikulum yaitu tujuan, materi, proses pembelajaran, dan evaluasi itu sendiri. Menyeluruh karena evaluasi juga difokuskan pada seluruh pihak yang terkait dalam praktik pendidikan dan pengimplementasian kurikulum. Sedangkan terpadu karena proses evaluasi ini melibatkan seluruh pihak yang terkait dalam praktik pendidikan terutama siswa.
 B. Permasalahan
Permasalahan utama yang diajukan dalam makalah ini adalah "Bagaimana cara menerapan model CIPP dalam mengevaluasi  kurikulum pendidikan menengah ?

C. Pembahasan
1. Hakikat Kurikulum
Pengertian kurikulum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan”
Sebagai suatu dokumen tertulis, kurikulum tidak bersifat menetap atau abadi. Sebagaimana layaknya suatu dokumen yang berisi rancangan tindakan, maka rancangan-rancangan itu sendiri perlu selalu disesuaikan dengan ber­bagai perkembangan dan perubahan yang terkait dengan siswa, guru, tekno­logi pembelajaran, tuntutan masyarakat dan keilmuan. Untuk menentukan karakteristik, kuantitas, dan kualitas perubahan itulah diperlukan evaluasi.
2.Perkembangan kurikulum di Indonesia
Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, telah beberapa kali dilakukan pembaharuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Setidak-tidaknya, menurut Jasin (1987) telah diadakan empat kali pembaharuan kurikulum. Pembaharuan pertama dilakukan dengan dikeluarkannya Rencana Pelajaran 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial Belanda. Semangat proklamasi kemerdekaan dan revolusi nasional memberikan pengaruh besar dalam pembaharuan pendidikan setelah masa kolonial berakhir. Dalam konteks sejarah
kurikulum umum, Rencana Pelajaran 1947 berada dalam zamannya "developmental conformism" (1941-1956). Zaman tersebut menekankan pendidikan kepada pembentukan karakter manusia.
Pembaharuan kedua terjadi dengan dikeluarkannya Rencana Pendidikan 1964. Pemikiran dan usaha pembaharuan yang mendorong lahirnya rencana tersebut antara lain adalah tentang perlunya Indonesia mengejar ketinggalannya di bidang ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu-ilmu alam (science) dan matematika. Pemikiran dan usaha tersebut didasari oleh gagasan Bruner (1960). Ia salah seorang tokoh "scholarly structuralism" (1957-1967) dan reformis pendidikan yang mengawali usaha perbaikan program pelajaran science dan matematika dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serikat.
Pembaharuan ketiga terjadi dengan dikeluarkannya Kurikulum 1968. Pergantian kurikulum tersebut ditandai oleh keadaan politik, yaitu alih orde dari Orde Lama menjadi Orde Baru pada tahun 1966. Keadaan politik pada waktu itu menuntut adanya perubahan radikal pemerintahan Orde Lama dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan.
Pembaharuan keempat terjadi dengan diterbitkannya Kurikulum 1975/1976/1977. Lahirnya kurikulum tersebut ditandai dengan usaha-usaha yang sistematis dalam penyusunannya. Bahan-bahan masukan yang bersifat empiris telah dijadikan dasar dalam penyusunan kurikulum tersebut.
Berkenaan dengan hal di atas Jasin (1987) mengemukakan bahwa bahan-bahan empiris tersebut adalah :
a.       Laporan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) tentang hasil penelitian (survey) yang mengungkapkan beberapa masalah pendidikan dam saran-saran alternatif pemecahannya. (Laporan Badan Pengembangan Pendidikan, 1971).
b.      Uji coba kurikulum melalui Sekolah Laboratorium IKIP Malang selama Pelita I/1969-1974 dan hasil suatu team dari badan Pengembangan Pendidikan yang bertugas menganalisa kurikulum yang berlaku.
c.       Seminar identifikasi problema pendidikan pada tahun 1969 yang membahas segala segi dan permasalahan pendidikan seperti tujuan pendidikan, relevansi kurikulum dengan kepentingan anak, metodik, persyaratan guru dan usahausaha untuk memenuhi persyaratan itu, demokratisasi kurikulum dan evaluasi.
Sejak diberlakukannya Kurikulum 1975, berbagai usaha inovatif telah banyak dilakukan dalam rangka menunjang pelaksanaan dan mencari alternatif lain yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum tersebut, antara lain meneruskan uji coba kurikulum melalui Sekolah Labolatorium di sepuluh IKIP Negeri, uji coba belajar tuntas (mastery learning), penggunaan modul dan sekolah-sekolah terbuka.
Pembaharuan kelima terjadi dengan diterbitkannya Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1984, Kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama 1975 Yang Disempurnakan, dan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan kerja dan industri.
Pembaharuan keenam terjadi dengan diterbitkannya Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 yang disesuaikan dengan tuntutan dari Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturanperaturan pelaksanaannya.
Pembaharuan ketujuh terjadi pada saat Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multidimensi, yaitu dengan dikembangkannya Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 2004 yang dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum ini disesuaikan dengan tuntutan dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Pembaharuan kedelapan terjadi setelah terbentuknya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada tahun 2004. Pengembangan kurikulum dilakukan oleh sekolah dengan berpatokan pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang ditetapkan oleh BSNP. Kurikulum ini selanjutnya dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

3. Model evaluasi kurikulum
Model evaluasi kurikulum jenisnya cukup banyak, tetapi dari sejumlah teori dapat dikelompokkan atas dua model yaitu model kuantitatif dan kualitatif (Hasan, 1988). Model kuantitatif merentang dari Model Tyler, model Sistem Alkin, Model Countenance Stake, model CIPP (Context, Input, Process, dan Product), dan model ekonomio mikro. Sebaliknya, menurut Sukmadinata (2004) terdapat empat
jenis model yang paling menonjol yaitu model: (1) Discrepancy evaluation Model, yaitu pendekatan yang membandingkan pelaksanaan dengan standar baik disain, pelaksanaan program, biaya dan lain-lain, (2) Contingency Congruence Model, yaitu menilai kesesuaian antara rancangan, pelaksanaan dan hasil ideal dengan yang nyata/teramati, (3) EPIC (Evaluation Programs fot Innovative Curriculum), dan (4) model CIPP (Context, Input, Process, dan Product). Model yang cukup terbuka dalam mengevaluasi kurikulum yang akan dikembangkan di masa depan adalah model CIPP. Sesuai dengan namanya, model ini terbentuk dari 4 jenis evaluasi yaitu evaluasi Context, Input, Process, dan
Product yang dikembangkan kali pertama oleh Stufflebeam.
4. Hakikat Evaluasi Kurikulum Model CIPP
Inti evaluasi adalah untuk mengambil keputusan tentang kurikulum dalam arti luas. Daniel Stuffbeam (dalam Ornstein dan Hunkins, 1985: 252) mendefinisikan evaluasi sebagai "... proses menggambarkan, mendapatkan, dan mengembangkan informasi yang berguna bagi penetapan alternatif­-alternatif keputusan". Pakar ini membagi tiga tipe keputusan yang dapat diambil sebagai tindak lanjut evaluasi. Keputusan tersebut adalah: (1) kepu­tusan-keputusan yang terkait dengan pengembangan pembelajaran, (2) keputusan-keputusan yang terkait dengan para individu seperti guru dan siswa, serta (3) keputusan-keputusan yang terkait dengan peraturan administratif sekolah, misalnya bagaimana sistem sekolah yang baik, serta bagaimana per­ituran-peraturan tentang warga sekolah.
Dalam evaluasi model CIPP, dievaluasi pengaruh keputusan-keputusan manajemen yang terkait dengan kurikulum. Proses utama pengevaluasian ada tiga, yaitu: (1) pengungkapan informasi yang dibutuhkan, (2) pengumpulan data, dan (3) pengembangan informasi terhadap hal-hal penting. Berdasarkan pengevaluasian, ada empat jenis keputusan yang dapat dirumuskan yaitu: (1) keputusan tentang perencanaan, (2) keputusan tentang penstrukturan, (3) keputusan tentang pengimplementasian, dan (4) keputusan tentang proses pengulangan.
Sesuai dengan jenis keputusan yang diambil, diklasifikasikan empat tipe pengevaluasian. Tipe-tipe tersebut adalah: (1) konteks, (2) masukan, (3) proses, dan (4) produk. Evaluasi tentang konteks dimaksudkan untuk mem­peroleh gambaran yang cermat tentang lingkungan pembelajaran siswa. Ber­dasarkan hal itu, dapat ditetapkan serangkaian tujuan, termasuk di dalamnya tujuan pelaksanaan evaluasi. Evaluasi tentang input atau masukan dimaksud­kan untuk mengembangkan informasi bagaimana pengembangan sumber-­sumber pembelajaran yang relevan dengan tujuan-tujuan program yang dite­tapkan. Evaluasi tentang proses dimaksudkan untuk mengembangkan penga­wasan dan pengelolaan program pembelajaran sebagai hasil pengimplemen­tasian kurikulum. Evaluasi tentang produk dimaksudkan untuk menetapkan apakah keluaran atau hasil pembelajaran itu sesuai dengan apa yang diha­rapkan dan digariskan dalam rumusan-rumusan tujuan.

3. Langkah-Langkah Penerapan Model CIPP dalam Mengevaluasi Kurikulum
Langkah-langkah penerapan model CIPP dalam mengevaluasi kurikulum adalah sebagai berikut:
a) Perencanaan Evaluasi
Pada tahap ini direncanakan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan evaluasi. Perencanaan tersebut mencakup bidang (1) man atau orang-orang yang akan dilibatkan dalam evaluasi, (2) money, anggaran yang dibutuhkan dan harus disediakan dalam pelaksanaan evaluasi, (3) management, peng­organisasian pelaksanaan evaluasi, baik penetapan struktur organisasi, ruang lingkup tugas dan tanggung jawab maupun pendelegasian kewenangan, serta (4) time, yaitu waktu mulai dari perencanaan evluasi serta pelaporan dan pere­komendasian hasil.
b) Pelaksanaan Evaluasi
Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan evaluasi kurikulum berdasarkan model CIPP ini, yakni:
1). Pemfokusan terhadap Fenomena Kurikulum yang akan Dievaluasi
Pada tahap ini, para evaluator menetapkan apa yang akan dievaluasi dan apa desain yang digunakan. Untuk itu, dilakukan uji-coba pelaksanaan kurikulum di suatu lembga pendidikan atau beberapa sekolah yang ditetapkan sebagai pilot-pro­yek. Dalam tahap ini, ditetapkan fokus evaluasi: apakah keseluruhan sekolah, ataukah sekolah tertentu. Apakah sekolah itu merupakan sekolah induk atau inti dan yang lain merupakan sekolah imbas.


2). Pengumpulan Informasi
Pada tahap ini para evaluator mengidentifikasikan sumber-sumber in­formasi yang esensial serta alat-alat (instrumen) yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tersebut. Sesudah semuanya disiapkan, evaluator melaksanakan pe­ngumpulan informasi. Informan yang diharapkan adalah pihak-pihak yang terutama terkait langsung dengan proses pembelajaran, misalnya siswa, guru, pimpinan sekolah, tata usaha, komite sekolah, dan wakil-wakil masyarakat yang mewakili orang tua siswa maupun profesi tertentu yang menonjol. Infor­masi juga dikaitkan dengan deskripsi tentang content atau materi pembelajar­an, input terutama kesiapan dan peran serta input, process, terutama terkait dengan kesesuaian proses dengan materi dan input serta aspek sarana dan prasarana lainnya, serta product. Jika product belum dihasilkan, tidak mungkin dilaksanakan evaluasi kurikulum.
3). Pengorganisasian Informasi
Para pengevaluator mengorganisasikan informasi agar mudah diin­terpretasikan dan dimanfaatkan oleh audiens (dalam hat ini kelompok eva­luator). Pengorganisasian informasi mencakup pengodean, pengorganisasian, penyimpanan, dan penyiapan untuk saji-ulang informasi.

4) Penganalisisan Informasi
Pada tahap ini, evaluator memilih dan mengembangkan teknik-teknik analisis informasi yang memadai. Spesifikasi teknik yang digunakan tergan­tung pada fokus evaluasi dan alat evaluasi yang digunakan.

c) Pelaporan Informasi Hasil Evaluasi
Pada tahap ini, para evaluator menetapkan cara terbaik untuk melapor­kan hasIL evaluasi. Pada tahap ini ditetapkan apakah akan digunakan cara formal maupun informal. Selain itu, laporan akhir hendaknya memuat rincian data statistik.

d) Pendaur-ulangan Informasi
Keberlanjutan informasi dan evaluasi sangat diperlukan dalam pe­ngembangan kurikulum. Meskipun berdasarkan hasil evaluasi ternyata kuri­kulum tersebut sudah memadai, namun pemberian umpan batik, pemodifi­kasian, dan penyesuaian tetap diperlukan sebab berbagai kekuatan yang mempengaruhi sekolah selalu menghendaki adanya perubahan.

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template