I.
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia di kenal sebagai bangsa yang beraneka ragam budaya, bahasa, suku
terlebih lagi bangsa Indonesia juga di kenal sebagai Bangsa yang beradab dan
mempunyai moral yang baik tehadap sesama, namun ironisnya melihat realita
sekarang semakin tahun Moral Bangsa kita sudah mulai luntur dan bisa
dimungkinkan lama kelamaan Bangsa kita dikenal oleh bangsa lain sebagai Bangsa
yang tidak mempunyai Moral.
Sudah
kita ketahui bahwasanya pendidikan anak usia dini di dunia yang berkembang sudah
berjalan cukup lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat, namun
di Negara kita berjalan belum cukup lama, tapi setidaknya sudah mulai mengikuti
perkembangan-perkembangan di Negara maju. Ini sebagai upayah pemerintah agar
anak bangsa bisa mempersiapkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga
membekali peserta didik dengan moral dan disiplin yang baik, selanjutnya tujuan
dari pada pemerintah yakni membekali anak usia dini agar ketika manjalani
jenjang pendidikan yang lebih tinggi supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan
bisa lebih cepat dan mudah karna sudah adanya bekal sejak kecil.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Konsep
Dasar Moral dan Disiplin Anak Usia Dini
B. Tahapan
Perkembangan Moral
C. Disonansi
Moral
D. Pendekatan
dan
Teori Perkembangan Moral
E.
Strategi dan Contoh Penysunan dan Perencanaan Penanaman Serta
Pengembangan Moral dan
Disiplin
F.
Alat Penilaian
Dalam Pengembangan Moral dan
Disiplin pada
Anak Usia Dini
III.
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Moral dan
Disiplin Anak Usia Dini
Moral merupakan suatu kebiasan yang dilakukan setiap
individu baik moral yang baik atupun buruk. Moral berasal dari bahasa latin
”Mores” yang berarti tata cara, kebiasaan dan adat. Prilaku sikap moral
mempunyai arti prilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial yang di kembangkan oleh konsep Moral. Yang
dinamakan konsap moral ialah peraturan prilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi
anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pada prilaku yang
diharapkan dari masing-masing anggota kelompok.
Menurut Piaget, hakikat Moral ialah kecenderungan
menerima dan menaati system peraturan. Selanjutnya ada pendapat lain seperti
yang dikatakan oleh Kohlberg mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang
tidak di bawa dari lahir, akan tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat
dipelajari. Perkembangan Moral merupakan proses internalisasi Nilai atau Norma
masyarakat sesuai dengan kematangan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap
aturan yang berlaku dalam kehidupanya.
Jadi perkembangan Moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan
tentang baik atau buruk dan benar atau salah, dan faktor afektif yaitu sikap
atau Moral itu di praktekan.
Undang-Undang
No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengamanatkan dilaksanakanya
pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini, yakni sejak anak
dilahirkan. Disebutkan secara tegas dalam UU tersebut bahwa pendidikan anak
usia dini adalah suatu pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia 6 tahun yang dilakukan dengan cara pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan jasmani dan rohani agar anak mempunyai kesiapan
untuk kejenjang yang lebih lanjut. Saya memberikan stetmen dalam pendidikan
Rohani disini bisa juga pendidikan moral yang artinya moralitas yang baik
sesama manusia.[1]
Contoh
dari penerapan disiplin pada anak usia dini, misalnya: ada seorang anak
perempuan kecil berusia 4 tahun. Ia menangis berguling-guling di lantai karena
mengantuk dan meminta meminum susu sambil teriak keras memanggil Ibunya. Dan
ibunya seolah-olah tidak menghiraukan tindakan anaknya itu. Karna Ibunya telah
memerintahkan anaknya sehabis bermain dan sebelum minum susu cuci tangan
terlebih dahulu, baru minum susu. Namun, anaknya menginginkan Ibunya yang
mencucikan tangannya” kamu sudah bisa cuci tangan sendiri,” bentak Ibu. Anak
itu semakin keras menangisnya dan meronta, membuat keributan dalam rumah
tersebut. Sewaktu anak berteriak keras, ibu menariknya kekamar mandi untuk
diguyur hingga basah kuyup lalu anak itu ditinggal ibunya untuk membereskan
rumah. Dengan terseduh-seduh anak tersebut melepaskan bajunya yang basah dan
mengambil handuk, mengeringkan badanya sendiri, kemudian dia naik keranjang dan
tertidur pulas. Pada waktu bangun ia berkata pada Ibunya,”Ibu, saya mau minum
susu!” jawab Ibu,” baik nak, sebelum minum susu, makan dulu yah’ pasti kamu
lapar. Ibu ambilkan makan dan makanlah sambil melihat akuarium.”
Ternyata,
dengan berlaku demikian, Ibu anak trsebut sedang mengadakan percobaan mengajarkan
disiplin kepada anaknya menurut caranya sendiri. Apabila disekolah anak
tersebut maunya menang sendiri, bila berbaris tidak mau menuruti aturan, dia
selalu teriak minta paling depan, padahal harus bergantian dengan temanya.
Namun, guru dengan cara memberi aba-aba untuk balik arah dengan sendirinya anak
tersebut berada pada posisi paling belakang.[2]
B.
Tahapan
Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg ada tiga tahapan perkmbangan:
1.
Tingkatan tahapan Prokonvensional
dimana aturan ini berisi tentang ukuran Moral yang di buat otoritas oleh
lembaga terkait, pada tahapan perkembangan ini anak –anak tidak akan melanggar
ketentuan yang berlaku di lembaganya, di karnakan merasa takut atas ancaman dan hukuman yang telah di tentukan
oleh lembaganya, sehingga anak secara tidak sadar di tuntut untuk melaksanakan
peraturan dan takut melakukan larangan yang ada imbasnya anak akan selalu
melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek.
Tingkatan yang pertama ini di bagi dua (2) tahap lagi:
·
tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman: pada tahap ini anak hanya mengetahui
bahwa aturan-aturan yang ada ini di tentukan oleh adanya kekuasaan yang mana
tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun. Jadi dalam tahapan ini mau atau tidak
harus mentaati peraturan yang ada, di karnakan kalau tidak anak akan
mendapatkan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang di lakukan.
·
Tahap Relativistik hedonosme: pada tahap ini anak
tidak lagi secara mutlak tergantung pada peraturan yang berlaku diluar dirinya
yang di lakukan oleh orang lain yang mempunyai otoritas. Jadi dalam hal ini
anak sudah memulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang
bergantung pada kebutuhan (Relativisme ) orang yang membuat peraturan dan
kesenangan seseorang.
2.
Tingkatan tahap Konvensional: dalam hal ini anak
dituntut untuk mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama-sama agar dia
mau diterima di kelompok sebayanya.
Kelompok ini tediri dari dua (2) tahap:
Ø
Tahap Orientasi mengenai anak yang baik: dalam tahapan
ini anak mulai memperlihatkan orientasi terhadap perbuatan yang di nilai baik
atau tidak baik oleh orang lain atau sekitarnya. Sesuatu dikatakan baik dan
banar apabila segala sikap dan prilaku atau perbuatanya dapat di terima oleh
orang lain atau sekiternya.
Ø
Tahapan mempertahankan Norma sosial dan otoritas :
pada tahapan ini anak anak mulai menunjukan perbuatan yang benar bukan hanya
agar supaya diterima oleh lungkungan atau sekitarnya saja akan tetapi juga
bertujuan agar supaya dirinya dapat ikut serta mempertahankan aturan dan norma
atau nilai social yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab Moral untuk
melaksanakan peraturan yang ada.
3.
Tingkatan tahapan pasca Konvensional: pada tahapan ini
anak mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkatan ini juga terdiri dari dua (2) tahap:
§ Tahap Orientasi
terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahap ini
ada hubungan timbale balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan
masyarakat. Jadi dalam tahap ini anak akan menaati aturan sebagai kewajiban dan
tanggung jawab atas dirinya dalam menjaga keserasian hidupnya di sekitarnya.
§ Tahapan Universal:
pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada pula norma etik ( baik atau
buruk, benar atau salah ) yang bersifat unifersal sebagai sumber menentukan
suatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Perkembangan
sosial dan moral yakni suatu proses perkembangan mental yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain baik sebagai
indifidu maupun kelompok.[3]
Akan tatapi menurut J.Buul
perkembangan moral dibagi menjadi empat(4) yaitu:
1)
Tahap anomi
Ketidak mampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap
di kembangkan dalam lingkungan. Artinya bayi lahir dalam keadaan fitrah (
mempunyai potensi ) yang selalu siap untuk di kembangkan. Jadi tergantung yang
mau member warna kehidupan,sikap,prilaku,moral yang akan di tanamkan sejak dini
pada dirinya.
2)
Tahap heteromoni
Dimana moral yang berpotensial dipacu berkembang orang
lain atau otoritas melalui aturan dan kedisiplinan. Artinya dengan bantuan
orang lain baik keluarga maupun lingkungan itu yang akan memacu perkembangan
moralnya.
3)
Tahapan Sosionami
Dimana moral berkembang di tengah sebaya atau dalam
masyarakat, mereka lebih menaati peraturan kelompok daro pada yang bersifat
otoritas.
4)
Tahap Otonomi
Tahapan ini mengenai tantang moral yang mengisi dan
mengendalikan kata hatinya sendiri serta kemampuan bebasnya untuk berprilaku
tanpa campur tangan orang lain atau lingkungan.
Ada pendapat yang mengatakan anak dilahirkan itu
membawa fitrah keagamaan. Fitra itu baru berfungsi dikemudan hari setelah
melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. [4]disamping
itu perkembangan anak pada usia dini ditandai dengan aspek moralitas
heteronom, tetapi pada usia 10 tahun mereka beralih kesuatu tahap yang
perkembanganya lebih tinggi yang disebut dengan moralitas otonom.[5]
C.
Disonansi
Moral
Pada
hakikatnya posisi anak sebagaimanusia pada umumnya memiliki tiga macam tanaga
dalam ( yang ada pada unsure pesikis ) keberadan tenaga dalam itu akan
memberikan pengaruh pada dirinya untuk melakukan berbagai kegiatan/aktifitas
baik berupa sifat positif maupun yang negative. Dorongan dari ketiga tenaga dalam inilah yang perlu
dicermati oleh para guru. Motifasi terhadap para peserta didik untuk menentukan
dan mengarahkan anak didik pada kegiatan positif. Kegiatan akan sangat berarti
bagi peserta didik apabila mampu membuahkan hasil adanya perubahan sikap dan
prilaku kearah yang positif. Ketiga tenaga dalam itu menurut istilah psikiligi
dikenal dengan: Id, Ego, dan super Ego.
v
Id adalah suatu dorongan yang bersal
dari dalam diri seseorang
untuk mendahulukan rasa, enak, mencapai kenikmatan dan nafsu belaka
Sikap semacam ini mempunyai kecenderungan anak-anak
bersikap instan dalam meraih kehidupan
v
Ego adalah ibarat suatu dorongan/tenaga dalam yang
berasal dari jiwa seseorang yang berfungsi menyeimbangkan kemauan dari Id
dengan mencoba mengarahkan dorongan tersebut dalam kenyataan hidup
v
Super Ego adalah dorongan atau tenaga dalam yang
berfungsi sebagai alat control terhadap suatu dorongan yang berasal dari
kemauan Id . control dari Super Ego disini berasal dari ajaran Agama, moral
atau norma yang diajarkandan di terima manusia.
Suatu contoh ilustrasi untuk memahami istilah
tersebut: ketika seorang anak seusia taman kanak-kanak disuruh mandi soere oleh
Ibunya, ia akan tetap menginginkankan agar dirinya tetap bermain tidak perlu
mandi, ini ( Id ). Kemudaian Ibunya menasihati dengan mengutip ucapan Ibu guru
di TK bahwa untuk menjaga kesehatan kita harus mandi ( Super Ego ) kemudian
anak tersebut melihat teman-teman sebayanya sudah pada mandi tinggal dia sendiri
yang belum ( Ego ) maka disitulah peran orang tua atau guru untuk senantiasa
mengarahkan segala sesuatu yang timbul dari anak kearah yang positif dengan
pendekatan pendidikan. Dalam teori penanaman moral dan etika disini bisa di
kenal sebagai istilah Disonansi Moral.
D.
Pendekatan
dan
Teori Perkembangan Moral
seperti
yang dikemukakan oleh Kohlberg dan Piaget menunjukan bahwa sikap dan prilaku
moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan
yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi oleh
sebab akibat dari aktivitas spontan yang di pelajari dan berkembang melalui
interaksi sosial anak dengan lingkunganya.
Selain perkembangan Moral, dalam mempelajari pola
perkembangan Moral yang berkaitan dengan ketaatan mematuhi suatu peraturan yang
berlaku Universal, [erlu dibahas pula mengengenai disiplin. Disiplin berasal
dari kata “Disciple” yang berarti seseorang yang belajar dari dirinya sendiri
atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin sangat diperlukan
salah satunya untuk membentuk prilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang
ditetapkan dalam kelompok budaya atau tempat orang tersebut menjalani
kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berprilaku yang
baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat lingkungan sekiternya. Disiplin
dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendalian prilaku dengan
menggunakan hubungan secara Permisif atau Laissezfaire melalui kebebasan yang
di berikan terhadap anak tanpa adanya suatu hukuman atau bersifat demokratis
melalui penjelasan,diskusi dan penalaran mengenai peraturan yang berlaku.
Artinya anak di kasih penjelasan dan arahan serta di beri tahu maksud dan
tujuan yang tercantum dalam peraturan sehingga anak mampu mengerti tentang apa
yang di harapkan oleh lembaga terkait.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai
berikut:
a)
peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk
berprilaku dimana anak itu tinggal.
Mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang akan diikuti dan ditaati
anak dan juga membantu mengekang prilaku yang tidak diinginkan.
b)
Hukuman akan diberikan apabila anak melakukan kesalahan
atau bertindak yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku di
masyarakat dimana dia hidup. Hukuman yang menghalangi anak untuk tidak
mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan atau tidak sesuai, mendidik anak
untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk tidak berprilaku yang
tidak diterima oleh masyarakat.
c)
Penghargaan diberikan apabila anak telah melakukan
sesuatu dengan nilai atau norma yang berlaku, mendidik anak dan memotifasi anak
agar mengulangi prilaku yang baik dan benar sesuai dengan harapan masyarakat.
d)
Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan
dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam mempelajari sesuatu yang benar atau salah, baik atau
buruk . disiplin dapat barmanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap
prilaku, menimbulkan kepekaan atas sikap yang baik, benar dan adil serta
mempengaruhi kepribadian anak dimana sikap prilaku disiplin merupakan bagian
yang terInternalisasi pada anak secara keseluruhan.
E.
Strategi
dan
Contoh Penysunan dan
Perencanaan Penanaman Serta Pengembangan Moral dan Disiplin .
program pembentukan prilaku pada anak usia dini
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada pada
kehidupan anak ditaman kanak-kanak. Melalui program ini anak-anak diharapkan
dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan disiplin. Pembentukan prilaku
melalui pembiasaan yang dimaksud meliputi pembentukan moral agama, Pancasila,
perasaan/emosi, kemampuan masyarakat, dan disiplin. Tujuan dari program
pembentukan prilaku adalah mempersiapkan anak sedini mungkin dalam
mengembangkan sikap dan prilaku yang didasari oleh nilai-nilai agama dan
Pancasila. Kompetensi dan hasil belajar yang ingin dicapai pada aspek
pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah,
mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama. Penyusunan
strategi dalam pengembangan moral anak usia dini yang berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi dan menu
pembelajaran anak usia dini memiliki substansi ruang lingkup kajian sebagai
berikut:
1.
Latihan hidup
tertib dan teratur
2.
Aturan dalam
melatih sosialisasi
3.
Menanamkan sikap
tenggang rasa dan toleransi
4.
Merangsang sikap
berani, bangga dan bersyukur, dan bertanggung jawab
5.
Latihan
pengendalian emosi dan
6.
Melatih anak
untuk dapat menjaga diri sendiri.
F.
Alat
Penilaian Dalam Pengembangan Moral dan Disiplin
Sekolah juga mempunyai tanggung jawab menilai
anak-anak untuk mengidentifikasi masalah pembelajaran yang potensial dan
memberi tindakan penyembuhan yang sesuai bagi anak-anak yang membutuhkannya.
Diagnosis dan penyaringan untuk mengenali anak-anak yang mungkin membutuhkan
evaluasi dan campur tangan pendidikan lebih lanjut yang dituntut oleh
undang-undang federal, merupakan langkah yang penting dalam merancang sebuah
rencana pendidikan Individual Educational Plan (IEP).
Kemudian juga, karena anak-anak bersekolah, maka
penilaian dan evaluasi itu sangatlah penting. Informasi yang diperoleh lewat
penilaian memberi tahu para guru mengenai daya guna kurikulum atau program.
Dengan informasi ini, para guru dan sekolah memperoleh pengertian lebih baik
mengenai apa dan bagaimana cara mereka merubah dan memperbaiki program dan
kurikulum guna meningkatkan kegunaannya. Maka dari itu, hal ini membutuhkan alat
penilaian dalam pengembangan moral dan disiplin yang diantaranya:
1.
Pengamatan
Setiap hari, para guru secara sepontan mengamati anak-anak, berbicara
dengan mereka, dan berpikir mendalam mengenai pertumbuhan dan pembelajaran
anak, bertanya kepada diri sendiri, “apa yang dilakukan Sasha hari ini ?” atau
berkata, “Asep sedang membuat kemajuan yang baik di bidang belajar huruf-huruf.
Ia memperlihatkan bahwa ‘A’ pada namanya adalah huruf ‘A’yang sama pada awal nama
Alisa”.
2.
Daftar Periksa dan Skala Pemeringkatan
Pengamatan yang lebih terstruktur dapat dilakukan dengan menggunakan
daftar cek dan skala-skala tingkat. Para guru bisa merancang ini untuk maksud
khusus, seperti untuk menemukan keterampilan pemetaan mana yang digunakan
anak-anak secara spontan ketika mereka bermain, bagaimana mereka menggunakan
bahan-bahan matematika yang diterapkan di bidang mengurus rumah tangga, atau
keterampilan sosial mana yang sedang berkembang.
3.
Wawancara Terstruktur
Para guru bisa menggunakan jenis wawancara terstruktur yang sama untuk
memeriksa pemahaman anak tentang konsep, kenyataan, perasaan mereka, atau
situasi-situasi sosial. Sebagaimana karya hidup Piaget didasarkan pada
pengamatan terhadap anak-anak. Pengamatan terhadap ketiga anaknya sendiri
menuntun dia ke pengembangan metode klinis, yang menggabungkan pengamatan
terhadap anak-anak dengan mengajukan pertanyaan, memeriksa, dan mengamati
kembali.
4.
Standar dan Pembanding Kinerja
Untuk menilai apa yang telah dipelajari anak-anak, mereka dapat diberi
tugas khusus untuk dikerjakan. Tugas itu langsung berhubungan dengan sasaran
dan tujuan kurikulum dan program. Misalnya, standar kesenian menyatakan bahwa
anak-anak harus mampu melakukan delapan gerak dasar: berjalan, berlari,
melompat-lompat dengan satu/dua kaki sekaligus, melompat dari atas ke bawah,
melompat cepat ke depan, berlari kencang meluncur, dan melangkah cepat. Untuk
menentukan apakah anak itu telah mencapai standar ini, guru hendaknya meminta
anak itu memperlihatkan gerak-gerak itu.
5.
Contoh Karya dan Portofolio
Portofolio adalah kumpulan karya anak-anak yang menggambarkan usaha,
kemajuan, dan prestasi mereka, dan berpotensi menyediakan dokumentasi kaya bagi
setiap pengalaman anak selama setahun. Jika portofolio itu harus dipakai
sebagai alat untuk menilai, mak pembuatan portofolio itu dianjurkan menggunakan
pendekatan yang relatif terstruktur. Penilaian portofolio, yang telah dibuat
untuk memprediksi secara tepat kinerja anak-anak dalam melaksanakan tes yang
dibakukan dan seluruh kinerja di sekolah, sangat dihargai oleh para guru, orang
tua dan anak-anak.
6.
Evaluasi Diri
Anak-anak yang tahu diri sendiri mengetahui apa yang mereka lakukan
dengan baik dan apa yang perlu mereka pelajari, memiliki identitas diri yang
kuat, dan bisa mengendalikan perilaku dan pembelajarannya. Melibatkan anak-anak
ke dalam evaluasi diri mereka sendiri merupakan salah satu cara membina
perasaan tentang ketepat gunaan atau pengendalian.
7.
Tes Standar
Anak-anak usia tiga, empat, dan lima tahun boleh diberi beberapa jenis
tes standar yang berbeda, yang mencakup:
a.
Tes kesiapan belajar
Tes kesiapan belajar disusun agar mampu menilai kemampuan anak-anak
memanfaatkan pelajaran berikutnya.
b.
Tes kemajuan belajar
Tes kemajuan belajar dirancang untuk menilai apa yang sudah diajarkan
kepada anak atau sudah dipelajari dalam suatu bidang pengajaran, atau
sekurang-kurangnya menentukan sampel mengenai apa yang dapat dibuat anak pada
saat itu.
c.
Tes saringan dan diagnostik
Menurut undang-undang, sekolah bertanggung jawab mengidentifikasi potensi
masalah pembelajaran dan menyediakan tindakan penyembuhan bagi anak-anak yang
dalam bahaya. Diagnosis dan penyaringan terdiri dari prosedur penilaian singkat
yang dirancang untuk mengidentifikasi anak-anak yang mungkin memerlukan
evaluasi dan campur tangan pendidikan lebih lanjut.
d.
Tes kecerdasan
Secara
khusus, tes ini mengukur kecerdasan abstrak- kemampuan serta melihat
hubungan-hubungan, membuat generalisasi, dan menghubungkan dan mengorganisasikan
gagasan yang disampaikan dalam bentuk lambang.[6]
[1] Mursyid, Manajmen lembaga
pendidikan anak usia dini, Akfi media, semarang,2010,Hal.4
[2] Danar santi,Pendidikan anak
usia dini antar teori dan praktek,Pt. Matanan jaya cemerlang,2009,hal,47-48
[3] Tohirin, Psikilogi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005,hal.49.
[4] Jalaluddin, Psikologo Agama,
Raja Grafindo Persada, Jakarta,1996, hal.65.
[5] Santrock,Life-Span
Development.2001
[6] CarolSeefeldt dan Barbara, Pendidikan
Anak Usia Dini,PT.Indek,2008, Hal.234-251
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !