I.
PENDAHULUAN
Manusia
beraktivitas, berinteraksi dengan sesamanya bergantung dari kesanggupannya
dalam berfikir yang biasa disebut inteligensi. Inteligensi seseorang akan
tampak pada perbuatannya. Misalnya, orang yang pandai ilmu pasti, maka disebut
berinteligensi di bidang abstrak. Sama halnya jika ia pandai bergaul dalam
masyarakat, maka ia disebut berinteligensi di bidang sosial, dan lain-lain.
Intelektual
sering dijadikan indikator berhasil tidaknya siswa di sekolah. Inteligensi
setiap individu berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik harus mengerti betul
inteligensi setiap peserta didiknya. Jangan sampai salah mengenali. Misalnya, orang
tua siswa berasumsi bahwa anak yang pintar ialah yang menguasai ilmu pasti.
Maka dari itu, si anak harus masuk jurusan ilmu alam. Padahal, si anak lebih mampu dan berminat di bidang
ilmu sosial. Mindset inilah yang
perlu dibenahi. Sebagai pendidik pun semestinya peka terhadap hal ini. Tidak
hanya diukur dari nilai hasil belajar saja, melainkan berdasarkan survei minat
siswa. Dengan begitu, inteligensi siswa akan ditingkatkan sesuai dengan
bidangnya.
Dalam
mempelajari inteligensi peserta didik, maka pendidik perlu mengetahui definisi
dan konsep inteligensi, cara mengukur inteligensi, dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Semua itu akan dibahas dalam makalah sederhana ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pengertian dan konsep
inteligensi? Pengertian IQ
B. Bagaimana
mengukur tingkat IQ?
C. Bagaimana
cara menyikapi tes IQ?
D. Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi inteligensi manusia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Konsep Inteligensi
Beberapa ahli
menekankan fungsi inteligensi untuk membantu penyesuaian diri seseorang
terhadap lingkungannya. Beberapa ahli lain menekankan struktur inteligensi
dengan menggambarkan sebagai suatu “kecakapan”.[1]
1.
Menurut
bahasa, inteligensi diartikan sebagai kemampuan umum dalam
memahami hal-hal yang abstrak.
2.
Menurut
istilah, inteligensi didefinisikan sebagai kesanggupan
seseorang untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan dapat diabstraksikan
pada suatu kualitas yang sama.[2]
Definisi
dari beberapa ahli:
1.
William
Stern
Inteligensi adalah
kesanggupan jiwa untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan baru dengan
sadar, dengan berfikir cepat dan tepat.[3]
2.
Konsep
g Charles Spearman
Inteligensi terdiri
dari (a) kemampuan bernalar yang sifatnya alamiah dan tunggal (general factor) yang digunakan untuk
menyelesaikan berbagai tugas, serta (b) sejumlah kemampuan khusus (specific factors) yang digunakan untuk
menyelesaikan tugas-tugas spesifik.[4]
3.
Raymond
Cattel
Ada dua komponen yang
berbeda dari inteligensi umum (g),
yaitu fluid intelligence atau kemampuan memperoleh pengetahuan secara
cepat dan beradaptasi terhadap situasi baru secara efektif, dan crystallized intelligence atau
pengetahuan dan keterampilan yang terakumulasi dari berbagai pengalaman,
sekolah, dan budaya.
4.
Howard
Gardner
Definisi kecerdasan
menurut Gardner:
a. Kecakapan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.
b. Kecakapan
untuk mengembangkan masalah baru untuk dipecahkan.
c. Kecakapan
untuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang bermanfaat di dalam
kehidupannya.[5]
Orang memiliki
kemampuan yang berbeda-beda, atau disebut juga multiple intelligence, yang terdiri dari inteligensi bahasa,
inteligensi logika-matematika, inteligensi spasial (kemampuan memperhatikan
detil-detil pada hal yang dilihat), inteligensi musik, inteligensi kinestetis-ragawi,
inteligensi intrapersonal, dan inteligensi naturalis atau inteligensi
interpersonal (kemampuan mengenali pola-pola di alam).[6]
5.
Robert
Sternberg
Spekulasinya tentang
hakikat inteligensi ada tiga distingsi, disebut triarchic theory. Pertama, ia menyatakan bahwa orang dapat lebih
atau kurang inteligen dalam tiga bidang yang berbeda, yaitu inteligensi analitis, inteligensi kreatif,
dan inteligensi praktis. Sternberg juga berpendapat bahwa perilaku yang
inteligen melibatkan interaksi ketiga faktor, yaitu konteks lingkungan, pengalaman,
dan proses-proses kognitif. [7]
6.
Thurstone
Inteligensi adalah
kesanggupan secara keseluruhan, meliputi sejumlah kesanggupan khusus atau
disebut primery mental abilities sebagai
kesanggupan untuk cepat dan teliti melihat sesuuatu akan kesamaan dan
perbedaan, juga kesanggupan untuk mengerti dan memakai bahasa kesanggupan untuk
berfikir secara deduktif dan induktif dan lain-lain.
7.
Binet
Inteligensi yaitu
pengertian penemuan sesuatu yang baru, ketetapan hati, dan pengeritikan diri
sendiri.
8.
Woodworth
Inteligensi meliputi
aspek pengenalan sesuatu yang penting, juga penyusunan diri dengan situasi yang
baru dan ingatan.
9.
Dearborn
Inteligensi adalah
kesanggupan untuk belajar dari pengalaman.
10. Terman
Inteligensi ialah
kesanggupan untuk beajar secara abstrak.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
inteligensi merupakan reaksi mental dan fisik yang dijalankan secara cepat,
gampang, sempurna dan dapat diukur dengan prestasi.[8]
Inteligensi menunjuk pada cara individu berbuat, apakah berbuat dengan cara
yang cerdas atau kurang cerdas atau tidak cerdas sama sekali. Suatu perbuatan
yang cerdas ditandai oleh perbuatan yang cepat dan tepat.
Kepribadian
individu merupakan satu kesatuan, tapi dapat dibedakan dalam beberapa aspek,
yaitu intelektual, fisik-motorik, sosial, dan emosional. Aspek intelektual sisi
kekuatannya lebih menonjol sedang aspek lain seperti emosional karakteristiknya
yang lebih tampak. Aspek intelektual
disebut juga kecakapan (ability)
merupakan suatu kemampuan (potensial dan nyata) dalam mengenal, memahami,
menganalisis, menilai dan memecahkan masalah-masalah dengan menggunakan rasio
atau pemikiran.
Kecakapan :
1.
Kecakapan
potensial atau kapasitas (masih tersembunyi, masih kuncup belum
termanifestasikan dan dibawa sejak lahir), ada dua macam:
a.
Kapasitas umum
(inteligensi) atau kecerdasan
b.
Kapasitas khusus
(bakat atau aptitude) yang disebut
inteligensi jamak atau “multiple
intelligence”.
2.
Kecakapan nyata
(sudah terbuka, sudah termanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan dan
perilaku, dan berpangkal pada kecakapan potensial).[9]
3.
Menurut
arah/hasilnya, kepemilikan individu terhadap kecerdasan dapat dibedakan menjadi
dua:
a.
Inteligensi
Praktis
yaitu
inteligensi untuk bisa mengatasi situasi sulit dalam suatu kerja yang
berlangsung secara cepat dan tepat. Contoh: anak yang naik sepeda di jalan yang
ramai, ini memerlukan inteligensi praktis.
b.
Inteligensi
Teoritis yaitu inteligensi untuk bisa mendapatkan suatu
pikiran penyelesaian masalah yang berlangsung secara cepat dan tepat. Ini
berlaku dalam ilmu pengetahuan seperti ilmu alam, sosial dan teknologi.[10]
B.
Cara
Mengukur Inteligensi
Untuk menyelidiki sifat, luas dan batas inteligensi
seseorang digunakan “tes inteligensi”.[11] Pengukuran
kecerdasan (IQ) lebih diarahkan kepada mengukur kecakapan berbuat, kecakapan
melakukan proses, atau kecakapan dasar yang diperlukan sebagai dasar penguasaan
materi atau pengetahuan. Pengukuran kecakapan nyata atau achievement lebih diarahkan kepada mengatur penguasaan pengetahuan
atau materi. Pengukuran kecerdasan diusahakan benar-benar mengukur kecakapan
dasar, bukan hasil belajar, bebas dari pengaruh pengalaman atau kebudayaan. Ada
beberapa jenis tes yang bisa digunakan untuk mengukur IQ, antara lain:
a.
Fase persiapan,
hal ini terjadi ± sampai tahun 1915. Pada saat itu para ahli sedang berusaha
untuk mendapatkan model atau bentuk yang akan digunakan untuk test inteligensi,
dan usaha yang diperolehnya baru bersifat konsep. Karena itu, (konsep) belum
dapat diaplikasikan ketika akan melakukan test inteligensi.
b.
Fase naif, atau
pengguna test inteligensi yang sudah tersusun tanpa adanya kritikan. Fase ini
terjadi ± tahun 1915 hingga ± tahun 1935, di mana para ahli berupaya untuk
menggunakan hasil rancangan test inteligensi yang sudah tersusun dalam berbagai
hal kehidupan, sesuai dengan lingkup yang akan dibahas dalam test tersebut.
Hasil test bisa digunakan sebagai pra syarat pemilihan calong pegawai, calon
militer atau calon petugas/karyawan lainnya, dan calon-calon siswa yang akan
masuk sekolah ke jenjang berikutnya.
c.
Fase yang bebas
dari pengaruh kebudayaan melalui bahasa, fase ini diprakarsai oleh Goodenough
dan Porteus.
d.
Fase kritis atau
masa sekarang, terjadi sejak tahun 1950 hingga sekarang.
2.
Tes
Inteligensi Binet
Tes
kecerdasan ini adalah yang tertua. Disusun tahun 1905 oleh Alfred Binet, ahli
psikologis Prancis. Tes Binet diperuntukkan bagi anak usia 2-15 tahun.
Keterangan:
a.
IQ : intelligence quotient atau kecerdasan
b.
MA : mental age atau usia mental. Diperoleh
dari sekelompok pertanyaan yang dijawab betul oleh sejumlah besar individu
dengan umur yang sama.
c.
CA : chronological age atau usia kalender
d.
100 : konstanta
atau bilangan tetap, diusulkan oleh Stern dan Terman untuk menghindari angka
pecahan dalam satuan IQ
Misal,
seorang anak berusia 6 tahun diajukan 5 pertanyaan. Jika dijawab semua, lalu
diajukan pertanyaan di atasnya (6, 7, 8, 9 tahun, dan seterusnya) sampai tidak
ada lagi yang bisa terjawab. Tapi jika pertanyaan pertama ada yang salah,
diajukan pertanyaan di bawahnya (5, 4 tahun) sampai bisa dijawab semua. Bila
jawaban benar diberi tanda (● ) dan (X) bila salah.
Umur
CA
|
Jawaban
|
Nilai MA
|
|||||
6
tahun
|
●
|
●
|
●
|
●
|
●
|
●
|
6
|
7
tahun
|
●
|
X
|
●
|
●
|
●
|
|
|
8
tahun
|
●
|
●
|
X
|
X
|
X
|
|
|
9
tahun
|
X
|
X
|
●
|
X
|
X
|
|
|
10
tahun
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
|
-
|
Jumlah
|
|
Maka, MA-nya = 7 CA = 6
Jadi, IQ = = ± 123
3. Wechsler
Tes
pertama disusun tahun 1939 dan diberi nama Wechsler Belleveu Intelligence Scale
disingkat WBIS, dan direvisi tahun 1955 dengan nama Wechsler Adult Intelligence
Scale (WAIS). Tes ini diperuntukkan untuk dewasa. Untuk anak-anak, Wechsler
juga mengembangkan tes sejenis yang diberi nama Wechsler Intelligence Scale for
Children atau WISC, diterbitkan tahun 1949. Tes ini terdiri atas dua bentuk
yaitu berbentuk verbal dijawab dengan bahasa, tulis dan lisan, dan tes
perbuatan berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan, seperti menyusun balok,
menyusun guntingan gambar, dll.[13]
4. Tes Progressive
Matrices (PM)
Ada
yang berwarna, yaitu untuk anak kecil (s.d 10 tahun) dan tidak berwarna untuk
anak besar (11 s.d 14 tahun). Untuk dewasa juga disediakan Advance Progressive Matrices atau APM.
Sebaran
penduduk menurut kategori kecerdasannya:
IQ
|
Kategori
|
Persentase
|
140
– ke atas
130 – 139
120 – 129
110 – 119
90 – 109
80 – 89
70 – 79
50 – 69
25 – 49
Di bawah 25
|
Genius
Sangat cerdas
Cerdas
Di atas normal
Normal
Di bawah normal
Bodoh (dull)
Debil (moron)
Imbecil
Idiot
|
0,25%
0,75%
6%
13%
60%
13%
6%
0,75%
0,20%
0,05%
|
a. Idiot
Tingkatan
ini termasuk kelompok individu terbelakang. Hanya mampu mengucapkan beberapa
kata saja. Juga tidak mampu mengurus diri sendiri, makan, minum, berpakaian,
dll. Mereka tidak dapat ditugasi sekalipun sangat sederhana. Pada umumnya harus
berbaring selama hidup. Badan lemah, rentan terhadap penyakit, tidak mengetahui
bahaya. Tidak bisa dididik dan kebanyakan berumur pendek.
b. Embisil
Masih
dapat belajar bahasa, bisa mengurus diri sendiri, ditugasi ringan seperti
mencuci piring, mengepel lantai. IQ-nya rata-rata = anak normal usia 3-7 tahun
(MA = 3-7), tidak bisa sekolah bersama anak-anak normal.
c. Debil
Dapat
membaca, menulis, berhitung dalam hitungan-hitungan sederhana. Banyak di
sekolah anak-anak normal, di sekolah masyarakat kurang atau belum maju.
d. Bodoh/Dull
Di
bawah kelompok normal dan di atas kelompok terbelakang. Agak lambat dalam
belajar. Ada yang sulit menuntaskan SLTP, ada yang bisa menyelesaikan SLTP,
tapi sulit tuntas SLTA.
e. Normal
Kelompok
terbesar presentasenya di masyarakat. MA rata-rata = CA-nya.
f. Pandai
Termasuk
kategori high average (di atas
normal)
g. Cerdas
Pada
tingkatan ini, mereka mampu menyelesaikan pendidikan akademi dan biasanya jadi leader.
h. Sangat Cerdas
Over
genius, memecahkan masalah-masalah yang rumit dan sulit.[14]
C. Cara Cerdas
Menyikapi Skor Inteligensi dan IQ
Skor IQ
seringkali memang memprediksikan
prestasi sekolah, meskipun tidak sepenuhnya tepat. Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan hubungan antara skor tes IQ dan prestasi sekolah:
1.
Inteligensi tidak
niscaya mempegaruhi prestasi, melainkan hanya sekedar berkolerasi. Meskipun
siswa yang memiliki skor IQ tinggi biasanya memperlihatkan performa yang baik
di sekolah, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa prestasi mereka yang tinggi
disebabkan karena inteligensinya saja. Inteligensi mungkin memainkan peranan
penting terhadap prestasi sekolah, namun banyak faktor lain juga yang terlibat;
motivasi, mutu pengajaran, fasilitas dalam keluarga, dukungan orang tua,
harapan teman-teman sebaya, dan sebagainya.
2.
Hubungan antara
skor-skor IQ dan prestasi tidaklah sempurna, terdapat banyak perkecualian.
Karena berbagai alasan, siswa yang skor IQ-nya tinggi tapi tidak memperlihatkan
prestasi yang baik di sekolah. Sementara siswa lain memperlihatkan prestasi
sekolah yang jauh lebih tinggi dari yang diprediksikan berdasarkan skor IQ-nya
saja.
3.
Skor IQ bisa
berubah. Skor IQ memprediksikan prestasi sekolah dalam waktu singkat,
katakanlah satu atau dua tahun mendatang. Skor IQ kurang berguna untuk waktu
jangka panjang, apalagi skor tersebut diperoleh saat masa prasekolah atau
sekolah dasar.[15]
Maka dari itu, kita perlu menyikapi hasil test IQ dengan
benar, misalnya:
1.
Anggaplah
tes-tes inteligensi sebagai suatu bentuk pengukuran berguna namun tidak
sempurna. Sebab tes-tes inteligensi juga memiliki keterbatasan seperti, tes
yang berbeda memberi skor yang berbeda pula, performa siswa pasti dipengaruhi
berbagai faktor yang bersifat sesaat, item-item tes biasanya berfokus pada
keterampilan-keterampilan yang penting dalam arus utama budaya barat, khususnya
dalam setting sekolah, dan kadangkala
siswa tidak terbiasa dengan isi atau jenis tugas dalam tes.
2.
Gunakan
pengukuran-pengukuran yang lebih terfokus ketika Anda ingin menilai kemampuan
spesifik.
3.
Carilah
perilaku-perilaku yang memperlihatkan talenta yang luar biasa dalam konteks
budaya siswa.
4.
Ingatlah bahwa
terdapat banyak faktor yang juga mempengaruhi prestasi.
5.
Sediakan lingkungan
yang dapat mendukung pertumbuhan intelektual dan perilaku inteligen.
D.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Inteligensi
1. Hereditas
atau Pembawaan
Salah
satu faktor penentu tinggi rendahnya inteligensi seseorang ditentukan oleh
sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Pandangan ini dipengaruhi
oleh aliran filsafat (nativisme) yang beranggapan bahwa setiap manusia
dilahirkan sudah membawa potensi-potensi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi
lingkungan. Taraf Inteligensi seseorang ialah 75-80% keturunan, juga adanya
rangkaian hubungan antara pertalian keluarga dengan ukuran IQ.[16] Dengan
demikian, taraf inteligensi relatif sama ditentukan pada individu-individu yang
mempunyai pertalian keluarga yang kuat.
2. Lingkungan
Pemahaman
tentang faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya inteligensi ditentukan oleh
lingkungan (pendidikan dan pengalaman) dipengaruhi teori empirisme John Locke. Ia berpendapat bahwa
manusia dilahirkan dalam kondisi suci (tabularasa). Lingkungan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Lingkungan
fisik, meliputi segala sesuatu dari molekul yang ada di sekitar janin sebelum
lahir
b. Lingkungan
sosial, meliputi seluruh manusia yang secara potensial mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Faktor
hereditas maupun lingkungan memiliki pengaruh yang relatif sama. Bahkan
keduanya dapat disatukan, misalnya saja sesuai dengan teori konvergensi William
Stern.
[1] Slameto,
Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta:
Rineka Cipta),
2010, hlm. 129.
[3]
Baharuddin,
2009, Psikologi Pendidikan: Refleksi
Teoritis terhadap Fenomena, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), 2009, hlm. ?
[4]
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid 1, (Jakarta: Erlangga), 2009, hlm 211.
[5] Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi
Proses Pendidikan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya),
2009, hlm. 96.
[6]
Opcit,
hlm. 212.
[7] Jeanne
Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan
Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid
1, (Jakarta:
Erlangga),
2009, hlm. 214.
[8]
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2009, hlm. 138.
[10] Baharuddin,
Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoritis
terhadap Fenomena, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media),
2009, hlm. 127
[13] Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi
Proses Pendidikan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya),
2009, hlm. 100.
[14]
Baharuddin, Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoritis
terhadap Fenomena,(Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media),
2009, hlm. 132-134.
[15]
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh
dan Berkembang Jilid 1, (Jakarta: Erlangga), 2009, hlm. 219.
thanks... wacana bermanfaat
ReplyDelete