I.
PENDAHULUAN
Utang piutang dalam
pengertian umum mirip dengan jual beli karena utang piutang merupakan bentuk
kepemilikan atas harta dengan imbalan harta.Dalam suatu contoh adalah utang
piutang dengan jaminan tanah untuk melunasi utang yang belum lunas.
Tanah sebagai harta
yang bernilai ekonomi memiliki karakterustik khusus dalam hal
perolehannya.Tanah merupakan benda mati yang dapat diambil manfaatnya oleh
pemiliknya.Dalam hal pergadaian tanah bisa dijadikan sebagai marhun atau barang yang digadaikan,
karena tanah dapat diambil manfaatnya sehingga memungkinkan dapat digunakan
untuk melunasi hutangnya.
II.
DASAR HUKUM
A.
Al-Qur’an
“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”(Q.S Al Baqarah:245)
B.
As-Sunnah
Dari Ka’bah bin Umar, ia berkata: aku pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda:
من أنظز
معسرا أووضع عنه اظله الله افى ظله
“siapa yang memberikan penangguhan kepada orang yang dalam kesulitan
atau membebaskannya, niscaya Allah akan menyayanginya dibawah naunganNya.” (HR
Muslim)[1]
C.
Pendapat Ulama’
Syafi'iyah:
جعل عين وثيقة بدين يستو
فى منها عند تعذ روفائه
Gadai adalah menjadikan sesuatu benda
sebagai jaminan untuk utang, dimana utang tersebut tidak bisa dilunasi(dibayar)
dari benda jaminan tersebut ketika pelaksanaanya mengalami kesulitan.
Hanabilah:
ب انه المال الذي يجعل
وثيقة با الذين ليستوفى من ثمنه ان تعذراستيفاؤه ممن هو عليه
Gadai adalah harta yang dijadikan
sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya apabila terjadi
kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang berutang.
Malikiyah:
ب انه شيء متمول يؤ خذ
من مالكه تو ثقا به في دين لازم اوصارالى اللزوم
Rahn adalah sesuatu yang benilai harta
yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap mengikat
atau menjadi tetap[2].
Para ulama kaum
muslimin telah berijma‘ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
Adapun hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah
sesuatu yang dicela atau dibenci, karea Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah berhutang.(HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat
Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal
mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi.
Karena hutang, menurut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, merupakan
penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat
membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata
lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang
yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk
membayarnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan diampuni
orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).[3]
III.
ANALISIS
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa
ad-dawâm (tetap dan langgeng).
Sedangkan secara syar‘i,
ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa
dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal
(berhalangan) melunasinya.(4)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”
Apabila pelunasan utang
telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya
sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah
lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang
yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual
barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata
ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut.
Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka
orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya
Islam
menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang
membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi muqtaridh, utang bukanlah
perbuatan yang dilarang, melainkann diperbolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan
barang atau uang yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia
akan mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.Adapun hikmah disyariatkannya
hutang piutang dilihat dari sisi yang menerima utang adalah membantu mereka
yang membutuhkan. Dilihat dari sisi pemberi pinjaman, utang dapat menumbuhkan
jiwa ingin menolong orang lain.
Utang
berbeda dengan hibah, shadaqah dan hadiah yang merupakan pemberian yang tidak
wajjib dikembalikan.Sedangkan utang adalah pemberian kepemilikan atas suatu
barang dengan ketentuan bahwa barang tersebut harus dikembalikan sesuai
kesepakatan awal.Pengembalian barang ini dianjurkan untuk dilkukan secepatnya apabila
orang yang berhutang telah memiki uang atau barang untuk pengembalian.. Dalam
masalah pelunasan hutang, pihak yang berhutang diperbolehkan untuk menggadaikan
barang milik pribadinya. Sebagai contoh adalah tanah. Dalam hal ini bisa
digunakan jaminan pelunasan hutang sampai batas yang telah disepakati. Apabila
sampai batas waktu yang telah disepakati si peminjam tidak bisa mengembalikan
uang yang dihutag, maka si pemberi pinjaman berhak menguasai barang yang
dijadikan pinjaman tersebut.[4]
[1]
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif Bandung 1987) hlm 148
[2]Wahbah
Zuhaili,Al Fiqh al Islamy wa AdillatuhI, Jus
4, (Damaskus: Dar Al-Fikr 1989) hlm
180-181.
[3]Syaikh
Mahmoed s dan Syaikh M.Ali as-Syais,Perbandingan
Mazhab dalam Masalah Fiqih,(Jakarta:PT. Bulan Bintang,1993)hlm.305-307.
[4]
Ahmad Wardi Muslich.Fiqh Mu’amalat.(Jakarta:Amzah.2010)hlm
284-285
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !