I.
PENDAHULUAN
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan peradaban
dan perkembangan pola berpikir, maka semakin beraneka ragam pula hal-hal yang
dilakukan oleh bangsa manusia, baik yang murni dalam masalah sosial yang
bersifat keduniaan yang tidak memerlukan hukum-hukum untuk mengendalikan atau
membatasinya, hingga masalah-masalah umum yang memerlukan adanya suatu hukum
sebagai pedoman apakah suatu perkara itu diperbolehkan oleh hukum islam atau
tidak.
Bila suatu masalah
atau perkara-perkara baru itu sudah jelas ada ketetapan hukumnya dalam Al
Qur’an maupun Hadits Nabi, tentu hal itu bukanlah suatu masalah yang berarti,
karena semua itu dapat dikembalikan langsung kepada sumber-sumber hukum islam
untuk menentukan hukumnya. Namun apabila perkara tersebut belum terdapat dalam
dalil yang jelas dalam Al Qur’an atau Hadits Nabi, maka hal ini haruslah
diistinbatkan oleh ‘ulama-ulama tentang hukum suatu perkara tersebut
berdasarkan ijma’ mapun qiyas, yang mana kedua cara ini merupakan sumber hukum
islam yang ketiga dan keempat.
Di antara masalah-masalah baru yang memerlukan hukum
islam ini untuk memutuskan apakah masalah itu diperbolehkan oleh hukum islam
atau tidak yaitu tentang merusak jenazah untuk praktek dokter,yang insya Allah
akan dibahas dalam makalah ini.
II.
LANDASAN
HUKUM
A. Al-Qur’an
Artinya: "Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…"(Q.
S. Al Hajj: 78)
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.(QS.An Nisa’: 58)[1]
Artinya:“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia
jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia;
maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?”.(QS.Az Zumar: 6)[2]
B. Hadits
“Dari Aisyah berkata : Rosululloh bersabda :
“Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mu’min yang sudah meninggal seperti
mematahkan tulangnya saat dia masih hidup”.(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, Ahmad
dengan sanad shohih)”.
Berkata
Al Hafidl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari : “Hadits
ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang mu’min setelah dia meninggal sama
sebagaimana tatkala dia masih hidup.”[3]
C.
Pandangan Ulama’
Islam
sebagai agama yang telah
disempurnakan oleh Allah telah menetapkan beberapa kaidah untuk menjawab
permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rasulullah. Diantara kaedah tersebut
adalah:
إِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِىَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًابِارْتِكَابِ
أَخَفِّهِمَا[4]
“Apabila berbenturan antara dua
mafsadah maka di lakukan yang paling ringan mafsadahnya”( Al Qowaid Al Fiqhiyah
Syaikh As Sa’di hal : 45-48)[5]
III.
ANALISIS
Majlisul
Mujamma’ Al Fiqhi Al Islami dari Rabithah Al ‘Alam Al Islami dalam sebuah
daurah di Makkah pada hari Sabtu, 24 Shafar 1408 H. menyatakan, berdasarkan
atas beberapa faktor dharurat yang menuntut adanya autopsy (at tasyrih) pada
mayat, dan maslahat yang bisa diambil meski dengan merusak jasad di mayit, maka
majelis mengeluarkan beberapa ketetapan:
Pertama: Diperbolehkan melakukan autopsi mayat
untuk salah satu tujuan di bawah ini:
1. Investigasi
atas tuduhan kriminal untuk mengetahui
sebab-sebab kematian atau kejahatan yang dilakukan. Hal itu dilakukan manakala
seorang hakim kesulitan untuk mendapat informasi valid seputar sebab kematian
dan autopsi dipandang sebagai jalan
keluar.
2. Mengetahui
dan meneliti penyebab suatu penyakit yang untuk mengetahuinya diharuskan adanya
pembedahan atau autopsi. Sehingga penyakit bisa diidentifikasi dan dicari cara
penanggulangannya
3. Pembelajaran
medis seperti yang ada di beberapa jurusan kesehatan.
Kedua: Autopsi
untuk praktek (pembelajaran) harus menjaga beberapa hal berikut:
1. Jika
mayat diketahui identitasnya, maka harus ada ijin dari si mayit sebelum
meninggal atau ijin dari ahli warisnya. Sebab, dilarang membedah mayat orang
yang terjaga darahnya (muslim) kecuali karena dalam kondisi dharurat.
2. Autopsi
hendaknya pada bagian yang dibutuhkan saja agar tidak terjadi hal-hal yang
berlebihan.
3. Tidak
diperbolehkan mengautopsi mayat wanita selain ahli medis wanita, kecuali jika
mereka benar-benar tidak ada.
Ketiga: semua potongan dari organ
atau jasad mayat harus dikuburkan setelah pembedahan atau perkaranya selesai.[6]
Tidak selamanya
kemaslahatan dapat dinomorduakan meskipun sudah ada dalil atau nash yang telah
menjelaskan dan menetapkan hukumnya. Apabila kemashlahatan itu dirasa lebih
penting dan bahkan kemashlahatan itu bisa dikatakan sangat diperlukan, karena
menyangkut hak adami ataupun demi terciptanya kesejahteraan dalam kehidupan di
kemudian hari, maka suatu kasus atau permasalahan ini dapat atau boleh
dilaksanakan dengan dalih kemaslahatan. Untuk hal ini contohnya adalah dalam
hal kasus bedah mayat. Walaupun al Qur'an dan hadits telah melarangnya karena
untuk menghormati dan memuliakan manusia meskipun sudah meninggal dunia, namun
apabila pembedahan ini dilakukan dengan alasan seperti yang telah disebutkan di
atas, yaitu untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran, untuk penegakan
hokum, mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat (yang berkaitan dengan
hak adami), sampai untuk kepentingan menyelamatkan janin yang masih hidup dalam
rahim mayat, maka untuk menentukan hukumnya perlu dikaji ulang.
Menurut analisis
penulis, bedah mayat yang dilakukan dengan tujuan di atas, hukumnya dapat
dimaafkan, diperbolehkan bahkan ada yang diwajibkan bila itu berkaitan dengan
hak adami, apabila yang berkaitan menuntutnya, seperti yang terjadi dalam kasus
apabila ada barang berharga yang tertelan oleh mayat, di mana benda berharga
itu milik orang lain dan benda itu dirasa sangat berharga bagi pemiliknya yang
tidak bisa diganti dengan apapun.
Adapun mengenai dalil Al Qur'an dan
hadits nabi yang melarang atau mengharamkan bedah mayat itu, ditujukan kepada
pembedahan mayat yang dilakukan tanpa tujuan yang jelas atau bahkan dengan
tujuan untuk menyakiti perasaan keluarga yang ditinggalkan, seperti yang pernah
dilakukan oleh Wahsyi (sebelum masuk islam) kepada paman Nabi Muhammad SAW.,
Hamzah bin Abdul Muthalib, yang gugur dalam perang Uhud. Ketika itu Wahsyi
membedah mayat Hamzah untuk kemudian mengambil hatinya, dikunyah dan
dimuntahkan kembali. Tentu saja hal ini sangatmenyakitkan bagi keluarga yang
ditinggalkannya. Selain itu, mengapa Allah dan Nabi Muhammad SAW., melarang
dilakukannya pembedahan mayat, karena itulah merupakan sifat kasih sayang dan
penghormatan Allah dan Rasul-Nya kepada ummatnya, sehingga walaupun telah
meninggal dunia, manusia harus tetap dihormati sebagaimana layaknya orang yang
masih hidup. Wallahu A'lam.[7]
[1] Mahjudin, Masailul
Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia,
1990), hlm. 92-93.
[4] Ma’ruf Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Sejak 1975,
(Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 435.
[5]http://abinyaraafi.wordpress.com/2012/01/08/hukum-bedah-dan-otopsi-jenazah-muslim/, Sabtu, 1 Desember 2012 pukul 21:28.
[6]Selamat Hashim, Kematian dan Pengurusan Jenazah, (Malaysia: UTM PRESS, 2007),
hlm.211-212.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !