Headlines News :
Home » » AMAR DAN NAHI, NASIKH DAN MANSUKH DAN TAKWIL DAN TAFSIR

AMAR DAN NAHI, NASIKH DAN MANSUKH DAN TAKWIL DAN TAFSIR

Written By Figur Pasha on Wednesday, January 23, 2013 | 4:05 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

1.      PENGERTIAN
a.      Amar
            Amar didefinisikan sebagai permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Menurut  Abdul Hamid Hakim amar didefinisikan[1] :
طلب الفعل من الاعلى الى الادنى
“ Tuntutan untuk memperbuat sesuatu dari pihak atasan kepada pihak bawahan”
b.      Nahi
Pengertian Nahi menurut bahaswa adalah berarti larangan, sedangkan menurut istilah adalah [2]:
طلب التر ك من الاعلى الى الادنى
" larangan untuk meninggalkan sesuatu dari pihak atasan pada pihak bawahan “
2.      BENTUK – BENTUK AMAR DAN NAHI
a.      Amar
Menurut Khudari beik dalam bukunya “ Tarikh Al-Tasyri’”. Bentuk bentuk amar   disampaikan dalam berbagai redaksi, diantaranya :
a.       Perintah tegas dengan menggunakan kata amara امر dan yang seakar dengannya[3]. Contoh
ان الله يا مر بلعد ل والاحسان
Artinya: Sesungguhnya allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan.(QS. 16: 90)
b.      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan iyu diwajibkan. Contoh:
يا ايهالدين امنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى
Artinya: Hai orang- orag yang beriman, diwajibkn atas kamu Qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibuuh.(QS. 2 : 178)[4]
c.       Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan, namun yang dimaksud adalh perintah. Cotoh:
والمطلقا ت يتربصن بانفسهن ثلا ثة قروء ولا يحل لهن ان يكتمن ما خلق الله فى ارحا مهن
Artinya: Wanita- wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru’. Tidak  boleh mereka menyembunyikan apa yag diciptakan Allah dalam rahimnya.(QS. 2 : 228)
d.      Perintah dengan memakai kata perintah secara langsung. Contoh:
حا فطوا عالى الصلوا ت والصلات الوسطى وقوموا لله قا نتين
Artinya: Peliharalah shalatmu dan peliharalah shalat wustha. Dan berdirilah dalam shalatmu yang khusu’.
e.       Perintah degan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai lam amar. Contoh:
ثما ليقضوا تفثهم وليوا فوا ندوا رهم وليطوفوا بلبيت العتيق
Artinya: Kemudian (setelah menyembelih) hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan merekadan hendaklah menyempurnakan nazar mereka dan melakukn thawaf sekeliling ka’bah. (QS. 22 : 29).
f.       Perintah dengan menggunakan kata faradaفرض. Contoh:
قد علمنا ما فرضنا عليهم
Artinya: Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka…


b.      Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Beik. Allah juga memakai ragam bahasa, diantaranya:
a.       Larangan secara tegas dengan menggunakan kata NAHA yang secara bahasa berarti melarang.[5]
و ينهى عنى الفخشىء والمنكر...
Artinya: Dan Allah melarang kamu berbuat keji dan munkar.(QS 16 : 90 )
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan. Misalnya dalam surat Al-A’raf ayat 33.
قل انما حرم ربي الفوا حش.....
Artinya: Katakanlah tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji….
c.       Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan, misalnya ayat 120 surat al-An’am:
ودروا ظا هرالاثم وبا طنه.....
Artinya: Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi….
3.      KAIDAH-KAIDAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN AMAR DAN NAHI
a.      Amar
            Menurut Muhammad Adib Saleh ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan:
1.      Kaidah Pertama,  الاصل فى الامر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian , namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hokum wajib dilaksanakn kecuali ada indikasi atau atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Contoh dalam surah Annisa ayat 77, [6]

واقيموا الصلاة واتواالزكاة
Artinya: Dan dirikanlah salat dan tunuikanlah Zakat….( Qs. An Nisa:77 )

2.      Kaidah kedua دلالةالامرعلى التكراراو الوحدة, adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur  ulama Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang-ulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan sekali saja. Contohnya, ayat 196 surat Al Baqarah:

واتموا الحج والعمرة لله
Artinya:  Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah…. (QS. Al Baqarah : 196 )
3.      Kaidah ketiga,  دلالة الامر على الفواراو الترجي, Adalah  suatu perintah  haruskah dilakukan sesegera mungkin ataukah bisa ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu karena yang dimaksud oleh suatu perintah [7]
4.      hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushuk Fiqh. Menurut pendapat ini, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tapi dari dalail lain, misalnya secara umum terkandung dalam surah al Baqarah ayat 148:

فاستبقوا الخيرات
Artinya: Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan….. (QS. Al Baqarah : 148 )
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al Karkhi ( w. 340 H ), seperti dinukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatunperintah menunjukkan hokum wajib segera dilakukan . Menurut pendapat ini, barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah diawal waktunya, maka ia berdosa.

b.      Nahi
Para ulma fiqh, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Shalih. Merumuskan beberapa kaidah yang berkanaan dengan Nahi, antara lain:

1.      Kaidah pertama, الاصل في النهى للتحريم   , Artinya, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu. Contohnya dalam surah Al-Mu’min ayat 151 :
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق..
Artinya: Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan suatu sebab yang benar.

2.      Kaidah kedua, الاصل فى النهى يطلق الفسا د مطلقا  ,Artinya, suatu larangan menunjukkan fasad perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan.
 Cotohnya dalam surah Al- Isra’:
ولا تقريوا الزنى انه كان فخشة وسا ء سبيلا....
Artinya: Jangnlah kamu mendekati zina,sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk jalan.

3.      Kaidah ketiga,    النهى عن الشئ امر يضده  , Artinya , suatu larangan terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Contoh surah Lukman ayat 18 :
ولا تمشى في الارض مرحا ...
Artinya: Janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.[8]

A.    NASIKH DAN MANSUKH

1.      Pengertian
a.       Naskh
a.       Nasakh menurut bahasa berarti menghapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti.
b.      Sedangkan secara istilah Nasakh Ialah membatalkan sesuatu hukum dengan dalil lain yang dating kemudian. Yang dibatalkan disebut Mansukh, sedang yang membatalkan disebut Nasikh.[9]
c.       Menurut Al-Qur’an. Surat Al-Hajj : 52, naskh mengandung dua makna, yaitu menghilangkan sesuatu dan meniadakannya (izalah asy-syai wa I’damuh) dan memindahkan sesuatu atau mengubahnya, tetapi substansinya tetap)
b.      Mansukh
a.       Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil.
b.      Secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

2.      Proses Terjadinya Naskh
Az-Zarqani menjelaskan proses terjadinya naskh ditempuh dengan memenuhi empat persyaratan :
1.      Yang dinasakhkan itu hukum syar’i
2.      Dalil yang mengangkat hukum syar’I itu adalah dalil syar’i.
3.      Dalil yang mengangkat itu mempunyai tenggang waktu (al-tarkhi) dengan hukum pertama dan tidak mempunyai hubungan al-qaid dengan al-muqayyad dan al-ta’qit dengan al-muaqqad.
4.      Dalil antara keduannya bertentangan secara hakikat (ta’arudh hakiki)

3.      Syarat-Syarat Nasakh
1.      Nasikh harusb terpisah dari Mansukh.
2.      Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh.
3.      Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.
4.      Mansukh tidak dibataskan pada sesuatu waktu.
5.      Mansukh harus hukum-hukum syara’.[10]

4.      Macam Dan Jenis Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
1)      Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.[11]
Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13
2)      Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a.       Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan
b.      Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.  Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh   Menurut  jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4 Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
3)      Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura. Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
4)      Nasakh Sunah dengan Sunah.
Bagi Jumhur ulama’  nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang  Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.

5.      Hikmah Adanya Naskh
Ada macam-macam hikmah yang dapat ditarik dari nasikh mansukh, yaitu:
a.       Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
Sebagai alasan adanya naskh yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa umat ke derajat yang lebih tinggi akhlak dan tingkat peradapannya.
b.      Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberikan keringanan kepada Hamba-Nya dan menunjukan karunia Allah SWT, dan rahmat-Nya. Dengan demikian, hamba-Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan dan mencintai agama-Nya.
c.       Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh dan mansukh tidak  memberikan petunjuk mana yang ringan dan berat. Pada ulama menafsirkan hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi hamba-Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka yang betul-betul beriman.

B.     TAFSIR DAN TA’WIL


 1.Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar  yang artinya menyingkap dan melahirkan.Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit dalam Al-Qur’an, didalam Al-Qur’an disebutkan tentang makna tafsir :
اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِير

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25:33)
Jadi tafsir secara bahasa adalah menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan, memberikan perincian atau menampakkan.
Adapun tafsir menurut istilah adalah terdapat banyak pendapat :
a.      Tafsir menurut Al-Kilab Dalam At-tashil adalh menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuan.
b.      Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.


2.      Pengertian Ta’wil
Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl (أوّل يؤوّل ), artinya kembali. Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
a.       Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
b.      Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam).
              Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah  perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan. Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.[12]

3.       Metode Penafsiran.
Adapun metode yang ditempuh untuk menafsirkan al-qur’an ataupun hadits adalah:
1.      Metode Tahlily(metode analisis)
2.      Metode Ijmaly(metode global)
3.      Metode Muqaran(metode Komparasi/perbandingan)
4.      Metode Maudlu’i(metode tematik).

4.      Macam-macam Ta’wil
Adapun macam-macam ta’wil dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1.      Dilihat dari segi relevasinya, ada dua bentuk ta’wil yaitu:
a.       Ta’wil maqbul, adalah ta’wil yang memenuhi persyaratan yang ditentukan ahli ushul fiqih.
b.      Ta’wil ghoiru maqbul, atau ta’wil yang ditolak yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2.      Dilihat dari segi pemahamannya, ada dua bentuk ta’wil yaitu:
a.       Ta’wil Ba’id, adalah pengalihan dari makna lahir suatu lafadz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
b.      Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zahirnya, sehingga dengan bentuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.


5.      Syarat-syarat Ta’wil
            Adapun syarat-syarat ta’wil adalah:
1.      Lafal itu dapat menerima ta’wil lafal zahir dan lafal nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2.      Lafal itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafal tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk dita’wil,serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut
3.      Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil
4.      Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada.


[1]H.Zen  Amirudin.ushul Fiqh. Teras: Yogyakarta. 2009.
[2]Ibid.hal.124.
[3] H.A Mu’in. dkk. Ushul Fiqh. Jakarta: Depag.1986
[4] Departemen Agama.Al-Qur’an dan Terjemah.Semarang:Toha putra.1998.
[5] H.A Mu’in.op.cit
[6] Muchlis Usman.Kaidah-Kaidah Ushuliyah  dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers
[7] A. HAnafie.Ushul Fiqh.Jakarta:Widjaya.1980.
[8] Departemen Agama.op.cit.
[9] A, Hanafie.op.cit.
[10] Ibid.hal.93.
[11] Muchlis Usman.op.cit
[12] As Suyuthi, 1979:I, halaman:173

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template