Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya peserta didik. Peserta didik merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pendidik apabila tidak ada yang dididiknya.
Peserta didik adalah orang yang memiliki potensi dasar, yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis, baik pendidikan itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun dilingkungan masyarakat dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus memahami hak dan kewajibannya serta melaksanakannya. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh peserta didik, sedangkan kewajiaban adalah sesuatu yang wajib dilakkukan atau dilaksanakan oleh peserta didik.
Namun itu semua tidak terlepas dari keterlibatan pendidik, karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang dimensi-dimensi yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik itu sendiri, kalau seorang pendidik tidak mengetahui dimensi-dimensi tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan, dan peserta didikpun juga tidak mengenali potensi yang dimilikinya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang dua jenis hasad yang dibenarkan agama, tiga golongan yang mempunyai dua pahala, larangan mempersoalkan sesuatu yang didiamkan, dan tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Peserta didik adalah orang yang memiliki potensi dasar, yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik secara fisik maupun psikis, baik pendidikan itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun dilingkungan masyarakat dimana anak tersebut berada.
Sebagai peserta didik juga harus memahami hak dan kewajibannya serta melaksanakannya. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh peserta didik, sedangkan kewajiaban adalah sesuatu yang wajib dilakkukan atau dilaksanakan oleh peserta didik.
Namun itu semua tidak terlepas dari keterlibatan pendidik, karena seorang pendidik harus memahami dan memberikan pemahaman tentang dimensi-dimensi yang terdapat didalam diri peserta didik terhadap peserta didik itu sendiri, kalau seorang pendidik tidak mengetahui dimensi-dimensi tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut akan sulit dikembangkan, dan peserta didikpun juga tidak mengenali potensi yang dimilikinya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang dua jenis hasad yang dibenarkan agama, tiga golongan yang mempunyai dua pahala, larangan mempersoalkan sesuatu yang didiamkan, dan tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
B. Hadits dan Terjemah
1. Dua Jenis Hasad yang dibenarkan Agama
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيهِ وسَلَّمَ لاَحَسَدَ اِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ اَتَاهُ اللَّه مَالاَ فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ اَتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. (اخرجه محمدبن اسمعل البخاري في الكتاب العلم)[1
Artinya: “Dari Abdillah Ibn Mas’ud ra. berkata bahwa Rasulullah saw. Barsabda, “tidak boleh menginginkan kekayaan orang lain, melainkan dua macam. Orang yang diberi oleh Allah kekayaan, maka dipergunakan untuk membela hak kebenaran dan orang yang diberi oleh Allah ilmu pengetahuan hikmat maka diajarkan kepada semua orang.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Isma’il al Bukhari dalam kitab Ilmu).[2]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي الله عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسّلَّمَ يَقُولُ: (لاَ حَسَدَ إِلاَّ عَلَى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ الله اْلكِتَابَ وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ الله مَالَا فَهُوض يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ). (اخرجه البخاري في كتاب العلم).[3
Artinya: “Dari Abdillah bin ‘Umar ra berkata bahwa saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada hasad (iri) –yang dianjurkan- kecuali dalam dua perkara: (yaitu) orang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu dia mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Isma’il al Bukhari dalam kitab Ilmu).[4]
2. Tiga Golongan yang Punya Dua Pahala
عَنْ أبي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ ثَلَا ثَةٌ لَهُمْ أَجْرَانِ رَجُلٌ مِنْ اَهْلِ الْكِتَابِ امَنَ بِنَبِيِّهِ وَامَنَ بِمُحَمَّدٍ صَلَ الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ وَالْعَبْدُ المَمْلُوكُ أِذَا أَدَّى حَقَّ الله وَحَقَّ مَوَ الِيهِ وَرَ جُلُ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَةٌ فَأَدَّبٍهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيَهَاوَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِ يَهَاوَعَلَّمَهَافَأَ حْسَنَ تَعْلِيمَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَحَا فَلَهُ أَجْرَانِ ثُمَّ قَالَ عَامِرٌاَعْطَيْنَا كَهَابِغَيرِ شَيْءٍقَدْ كاَنَ يُرْ كَبُ فِيمَا دُونِهَاأِلَ اْلمَدِ ينَةِ. (اخرجه البخاري في في كتاب فضا ئل القران)[5
Artinya: “Dari Abu Burdah ra. Dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Ada tiga golongan manusia yang mendapat dua pahala sekaligus, yaitu: 1) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang percaya kapada Nabinya dan percaya pula kepada Nabi Muhammad SAW. 2) Hamba sahaya yang menunaikan hak Allah dan hak kepada majikannya, dan 3) laki-laki yang mempunyai hamba sahaya wanita dia mendidikadab atau akhlak dan ilmu pengetahuan sehingga pendidikannya menjadi baik, kemudian memerdekakannya lalu mengawininya.. Maka ketiga golongan orang tersebut mendapat dua pahala”. (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Isma’il al Bukhari dalam kitab Fadha’il Qur’an).[6]
3. Larangan Mempersoalkan Sesuatu yang Didiamkan
عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ. قَالَ: خطبنا رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيهِ وَسَلَم فَقاَلَ " أَيُّهَا النَّاسُ ! قَدْ فَرَضَ الله عَلَيكُمُ الحَجَّ فَحُجُّوا " فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ ؟ يَا رَسُولَ الله ! فَسَكَتَ. حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا. فَقَالَ رَسُولَ الله صَلَى الله عَلَيهِ وَسَلَمَ" "لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ. لَوَجَبَتْ. وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ". ثُمَّ قَالَ "ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ. فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلىَ أَنْبِيَائِهِمْ. فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. َوإِذَا نَهيتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوه (اخرخه مسلم فى كتاب الحج)[7]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah SAW berkhutbah dihadapan kami dimana beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah kalian.” Ada seorang laki-laki bertanya: “apakah setiap tahum wahai Rasulullah?” beliau terdiam, sehingga laki-laki itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali kemudian Rasulullah SAW bersabda: “ apabila aku mengatakan ya, maka berarti menjadi wajib, sedangkan kamu tidak akan mampu mengerjakannya.” Beliau terus bersabda: “tinggalkanlah apa yang tidak aku perintahkan, karena sesungguhnya orang-orang (umat) sebelum kamu binasa karena banyak pertanyaan (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh). Maka apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka kerjakanlah semampu kamu, dan apabila saya melarang kamu atas sesuatu maka tinggalkanlah.” (Diriwayatkan oleh Imam Abi Husain Muslim Ibn Hajjaj Qusyairiy Taisaburiy dalam kitab haji).[8]
4. Tiap Anak Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah
عَنْ هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْهُ كَانَ يُحَدِّثُ قالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عليه وسلّم : مَا مِنْ مَوْلوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِه اَويُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ البَهِيْمَة بَهِيْمَةً جَمْعَاء هَلْ تُحِسُّوْن فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يقول ابو هريرة فاقْرَؤُهُ اِنْ شِئْتُمْ(فِطْرَةَ الله الّتِي فَطْرَ النّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيْلُ لِخَلْقِ الله ذَلِكَ الدِّيْنُ القَيِّمُ). (اخرجه البخاري في كتاب الجنائز)[9]
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan, kecuali yang keadaan fitrah (keimanan terhadap tauhid), orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi, sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?” kemudian Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini: “(tetaplah atas) fithrah Allah yang menciptakan fithrah manusia menurut fithrah itu. (hukum-hukum) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail al Bukhari dalam kitab Janaiz)[10]
C.Pembahasan
1. Dua Jenis Hasad yang dibenarkan Agama
Dalam hadits pertama menjelaskan tentang hasad yang artinya mengharapkan lenyapnya suatu nikmat yang dimilki oleh orang lain, dapat pula diartikan mengharapkan suatu nikmat seperti yang dimiliki oleh orang lain (tanpa mengharapkan lenyapnya nikmat tersebut darinya). Makna yang kedua inilah yang dimaksud dalam hadits ini. Singkatnya, tiada iri hati yang diperbolehkan oleh syari’at kecuali dalam dua hal tersebut.
Dua perkara tersebut merupakan sifat dari akhlak seseorang. Yang pertama ialah seseorang yang dianugerahi harta yang berlimpah lalu ia menafkahkannya di jalan yang diridhoi Allah SWT. Dan yang kedua ialah seseorang yang dianugerahi ilmu lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Didalam hadits diatas terkandung anjuran untuk menafkahkan harta di jalan yang diridhoi Allah SWT. Dan memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar. Bahkan didalam hadits ini dianjurkan pula untuk mengharapkan hal tersebut.[11] Oleh karena itu, kita harus berkeinginan gibthah kepada kedua orang tersebut. Namun, keinginan untuk memilikinya hendaknya disyaratkan untuk tujuan yang lebih lanjut: pemilik kekayaan menggunakan kekayannya di jalan kebenaran dan orang yang memiliki ilmu haruslah mengajarkannya kepada orang lain, jadi bermanfaat bagi seluruh manusia yang menjadi tujuan.[12]
Ketika ilmu sering diajarkan kepada orang lain, maka ia semakin menambah pahala bagi orang yang mengajarkannya. Jika kamu mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka Allah akan mengajarimu. Ketika engkau mengajari ilmu kepada orang lain maka ilmu itu tidak akan hilang dari ingatanmu. Akan tetapi jangan sekali-kali engkau mengajarkan ilmu kecuali apabila engkau sudah menjadi pakar dibidang ilmu itu. Sehingga Allah akan memberikan manfaat lewat dirimu dan engkau tidak akan dibuat malu di depan orang lain.[13]
2. Tiga Golongan yang Punya Dua Pahala
Dalam hadits dipaparkan bahwasanya seseorang yang mempunyai budak lalu menafkahinya dengan baik dan diperlakukannya dengan baik, kemudian dimerdekakan dan dikawini, maka orang yang berbuat demikian itu memperoleh dua pahala, pahala memerdekakannya dan pahala mengawininya.[14]
Tiga golongan yang akan mendapatkan dua pahala dari Allah SWT adalah: Pertama, laki-laki dari ahli kitab (taurat dan injil) yang mengimani nabinya dan mengimani Nabi Muhammad saw.[15] Kedua, budak atau hamba sahaya, ketika ia memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak tuannya. Ketiga, laki-laki yang mempunyai budak perempuan, maka ia mengajarkan adab dan mendidiknya, kemudian ia memerdekakannya, lalu ia menikahinya.
Golongan pertama mendapat dua pahala karena mereka mengalami dua fase keimanan, yakni iman atas nabinya (Isa) kemudian datang Nabi Muhammad saw. yang mana tersebut tidaklah mudah diterima begitu saja. Dan golongan ini hanya dari kalangan sahabat saja, pada masa sekarang tidak akan ditemukan golongan ini.
Golongan kedua mendapat dua pahala karena ia berposisi sebagai dua hamba. Pertama, hamba Allah, dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai hamba Allah. Kedua, hamba sahaya atas tuannya, dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai hamba sahaya. Pada masa sekarang juga tidak akan ditemukan golongan ini, karena sekarang sudah tidak ada lagi perbudakan.
Golongan ketiga mendapatkan dua pahala karena ia mengajarkan adab dan mendidik budak wanita, kemudian ia memerdekakan dan menikahinya. Pada masa sekarang juga tidak akan ditemukan golongan ini, karena sekarang sudah tidak ada lagi perbudakan.
3. Larangan Mempersoalkan Sesuatu yang Didiamkan
Sepanjang riwayat yang masyhur, dimasa wahyu Al Qur’an turun, umat Islam dilarang keras membanyakkan pertanyaan tentang urusan agama, karena membanyakkan pertanyaan itu bisa menjadikan berat dan menimbulkan kesukaran bagi orang –orang yang hendak mengamalkan perintah Allah.
Menurut riwayat bahwa asbabul nuzul sebab turunya surat al-Maidah ayat 101 adalah lantaran ada pertanyaan yang diajukan oleh sebagian sahabat nabi kepada Nabi tentang Allah mewajibkan kepada manusia untuk pergi Haji ke Baitullah bagi siapa saja yang mampu.
Untuk lebih jelasnya tentang maksud “larangan menanyakan urusan/urusan atau perkara-perkara yang sesungguhnya tidak perlu dipertanyakan lagi”, sebagaimana maksud yang terkandung dalam surat al-Maidah ayat 101, baiklah kita kutipkan keterangan seorang ahli tafsir yang terkemuka, yaitu ath-Thabari. Ia dalam menafsirkan ayat itu antara lain menjelaskan, kira-kira sebagai berikut: “Tuhan yang maha tinggi menegur sahabat Nabi dengan perantarannya, mencegah mereka menanyakan hal-hal yang dilarangnya, agar mereka jangan terus-menerus melanjutkan/mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari hal yang fardhu-fardhu mengapa difardhuakan, yang halal mengapa dihalalkan yang haram mengapa diharamkan. Seakan-akan Allah berfirman kepada mereka: “Hai para penanya, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang belum diturunkan kepadamu, kelak boleh jadi tidak baik bagi dirimu sendiri.”[16]
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah melarang sahabat mempertanyakan kembali suatu pertanyaan yang oleh Rasulullah didiamkan atau tidak dijawab. Karena beliau pasti punya alasan tertentu untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut, sebagaimana contoh penjelasan pertanyaan tentang haji di atas.
4. Tiap Anak Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah
Hadits diatas merupakan hadits yang menjelaskan tentang seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah kemudian tergantung dari orang tuanya yang menjadi penentu anak-anak mereka dimasa depan.
Hal itu berlangsung hingga Si anak sampai pada usia dimana ia dapat mengungkapkan kehendak dirinya. Makna yang dimaksud ialah si anak telah mencapai usia baligh.[17]
Adapun yang dimaksud اْلفِطْرَةِ ialah dalam keadaan suci, yakni bersih dari dosa, oleh karenanya dikatakan bahwa anak-anak itu adalah kekasih-kekasih Allah. Fitrah juga bisa memiliki pengertian “agama” maksudnya adalah setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar untuk memiliki kecenderungan beragama tauhid, artinya memiliki kecenderungan dasar untuk meyakini adanya Dzat Yang Maha Esa sebagai Tuhan dan pencipta-Nya yang patut dan wajib disembah dan di agungkan.[18]
Anak merupakan amanah yang diberikan Allah kepada orang tua. Kewajiban orang tua adalah menjaga keselamatan anak baik lahir maupun batin. Sebagai bentuk tanggung jawab orang tua dalam mengemban amanah Allah dengan memberikan anak pendidikan dan pengajaran yang dapat mengantarkan pada keselamatan dunia akhirat.
Fitrah ini dihadapkan dengan bahaya-bahaya yang mengancam kesuciannya, yakni lingkungan yang menyeretnya untuk menjadi penganut Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi. Dengan ini jelas bahwa fitrah yang telah Allah tanamkan pada diri manusia tidak hanya terbatas pada keyakinan akan keesaan tuhan, tetapi mencakup seluruh ajaran dan prinsip yang benar.
Ayat Al-Qur’an dalam hadits tersebut bermaksud fitrah tidak terbatas pada suatu kelompok atau ras tertentu dan tidak dapat diubah-ubah oleh apapun, seperti hal-hal lain yang dapat berbeda berdasarkan pengaruh adat istiadat atau yang semacamnya. Semua itu sudah semestinya menjadi kebenaran yang paling nyata dan keniscayaan logis sangat jelas tapi anehnya kebanyakan manusia tidak mengetahui.[19]
Dapat disimpulkan dari hadits ini bahwa kedua orang tua mempunyai peran paling besar dalam membentuk pribadi atau watak yang bermoral baik untuk anak-anaknya. Apakah Nasrani, Majusi, Yahudi ataukah Islam yang hakiki.
[1] Imam Syihabudin Abi Abbas Ahmad bin Muhamad Syafi’I Al-Qastalani, Irsyadus Sari Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, t.th), hlm. 254.
[2] Mas’ud Muhsan, Himpunan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya: Arloka, 2004), hlm. 280.
[3] Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bkukhari Bi Hasiyat al-Imam al-Sindi Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 2008), hlm. 410.
[4] http://attaubah.com/ghibthoh-iri-yang-diperbolehkan.html (Minggu, 31 Maret 2013, pukul: 15:03)
[5] Imam Zainanuddin Ahmad bin Abdul Lathif az Zabaidiy, Muhtashor Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1994), hlm. 35.
[6] Al-Hafidh Syihab ad-Din Abi al-Fadlol al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz I, (Mesir : Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Awladih, 1959), hlm. 176.
[7] Imam Abi Husain Muslim Ibn Hajjaj Qusyairiy Taisaburiy, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1971), hlm. 570.
[8] Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 256-257.
[9]Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul latif Al-Zubaidi, Shahih Bukhori Jilid 1 ( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), hlm. 154.
[10] Imam Az-Zabidi, Mukhtashor Shahih Al-Bukhori, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 273.
[11] Syekh Mansyur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW Jilid 1, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hlm. 166.
[12] Maulana Muhammad Ali, Kitab Hadis Pegangan, Terj. Kaeland-Imam Musa Prodjosiswo, (Jakarta :CV. Kuning Mas, 1992), hlm. 35.
[13] Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadlus Shalihin Jilid 4, Terj. Azhar Syef, dkk, (Jakarta : Darus Sunnah), hlm. 44.
[14] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5,(Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra,2007), hlm. 47.
[15] Hafidh Syihab ad-Din Abi al-Fadlol al-Asqalani, Fath al-Bari Juz I, (Mesir : Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Awladih, 1959), hlm. 200.
[16] Zainal Arifin Djamaris, Islam Aqidah dan Syari’ah II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1990), hlm, 25-28.
[17]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadits,(Bandung: Sinar Baru, 1993), hlm. 670.
[18] Juwariyah, Hadits Tarbawy, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 1-2.
[19]Musa Kasim, 40 Hadits Telaah Hadits-Hadits Mistis dan Akhlak. Terjemah Syarah Al-Arbain Haditsan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2004) hlm. 208-209.
No comments:
Post a Comment