Hari jum’at
merupakan hari yang paling utama diantara hari yang lain, dan sebagai
hari raya mingguan. Karena itu pada hari tersebut disunahkan memberi kelapangan
nafkah pada anggota keluarga, misalnya; memasak yang lebih enak dari pada
hari-hari biasa, memberi uang saku lebih dari pada hari-hari biasa.
Dalam penamaan jum’ah, ulama’ sediri
berbeda pendapat , sebagian mengatakan sebab pada hari itu dikumpulkan berbagai
bentuk kebajikan. Sedangkan yang lain mengatakan
sebab pada hari itu Nabi
Adam bertemu dengan Hawa di bumi musdalifah.[1]
Kesadaran umat islam untuk menjalankan
kewajiban agamanya dewasa ini dirasakan semakin meningkat. Hal ini antara lain
ditandai dengan
syiar agama yang semakin semarak, dan membludaknya masjid-masjid dalam shalat
jum’at. Penyelengaraan shalat jum’at
tidak hanya di permukiman, tapi juga di perkantoran, pertokoan dan kawasan industry.
Namun hal ini belum sepenuhnya di imbangi
oleh penyediaan sarana dan prasarana ibadah yang cukup memadai, serta masih
terdapatnya faktor-faktor kondisional yang menyebabkan tidak terpenuhinya
hasrat untuk menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Para karyawan pabrik,
misalnya, tidak dapat secara bersama-sama melaksanakan shalat jum’at karena ada
proses yang tidak dapat di tinggal sama sekali. Ada pula pertokohan yang tetap
buka saat shalat jum’at, sehingga tidak memungkingkan pramuniaga prianya secara
serentak meninggalkan tugasnya. Hal ini bisa diatasi dengan menyelenggarakan
shalat jum’at secara bergantian, bertahap, atau shalat jum’at dalam dua shif.
Dalam masalah ini timbul suatu pertanyaan, yaitu bolehkah menyelenggarakan
shalat jum’at kedua dan seterusnya oleh orang –orang yang bekerja di tempat
yang tidak mungkin ditinggalkan sama sekali pada hari jum’at itu karena menjaga
produksi dari kerusakan.[2]
II.
Rumusan masalah
A.
Bagaimana Pengertian shalat jum’at?
B.
Apa Saja Syarat Wajib Dan Syarat Pelaksanaan Shalat Jum’at?
C.
Bagaiman Hukum Mendirikan Shalat Jum’at Kedua Bagi Karyawan Yang Tidak Bisa Melaksanakan Shalat Jum’at?
III.
Pembahasan
A.
Pengertian
Shalat Jum’at
Kata Al-Jum’uah
berasal dari kata ijtima’. Ia
disebut hari jum’at karena pada hari itu penciptaan Adam dihimpun dari air dan
tanah.[3]
Shalat jum’ah disyariatkan di Makkah
pada malam Isro’. Namun saat itu belum dapat dikerjakan karena waktu itu
pengikut beliau masih sedikit belum ada empat puluh orang, sehingga tidak menetapi syarat jum’ah. Dan baru dikerjakan setelah
beliau Nabi hijrah ke Madinah,
dan pertama mengerjakannya adalah As’ad bin zuroroh bersama Mush’ab bin Umair,
persisnya di Quba’.[4]
B.
Syarat Wajib Dan Syarat Pelaksanaan Shalat Jum’at
Perihal
wajibnya shalat jum’at untuk setiap individu sudah menjadi kesepakatan kalangan
fuqaha. Dasarnya, karena salat jum’at merupakan pengganti kewajiban
lainnya, dalam hal ini ialah salat Zhuhur. Disamping itu karena firman Allah
(QS. Al-jumu’ah; 9)
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Perintah diatas
menunjukkan hukum wajib. Disamping itu, ada sabda Nabi Saw:
عن عبد الله بن عُمَرَ وأبى هريرة رضي الله عنهما أَنَّهُمَا
سَمِعَا رَسُولَ اللهِ صلعم يقول على أعوادمنبره: لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ
وَدْعِهِمُ اْلجُمُعُاتِ أَوْلَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَي قُلُوبِهِمْ. (أخرجه مسلم والنساءي)
“hendaklah khalayak menghentikan pembangkangannya terhadap
shalat jum’at, atau Allah (perlu)mengunci hati mereka.” (HR. Muslim dan nasai)[5].
Hadist riwayat imam muslim dari Abdullah Ibn
Mas’ud:
عن
عبد الله بن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ أنَّ
النَّبِيَّ صلعم قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمْعَةِ: لَقدْ هَممْتُ
أَنْ اَمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَ رِجَالٍ
يَتخلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيوْتَهُمْ
(رواه مسلم، انظر صحيح مسلم، الجزء الاول، بيروت: دار
الكفر، ١٩٩٣، ص:. ٩٢(
“ Nabi Saw
berkata kepada kaum yang meninggalkan shalat jum’at: ‘saya sudah berniat untuk
memerintahkan seorang laki-laki agar menjadi imam shalat, kmudian saya akan
membakar rumah oran-orang yang meninggalkan shalat jum’at.”[6]
Hadis Thariq bin Syihab dari Nabi Saw,
beliau bersabda:
الجُمْعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلى كُلِّ مُسْلِمٍ
إِلَّا أَرْبَعةٌ عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ اَمْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ
Shlat jum’at
adalah hak yang wajib atas setiap orang muslim kecuali atas empat orang: budak
belian, wanita, anak-anak, atau orang sakit.[7]
Syarat
wajib shalat jum’at ada tujuh:
1. Beragama
islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Sehat
6. Bermukim
7. Laki-laki
Sedangkan syarat pelaksaannya adalah:
1. Dikerjakan
pada waktu zhuhur
2. Didirikan
di tengah-tengah pemukiman, baik dalam kota (misrho), desa (balad), atau dukuh
(quryah)
3. Dikerjakan
dengan berjamaah minimal 40 orang
4. Didahului
dua khutbah.[8]
C.
Hukum melaksanakan shalat jum’at yang ke
dua bagi karyawan yang tidak bisa melaksanakan jum’atan.
Dalam dunia
modern sekarang ini terdapat sejumlah industri yang sistem operasionalnya
bersifat nonstop 24 jam, tanpa henti, serta harus ditangani secara langsung dan
terus menerus, dan jika operasionalnya dihemtikan beberapa saat saja, atau tidak
ditangani secara langsung (ditunggu), mesin industri menjadi rusak yang pada
akhirnya timbul kerugian besar dan para pekerja kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber ma’isyahnya. Dengan sifat industri seperti
itu, muslim yang bekerja di industri tersebut tidak bisa melaksanakan salat
jum’at kecuali jika dilakukan dua gelombang/shift, sehingga mereka bertanya-tanya tentang status hukumnya[9].
Mendirikan
shalat jum’at lebih dari satu dalam satu desa diperbolehkan
jika memang ada hajat, semisal; banyaknya jumlah prnduduk
sehingga tidak mungkin dikumpulkan dalam satu tempat, atau terjadi sengketa
antar kedua kubu yang tak mungkin disatukan, atau jaraknya yang berjauhan[10].
Ta’addud jum’at berbeda dengan
jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya-ul jum’ah ba’da jum’ah).
Ta’adud jum’ah ialah berbilangnya penyelenggaraan jamaah jum’at dalam satu masa
di suatu tempat, dan hukumnya boleh dengan syarat-syarat tertentu.
Pendapat sebagian ulama mengenai Ta’addud
jum’at diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu antara lain tercantum
dalam kitab:
القليوبي ج ١/
ص ١٧٧ : وَمِنْ جَوَازِهِ أَيْضًا وُقُوْعُ خِصَامٍ وَعَدَاوَةٍ بَيْنَ أَهْلِ
جَانَبِيِ الْبَلْدَةِ وَإِنْ لم تَكُنْ
مَشَقَّةً
Al-Qalyuubi, I/
177: Di antara sebab yang memperbolehkannya juga adalah terjadinya pertengkaran
dan permusuhan antara dua kelompok di dalam satu desa, meskipun tidak ada
kesulitan.
تنوير
القلوب ص ١٨٦ : وَإِنْ تَعَدَّدَتِ الْحَاجَةُ فَجُمُعَةُ الْكُلِّ صَحِيْحَةُ،
سَوَاءٌ وَقَعَ إِحْرَامُ الْأَءِمَّةُ مَعًا أَوْ مُرَتَّبًا.
Tanwir al-qulub,
hal 186: jika banyak kebutuhan yang tidak bisa dihindari maka shalat jum’at
masing-masing kelompok tersebut sah, tidak peduli apakah takbiratul ihram
masing-masing imam bersamaan atau berurutan.[11]
وَالْحَاصِلُ
مِنْ كَلاَمِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ:
ضِيْقٌ مَحَلّ لصَّلَاةِ
بِحَيْثُ لَا يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ غَالِبًا وَلْقِتَاُل بَيْنَ اْلفَئَتَيْنِ
بِشُرُطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بَأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يَسَعُ
النِّدَاءُ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِ كْهَا
إِذْلَا يَلْزَمُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ. (البغية: ٧٩(
Bughyatul
murtasyid, hlm 79: kesimpulan dari pendapat para tokoh ulama adalah, bahwa
sebab-sebab diperbolehkan berbilangnya shalat jum’at ada tiga: 1) tempat
pelaksanaan shalat sempit sehingga tidak mampu memuat (semua) jamaah sekaligus,
2) terjadi peperangan antar dua golongan berbagai syarat yang terkait dengan
peperangan, 3) jarak batas daerah dengan daerah yang lain berjauhan, sehingga sura
azan tidak terdengar, atau berada di suatu daerah yang seandainya, keluar ke
daerah lain (yang melaksanakan jum’atan) setelah terbit fajar, maka waktunya
tidak mncukupi. Hal ini, karena tidak ada keharusan untuk berusaha pergi ke
daerah lain tersebut kecuali setelah terbtnya fajar.[12]
Adapun jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya-ul
jum’ah ba’da jum’ah) yang artinya penyelenggaranya shalat jum’at lebih dari
satu di suatu tempat, maka hukumnya tidak sah. Jalan keluarnya adalah sebagai berikut:
1.
Karyawan
seperti itu wajib berikhtiar semaksimal mungkin agar dapat menunaikan jum’atan
shif pertama.
2.
Sebaiknya
ditugaskan kepada karyawati untuk menjaga produksi agar karyawan dapat
menunaikan shalat jum’at.
3.
Dalam
hal ikhtiar tersebut bila tidak berhasil maka kewajiban shalat jum’at menjadi
gugur dan wajib menunaikan shalat zhuhur dan dianjurkan berjamaah. Jika ada
udzur syar’i di dalam meninggalkan shalat jum’at demikian ini dengan menggamti
shalat zhuhur hukumnya tidak berdosa. Tetapi jika tidak ada uzur syar’i,
hukumnya berdosa.
Rekomendasinya
adalah kepada para produsen/pengusaha agar memberikan jaminan kebebasan kepada
karyawan untuk menjalankan agamanya, dan menjalaankan shalat.
Pendapat sebagian ulama
bahwa pelaksanaan salat jum’at lebih dari satu kali tidak dibenarkan, antara
lain tercantum dalam kitab:
أَمَّا غَيْرُ اْلمأمُوْمِ فَلَايَجُوزْ اِسْتِحْلَافُهُ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ
إِنْشَاَءَ جُمْعَةٍ بَعْدَ أُخْرَى وَهُوَمُمْتَنِعٌ.
( الحواشي
المدينة ٧٦/٢)
Adapun selain makmum, maka tidak boleh menggantikannya,
karena serpa dengan membentuk shalat jum’at setelah shalat jum’at yang lain
(dalam satu masa secara serenatakditempat yang sama). Dan hal ini tidak
diperkenankan. ( al-hawasyil madaniyyah juz II,hlm. 76)
الشَّافِعِيَّةُ قَالُو: مَنْ فَاتَهُ صَلاَةُ الْجُمْعَةِ
لِعُذْرَ أَوْ لِغَيْرِهِ سُنَّ لَهُ أَنْ
يُصَلِّيَ الظُّهْرِ فِيْ جُمُا عَةٍ. (الفقه عل مذاهب الأربعة. ٢ /٤٠)
Para ulama syafi’i berpendapat, barang siapa yang
ketinggalan shalat jum’at karena sesuatu uzur atau lainnya, maka disunatkan
untuk shalat zhuhur berjama’ah (al-fiqh ‘ala madzahibul arba’ah, juz I, hlm.
406).
...
حَتَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ
لَمْ يُقِمْهَا إِلَّا فِي مَسْجِدِهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يُرَ خِّصْ عليه
الصَّلاةُ والسلام مَعَ فَرَطِ حُبِّه لِلتَّيْسِيْرِ على اُمَّتِهِ فِي أَنْ
يُقِمُوهَا فِي مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّي بِمَونْ يَتَيَسَّرُ لَهُ
الحُضُورُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِي أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ جُمْعَةٌ
وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِي ِالَّذِينَ لَايَسْتَطِيعُ أَنْ
يَحْضَرُوا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَنَ. (تنوير القلب ١٨٩/١(
…sehingga jika sudah datang hari jum’at, maka ia tidak melaksanakan shalat jum’at kecuali di mesjid
Rasullullah Saw. Dan rasullullah Saw. meskipun sangat ingin untuk memberikan
kemudahan kepada umatnya tidak memberikan dispensasi untuk mendirikan shalat
jum’at di banyak mesjid, atau shalat bersama orang yang bisa datang kepadanya
di awal waktu, dan mendirikan shalat jum’at yang ke dua dan ketiga sesudahnya.
Demikian halnya bagi mereka yang tidak bisa datang. Dan yang demikian itu lebih
mudah bagi mereka seandainya memeng diperkenankan. (tanwirul qulub juz I, hlm.
189).[13]
Sebagai
ibadah, bentuk maupun tata cara pelaksanaan slat jum’at harus mengikuti segala
ketentuan yang telah ditetepkan hukium islam (syariah) serta dipraktikan oleh
rasullullah. Kaidah fikih menegaskan:
لَاتُشْرَ عُ عِبَادَةٌ إِلاَّ بِشَرْع للهِ
(ِلدكتور وهبة الزحلي،
نظرية الظرورة الشرعية، دمشق: مكتبة الفارابي(
“suatu
ibadah tidak disyariatkan kecuali
disyariatkan oleh Allah.”
Dan
hadist nabi Saw:
إِذَا
اَمَرَتُكُمْ بِاَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“jika aku
memerintahkan kepadamu suatu hal,
lakukanlah semampumu” (HR. Bukhari dan muslim).
IV.
ANALISIS
Menimbang bahwa
tedapat banyak industri yang sistem operasionalnya 24 jam, dengan sistem
seperti itu maka banyak karyawan yang tidak dapat melaksanakan shalat jum’at,
kecuali jika melakukan shalat jum’at yang kedua (dua gelombang), dan mengingat
bahwa hukum shalat jum’at adalah fardhu a’in dan pendapat ulama bahwa
pelaksanaan shalat jum’at lebih dari satu kali tidak dibenarkan, maka bagi karyawan
yang demikian itu hukumnya tidak sah. Dan seharusnya bagi semua pimpinan
perusahaan atau industri mengupayakan kepada setiap pekerjanya yang muslim
dapat menunaikan shalat jum’at.
[2] Sahal Mahfudh,
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum islam (Surabaya: LTN NU
Jawa Timur, 2004) hlm. 496
[3] Abdul Aziz
Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah,(Jakarta: Amzah, 2009),
hlm. 303
[4] Mukhammad
Sokhi Asyadi, Fikih Ibadah…hlm, 159-160
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa
Fiqih Para Mujtahid (Jakarta: pustaka amani, 2002) hlm.351.
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh
Ibadah… hlm. 309.
[11]
Aziz Masyhuri, Permasalahan thariqah, (Surabaya: khalista, 2006) hlm.
193-194.
[12]
Sahal mahfudh, ahkamul fuqaha... hlm.
384
[13]
Sahal mahfudh, ahkamul fuqaha... hlm.
496-498
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !