1. PENGERTIAN
a.
Amar
Amar didefinisikan
sebagai permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang
kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Menurut Abdul Hamid Hakim amar didefinisikan[1] :
طلب الفعل من الاعلى الى الادنى
“ Tuntutan untuk memperbuat sesuatu dari pihak atasan kepada pihak
bawahan”
b. Nahi
Pengertian Nahi menurut bahaswa adalah berarti larangan, sedangkan menurut
istilah adalah [2]:
طلب التر ك من الاعلى الى الادنى
" larangan untuk meninggalkan sesuatu dari pihak
atasan pada pihak bawahan “
2. BENTUK –
BENTUK AMAR DAN NAHI
a.
Amar
Menurut Khudari beik dalam bukunya “ Tarikh Al-Tasyri’”. Bentuk bentuk
amar disampaikan dalam berbagai
redaksi, diantaranya :
a. Perintah tegas dengan menggunakan kata amara امر dan yang seakar dengannya[3]. Contoh
ان الله يا مر بلعد ل
والاحسان
Artinya: Sesungguhnya allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan.(QS. 16: 90)
b. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan iyu diwajibkan. Contoh:
يا ايهالدين امنوا كتب عليكم القصاص فى
القتلى
Artinya: Hai orang- orag yang beriman, diwajibkn atas kamu Qishas
berkenaan dengan orang-orang yang dibuuh.(QS. 2 : 178)[4]
c. Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan, namun yang dimaksud adalh
perintah. Cotoh:
والمطلقا
ت يتربصن بانفسهن ثلا ثة قروء ولا يحل لهن ان يكتمن ما خلق الله فى ارحا مهن
Artinya: Wanita- wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu )
tiga kali quru’. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yag diciptakan Allah dalam rahimnya.(QS. 2 : 228)
d. Perintah dengan memakai kata perintah secara langsung. Contoh:
حا فطوا
عالى الصلوا ت والصلات الوسطى وقوموا لله قا نتين
Artinya: Peliharalah shalatmu dan peliharalah shalat wustha. Dan
berdirilah dalam shalatmu yang khusu’.
e. Perintah degan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai lam amar.
Contoh:
ثما ليقضوا تفثهم وليوا فوا ندوا رهم وليطوفوا بلبيت العتيق
Artinya: Kemudian (setelah menyembelih) hendaklah mereka menghilangkan
kotoran yang ada pada badan merekadan hendaklah menyempurnakan nazar mereka dan
melakukn thawaf sekeliling ka’bah. (QS. 22 : 29).
f. Perintah dengan menggunakan kata faradaفرض. Contoh:
قد علمنا ما فرضنا عليهم
Artinya: Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada
mereka…
b. Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari
Beik. Allah juga memakai ragam bahasa, diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan menggunakan kata NAHA yang secara bahasa
berarti melarang.[5]
و ينهى عنى الفخشىء والمنكر...
Artinya: Dan Allah melarang
kamu berbuat keji dan munkar.(QS 16 : 90 )
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan. Misalnya
dalam surat Al-A’raf ayat 33.
قل انما حرم ربي الفوا حش.....
Artinya: Katakanlah tuhanku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji….
c. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan, misalnya ayat 120 surat al-An’am:
ودروا ظا هرالاثم وبا طنه.....
Artinya: Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi….
3. KAIDAH-KAIDAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN
AMAR DAN NAHI
a. Amar
Menurut Muhammad Adib
Saleh ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan:
1. Kaidah Pertama, الاصل فى الامر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan
berbagai pengertian , namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hokum
wajib dilaksanakn kecuali ada indikasi atau atau dalil yang memalingkannya dari
hukum tersebut. Contoh dalam surah Annisa ayat 77, [6]
واقيموا الصلاة واتواالزكاة
Artinya: Dan dirikanlah salat
dan tunuikanlah Zakat….( Qs. An Nisa:77 )
2. Kaidah kedua دلالةالامرعلى التكراراو الوحدة, adalah suatu perintah haruskah dilakukan
berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu
perintah tidak menunjukkan harus berulang-ulang kali dilakukan kecuali ada
dalil untuk itu.Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya
perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meskipun hanya
dilakukan sekali saja. Contohnya, ayat 196 surat Al Baqarah:
واتموا الحج والعمرة لله
Artinya: Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah….
(QS. Al Baqarah : 196 )
3. Kaidah ketiga, دلالة الامر على الفواراو الترجي, Adalah suatu
perintah haruskah dilakukan sesegera
mungkin ataukah bisa ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak
menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan
untuk itu karena yang dimaksud oleh suatu perintah [7]
4. hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Pendapat ini dianut
oleh jumhur ulama Ushuk Fiqh. Menurut pendapat ini, adanya ajaran agar suatu
kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tapi dari
dalail lain, misalnya secara umum terkandung dalam surah al Baqarah ayat 148:
فاستبقوا الخيرات
Artinya: Maka
berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan….. (QS. Al Baqarah : 148 )
Menurut sebagian ulama, antara
lain Abu Hasan al Karkhi ( w. 340 H ), seperti dinukil Muhammad Adib Shalih,
bahwa suatunperintah menunjukkan hokum wajib segera dilakukan . Menurut
pendapat ini, barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah diawal
waktunya, maka ia berdosa.
b. Nahi
Para ulma fiqh, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Shalih. Merumuskan
beberapa kaidah yang berkanaan dengan Nahi, antara lain:
1. Kaidah pertama, الاصل في النهى للتحريم , Artinya, pada dasarnya suatu larangan
menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu. Contohnya dalam
surah Al-Mu’min ayat 151 :
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق..
Artinya: Janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan suatu sebab yang
benar.
2. Kaidah kedua, الاصل فى النهى يطلق الفسا د مطلقا ,Artinya, suatu larangan menunjukkan fasad
perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan.
Cotohnya dalam surah Al- Isra’:
ولا تقريوا الزنى انه كان فخشة وسا ء سبيلا....
Artinya: Jangnlah kamu
mendekati zina,sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk jalan.
3. Kaidah ketiga, النهى عن الشئ امر يضده , Artinya , suatu larangan terhadap sesuatu
perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Contoh surah Lukman ayat 18 :
ولا تمشى في الارض مرحا ...
Artinya: Janganlah kamu berjalan dimuka
bumi dengan angkuh.[8]
A. NASIKH DAN MANSUKH
1. Pengertian
a. Naskh
a. Nasakh menurut bahasa berarti
menghapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti.
b. Sedangkan secara istilah Nasakh
Ialah membatalkan sesuatu hukum dengan dalil lain yang dating kemudian. Yang
dibatalkan disebut Mansukh, sedang yang membatalkan disebut Nasikh.[9]
c. Menurut Al-Qur’an. Surat
Al-Hajj : 52, naskh mengandung dua makna, yaitu menghilangkan sesuatu dan
meniadakannya (izalah asy-syai wa I’damuh) dan memindahkan sesuatu atau
mengubahnya, tetapi substansinya tetap)
b. Mansukh
a. Mansukh secara bahasa dapat
diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil.
b. Secara istilah Mansukh adalah
hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah,
dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
2. Proses Terjadinya Naskh
Az-Zarqani menjelaskan proses terjadinya
naskh ditempuh dengan memenuhi empat persyaratan :
1. Yang dinasakhkan itu hukum
syar’i
2. Dalil yang mengangkat hukum
syar’I itu adalah dalil syar’i.
3. Dalil yang mengangkat itu
mempunyai tenggang waktu (al-tarkhi) dengan hukum pertama dan tidak mempunyai
hubungan al-qaid dengan al-muqayyad dan al-ta’qit dengan al-muaqqad.
4. Dalil antara keduannya
bertentangan secara hakikat (ta’arudh hakiki)
3.
Syarat-Syarat
Nasakh
1.
Nasikh
harusb terpisah dari Mansukh.
2.
Nasikh
harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh.
3.
Nasikh
harus berupa dalil-dalil syara’.
4.
Mansukh
tidak dibataskan pada sesuatu waktu.
5.
Mansukh
harus hukum-hukum syara’.[10]
4.
Macam Dan Jenis Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh
Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
1) Nasakh al-Qur’an dengan
al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini memperoleh
kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh
ini bisa di terima.[11]
Penghapusan kewajiban
bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13
2) Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a.
Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut
Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah
Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni (
Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di
hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan
b.
Nasakh Qur’an dengan Hadis
Mutawatir. Jumhur ulama’, Imam Malik,
Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh Menurut jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya
adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang
terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4 Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir
menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan
Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
3) Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal
ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban
puasa pada bulan as-Syura. Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis
ini tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan
beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah
tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu,
pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya
ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan
Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
4) Nasakh Sunah dengan Sunah.
Bagi Jumhur ulama’ nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi
bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu
tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.
5. Hikmah Adanya Naskh
Ada macam-macam hikmah yang dapat ditarik dari nasikh
mansukh, yaitu:
a. Hukum nasikh lebih berat dari
mansukh
Sebagai alasan adanya naskh yang membawa
hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa umat ke derajat yang lebih
tinggi akhlak dan tingkat peradapannya.
b. Hukum nasikh lebih ringan dan
mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk
memberikan keringanan kepada Hamba-Nya dan menunjukan karunia Allah SWT, dan
rahmat-Nya. Dengan demikian, hamba-Nya dituntut untuk lebih memperbanyak
syukur, memuliakan dan mencintai agama-Nya.
c. Hukum nasikh sama beratnya
dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan
kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang ringan dan
berat. Pada ulama menafsirkan hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi hamba-Nya
sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka yang
betul-betul beriman.
B. TAFSIR DAN TA’WIL
1.Pengertian Tafsir
Kata
tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti
keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut
pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar
yang artinya menyingkap dan melahirkan.Hal ini senada dengan pendapat
yang mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit
dalam Al-Qur’an, didalam Al-Qur’an disebutkan tentang makna tafsir :
اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِير
اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِير
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25:33)
Jadi tafsir secara bahasa adalah menyingkapkan, menjelaskan,
menerangkan, memberikan perincian atau menampakkan.
Adapun tafsir menurut istilah adalah
terdapat banyak pendapat :
a.
Tafsir menurut Al-Kilab Dalam At-tashil adalh menjelaskan
Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash,
isyarat atau tujuan.
b.
Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah
menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha
mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dilalahnya.
2.
Pengertian Ta’wil
Secara
laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl (أوّل – يؤوّل ), artinya kembali. Muhammad husaya al-dzahabi ,
mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua
pengertian :
a.
Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan
menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu
sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
b.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah
pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam).
Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang
dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang
dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan. Sedangkan pengertian
Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain
membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke
makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.[12]
3.
Metode Penafsiran.
Adapun metode yang ditempuh untuk
menafsirkan al-qur’an ataupun hadits adalah:
1.
Metode Tahlily(metode analisis)
2.
Metode Ijmaly(metode global)
3.
Metode Muqaran(metode Komparasi/perbandingan)
4.
Metode Maudlu’i(metode tematik).
4.
Macam-macam Ta’wil
Adapun macam-macam ta’wil dapat dilihat
dari dua segi, yaitu:
1.
Dilihat dari segi relevasinya, ada dua bentuk ta’wil
yaitu:
a.
Ta’wil maqbul, adalah ta’wil yang memenuhi persyaratan
yang ditentukan ahli ushul fiqih.
b.
Ta’wil ghoiru maqbul, atau ta’wil yang ditolak yaitu
ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak
terpenuhi syarat yang ditentukan.
2.
Dilihat dari segi pemahamannya, ada dua bentuk ta’wil
yaitu:
a.
Ta’wil Ba’id, adalah pengalihan dari makna lahir suatu
lafadz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang
sederhana.
b.
Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari
arti zahirnya, sehingga dengan bentuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
5.
Syarat-syarat Ta’wil
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah:
1.
Lafal itu dapat menerima ta’wil lafal zahir dan lafal nash
serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2.
Lafal itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena
lafal tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk
dita’wil,serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut
3.
Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil
4.
Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak
bertentangan dengan dalil yang ada.
[2]Ibid.hal.124.
[3]
H.A Mu’in. dkk. Ushul Fiqh.
Jakarta: Depag.1986
[4]
Departemen Agama.Al-Qur’an
dan Terjemah.Semarang:Toha putra.1998.
[5]
H.A Mu’in.op.cit
[6]
Muchlis Usman.Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta:
Rajawali Pers
[7]
A. HAnafie.Ushul Fiqh.Jakarta:Widjaya.1980.
[8]
Departemen Agama.op.cit.
[9]
A, Hanafie.op.cit.
[10]
Ibid.hal.93.
[11]
Muchlis Usman.op.cit
[12]
As Suyuthi, 1979:I, halaman:173
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !