Headlines News :
Home » » Macam-macam hukum Taklifi

Macam-macam hukum Taklifi

Written By Figur Pasha on Saturday, May 12, 2012 | 11:44 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


A. Pengertian hukum wajib dan bagiannya

Ø    Pengertian wajib
                          Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abd al-Karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti :

Sesuatu yang diperintahkan (dihruskan)oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.[1]

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukallaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.

Ø    Pembagian wajib
Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban. Hukum wajib dibagi menjadi 2 macam :
1.             Wajib Ain
Segala bentuk pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain. Misalnya Shalat lima waktu.
2.             Wajib kifa’I (Kifayah)
Segala bentuk pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang engerjakannya. Atau dengan bahasa yang mudah adalah wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau salah seorang ada yang mengerjaknnya maka tuntutan itu dianngap sudah terlaksana.[2]

Bila dilihat segi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua macam :
1.             Wajib Mu’ayyan
Kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
2.             Wajib Mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya kewajiban membayar kaffarat sumpah, boleh meilih beberapa alternatif.[3]

Bila dilihat segi waktu pelaksanannya, hukum wajib dibagi menjadi dua macam :
1.             Wajib Mutlaq
yaitu kewajiban yang pelaksanannyatidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya kewajiban untuk membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
2.             Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yag pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. [4]
Wajib Muaqqat ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
v            Wajib Muwassa’ (kewajiban yang memiliki waktu batas waktu yang lapang) yaitu kewajiban yang ditentukan waktunya, tetapi waktunya ini cukup lapang, sehingga pada waktu itu bisa juga mengerjakan amalan yang sejenis
v            Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memiliki batas waktu sempit) yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan pada suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. misalnya puasa ramadhan.
v            Wajib  dzu ay-syibhain yaitu kewajiban yang mempunyai waktu lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. wajib ini bila dipandang dari satu sisi ia termasuk wajib muwassa’ dan dari sisi lain ia termasuk wajib mudhayyaq. misalnya ibadah haji.[5]


B. Pengertian hukum haram dan bagiannya

Ø    Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminology ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang Allah da Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka an diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Alah diberi pahala.[6]
Ø      Pembagian haram
Para ulama’ ushul fiqh membagi haram menjadi beberapa macam yaitu  :
1.             al-Muharram li Dzatihi
yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratanbagi kehidupan manusia, misalnya larangan berzina, larangan menikahi wanita-wanita mahram seperti ibu kandung, larangan memakan bangkai dan lain-lain.
2.             al-Muharram liGhairihi
Yaitu sesuatu yang dialrang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan , namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa pada sesuatu yang dilarang. Misalnya larangan melakukan jual-beli pada waktu azan shalat jum’at.[7]

C. Pengertian makruh dan bagiannya

Ø      Pengertian Makruh

Secara bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah Ushul Fiqh kata fiqh menurut jumhur ulama’ berarti sesuatu dianjurkan syari’at untuk meninggalkannya, jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.[8]
Ø      Pembagian Makruh

Menurut Hanafiyah, makruh dibagi menjadi dua bagian yaitu makruh Tanzih dan makruh Tahrim.
1)        Makruh Tanzih
Yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan tuntutan tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama’ Hanafiyyah sama dengan pengertian makruh di kalangan jumhur ulama’. Misalnya memakan daging kuda.
2)        Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Misalnya larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum laki-laki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW :
Keduanya ini (Emas dan Sutera)haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi perempuan. (H.R Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad Ibnu Hambal)[9]

D. Pengertian Mubah dan bagiannya
Ø      Pengertian mubah
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang diperbolehkan mengambilnya atau tidak mengambilnya. Menurut istilah mubah yaitu sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak pula dipuji meninggalkannya.
Ø      Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga bagian :
1)      Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada suatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah dan seorang mukallaf bleh memilih untuk melakukan atau tidak melakukan pada waku atau kondisi tertentu. Akan tetapi apabila seseorang meninggalkan makan minum sama sekali maka pekerjaan tersebut menjadi wajib.
2)      Sesuatu dianggap mubah hukumnya bila dilakukan sesekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setip waktu. Misalnya bernyanyi dan mendengarkan music hukumnya mubah, tetapi haram hukumnya bila menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengarkan music.
3)      sesuatu yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah tangga untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang adalah hukumnya mubah.

Perbedaan makruh dan mubah yaitu kalau makruh dituntut syari’at untuk meninggalkannya, walaupun jika dilakukan tidak mendapat dosa. Sedangkan kalau mubah tidak ada anjuran untuk meninggalkan ataupun melakukannya.


[1] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushl Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 43
[2] Drs. Toto Jumantoro, M.A, Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.354-355
[3] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op.cit, hlm 47
[4] Ibid, hlm.48
[5] Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 303
[6]  Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op.cit, hlm 53
[7] Ibid, hlm. 55-57
[8] Ibid, hlm. 58
[9] Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, op.cit, hlm. 309
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template