A.
Pengertian hukum wajib dan bagiannya
Ø Pengertian
wajib
Secara etimologi kata
wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh
Abd al-Karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti :
Sesuatu
yang diperintahkan (dihruskan)oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh
orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah,
sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.[1]
Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan
dalam arti mengikat setiap mukallaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala
dan jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Ø Pembagian
wajib
Bila dilihat dari segi
orang yang dibebani kewajiban. Hukum wajib dibagi menjadi 2 macam :
1.
Wajib Ain
Segala
bentuk pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya
dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain. Misalnya Shalat lima waktu.
2.
Wajib kifa’I (Kifayah)
Segala
bentuk pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan
orang yang engerjakannya. Atau dengan bahasa yang mudah adalah wajib yang
dibebankan pada sekelompok orang dan kalau salah seorang ada yang mengerjaknnya
maka tuntutan itu dianngap sudah terlaksana.[2]
Bila
dilihat segi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua macam :
1.
Wajib Mu’ayyan
Kewajiban
dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
2.
Wajib Mukhayyar
Yaitu
suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa
alternatif. Misalnya kewajiban membayar kaffarat sumpah, boleh meilih beberapa
alternatif.[3]
Bila
dilihat segi waktu pelaksanannya, hukum wajib dibagi menjadi dua macam :
1.
Wajib Mutlaq
yaitu
kewajiban yang pelaksanannyatidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya
kewajiban untuk membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan saja, tanpa
dibatasi dengan waktu tertentu.
2.
Wajib Muaqqat
Yaitu
kewajiban yag pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. [4]
Wajib Muaqqat ini
terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
v
Wajib Muwassa’ (kewajiban yang
memiliki waktu batas waktu yang lapang) yaitu kewajiban yang ditentukan
waktunya, tetapi waktunya ini cukup lapang, sehingga pada waktu itu bisa juga
mengerjakan amalan yang sejenis
v
Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang
memiliki batas waktu sempit) yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus
diperuntukkan pada suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk
kewajiban lain yang sejenis. misalnya puasa ramadhan.
v
Wajib dzu ay-syibhain yaitu kewajiban yang
mempunyai waktu lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara
berulang-ulang. wajib ini bila dipandang dari satu sisi ia termasuk wajib
muwassa’ dan dari sisi lain ia termasuk wajib mudhayyaq. misalnya ibadah haji.[5]
B.
Pengertian hukum haram dan bagiannya
Ø Pengertian
Haram
Kata
haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara
terminology ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang Allah da
Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka an diancam dengan
dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Alah diberi pahala.[6]
Ø Pembagian
haram
1.
al-Muharram li Dzatihi
yaitu
sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung
kemudaratanbagi kehidupan manusia, misalnya larangan berzina, larangan menikahi
wanita-wanita mahram seperti ibu kandung, larangan memakan bangkai dan
lain-lain.
2.
al-Muharram liGhairihi
Yaitu
sesuatu yang dialrang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak
mengandung kemudaratan , namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang
karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa pada sesuatu yang dilarang.
Misalnya larangan melakukan jual-beli pada waktu azan shalat jum’at.[7]
C.
Pengertian makruh dan bagiannya
Ø
Pengertian Makruh
Secara
bahasa kata makruh berarti sesuatu yang dibenci. Dalam istilah Ushul Fiqh kata
fiqh menurut jumhur ulama’ berarti sesuatu dianjurkan syari’at untuk
meninggalkannya, jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar
tidak berdosa.[8]
Ø
Pembagian Makruh
Menurut
Hanafiyah, makruh dibagi menjadi dua bagian yaitu makruh Tanzih dan makruh
Tahrim.
1)
Makruh Tanzih
Yaitu
sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan tuntutan tidak pasti.
Makruh tanzih dalam istilah ulama’ Hanafiyyah sama dengan pengertian makruh di
kalangan jumhur ulama’. Misalnya memakan daging kuda.
2)
Makruh Tahrim
Yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang
pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Misalnya larangan memakai
sutera dan perhiasan emas bagi kaum laki-laki, sebagaimana terdapat dalam sabda
Rasulullah SAW :
Keduanya
ini (Emas dan Sutera)haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi perempuan.
(H.R
Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad Ibnu Hambal)[9]
D.
Pengertian Mubah dan bagiannya
Ø Pengertian
mubah
Mubah
menurut bahasa yaitu sesuatu yang diperbolehkan mengambilnya atau tidak
mengambilnya. Menurut istilah mubah yaitu sesuatu yang tidak dipuji
mengerjakannya dan tidak pula dipuji meninggalkannya.
Ø Pembagian
Mubah
Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi
mubah kepada tiga bagian :
1)
Mubah yang berfungsi untuk
mengantarkan seseorang kepada suatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan
dan minum adalah sesuatu yang mubah dan seorang mukallaf bleh memilih untuk melakukan
atau tidak melakukan pada waku atau kondisi tertentu. Akan tetapi apabila
seseorang meninggalkan makan minum sama sekali maka pekerjaan tersebut menjadi
wajib.
2)
Sesuatu dianggap mubah hukumnya
bila dilakukan sesekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setip waktu.
Misalnya bernyanyi dan mendengarkan music hukumnya mubah, tetapi haram hukumnya
bila menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengarkan music.
3)
sesuatu yang mubah berfungsi
sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot
rumah tangga untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang adalah hukumnya mubah.
Perbedaan
makruh dan mubah yaitu kalau makruh dituntut syari’at untuk meninggalkannya,
walaupun jika dilakukan tidak mendapat dosa. Sedangkan kalau mubah tidak ada
anjuran untuk meninggalkan ataupun melakukannya.
[1]
Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushl Fiqh, (Jakarta: Prenada
Media, 2005), hlm. 43
[2]
Drs. Toto Jumantoro, M.A, Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag, Kamus Ilmu Usul Fikih,
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm.354-355
[3]
Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op.cit, hlm 47
[4]
Ibid, hlm.48
[5]
Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), hlm. 303
[6] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op.cit,
hlm 53
[7]
Ibid, hlm. 55-57
[8]
Ibid, hlm. 58
[9]
Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, op.cit, hlm. 309
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !