Headlines News :
Home » » PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

Written By Figur Pasha on Tuesday, June 17, 2014 | 10:11 AM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I. PENDAHULUAN

Hadirnya Nabi Muhammad pada masyarakat Arab membuat terjadinya kristalisasi pengalaman baru dalam dimensi ketuhanan yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum-hukum yang digunakan pada masa itu.

Berhasilnya Nabi Muhammad SAW dalam memenangkan kepercayaan yang dianut bangsa Arab. Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu memodifikasi jalan hidup orang-orang Arab.

Hadirnya Nabi Muhammad, sedikit demi sedikit merubah budaya-budaya yang tidak memanusiakan manusia dalam artian budaya yang mengarah pada keburukan menjadi budaya-budaya yang mengarah kepada kebaikan dalam payung Islam.

Budaya-budaya yang mengarah kebaikan yang dibawa Nabi Muhammad pada akhirnya menghasilkan peradaban yang luar biasa pada zamannya. Yang mana muara dari peradaban itu semua ialah Islam.

Islam sangat berperan penting dalam menciptakan peradaban yang luar biasa yang tercipta pada masa zaman Nabi Muhammad. Dan aktor penting di balik itu semua tidak lain ialah Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad tidak hanya sebagai Nabi melaikan juga sebagai pengajar, pendidik, pemimpin, pemimpin militer, politikus, reformis, dan lain-lain.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana Riwayat Hidup Nabi Muhammad ?
B. Bagaiana Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Nabi Muhamad?
C. Bagaimana Peran Sahabat Dalam Memahami Wahyu dan Sunnah Nabi SAW Terkait Dengan Pemikiran dan Peradaban?

III. PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Nabi Muhammad

Muhamad lahir di Mekkah pada hari senin pagi 12 Rabi’ul awal bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 M. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan tahun Gajah, karena pada tahun itu pasukan Abrahah dengan menunggang gajah menyerbu Mekkah ingin menghancurkan ka’bah.

Beliau lahir dari keluarga miskin secara materi namun berdarah ningrat dan terhormat. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Dikisahkan, bahwa anak-anak Hasyim ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai penyedia dan pemberi air minum bagi para jamaah haji yang dikenal dengan sebutan Siqayah Al Hajj. Sedangkan ibunda Nabi Muhammad Saw adalah Aminah binti Wahab, adalah keturunan Bani Zuhrah. Kemudian, nasab atau silsilah ayah dan ibunda Nabi bertemu pada Kilab ibn Murrah. [1]

Pada waktu lahir Nabi Muhammad SAW dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika masih dalam kandungan. Nabi Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Nabi Muhammad SAW dibesarkan sampai usia empat tahun. Setelah kurang lebih dua tahun berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika usia enam tahun Nabi Muhammad SAW menjadi yatim piatu.

Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tangguang jawab merawat Nabi Muhammad SAW. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, dia juga sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan.

Dalam usia muda Nabi Muhammad SAW hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Melalui kegiatan penggembalaan ini dia menemukan tempat untuk berfikir dan merenung. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga dia terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda dia sudah dijuluki al-amin, orang yang terpercaya.[2]

Pada usia 25 tahun, Nabi Muhammad SAW ikut berdagang ke Syam, menjual barang milik Khadijah, seorang wanita terpandang dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang untuk menjualkan barang dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Ketika Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan kemuliaan ahlak serta keuntungan dagangannya melimpah, Khadijah tertarik untuk menikahinya. Yang ikut hadir dalam acara pernikahan itu adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar.[3]

B. Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Nabi Muhamad

Prinsip kesederajatan dan keadilan yang dibangun Nabi, mencakup semua aspekbaik politik, ekonomi, maupun hukum. Pertama, aspek politik, Nabi mengakomodasikan seluruh kepentingan, semua rakyat mendapatkan hak yang sama dalam politik, walaupun penduduk Madinah sangat heterogen, baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan.

Kedua, aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ajaran egaliterianisme21, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis Misi egaliterianisme ini sangat tipikal dalam ajaran Islam. Sebab misi utama yang diemban oleh Nabi bukanlah misi teologis, dalam arti untuk membabat habis orang-orang yang tidak seideologi dengan Islam, melainkan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.

Ketiga, aspek Hukum, Nabi memahami aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa, karena itulah Nabi tidak pernah membedakan "orang atas", "orang bawah" atau terhadap keluarga sendiri Nabi sangat tegas dalam menegakan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Madinah, artinya tidak ada seorangpun kebal hukum. Prinsip konsisten legal [hukum] harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga supermasi dan kepastian hukum benar-benar dirasakan semua anggota masyarakat.[4]

Pemikiran dan Peradaban Islam Periode Makkah

Pada malam senin 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriyah bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. ketika itu Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira dan Allah mengutus Jibril untuk menyampaikan wahyu pertama yaitu surat al-Alaq.[5] Ketika selesai menerima wahyu Nabi Muhammad pulang dengan kondisi menggigil ketakutan. Beliau meminta agar istrinya menyelimuti beliau kemudian menceritakan kejadian yang terjadi di Gua Hira.

Sebagai seorang istri yang sholeha dalam kondisi apapun selalu berusaha menenangkan hati suaminya begitulah yang dilakukan oleh Khadijah. Khadijah berusaha menenangkan hati Rosulullah yang sangat mengalami kegalauan pada saat itu. Setelah menenangkan Rosulullah, Khadijah pergi untuk menemui Waraqah ibn Naufal. Waraqah adalah paman dari Siti Khadijah beliau adalah seorang Nasrani yang banyak mengetahui naskah-naskah kuno.

Siti khadijah menceritakan kejadian yang dialami oleh suwaminya kemudian Waraqah mengatakan bahwa yang datang itu adalah Namus (Jibril). Kemudian dia menjelaskan disuatu saat nanti beliau akan diusir oleh kaumnya dari halaman kampungnya sendiri. Ia berharap masih hidup pada masa sulit Rosulullah dan akan memberikan pertolongan yang sungguh-sungguh kepada beliau. Ketika beliau tidur kemudian turun ayat Al-Muddatsir.[6] Kemudian beliau menyampaikan kepada istrinya tentang perintah Jibril untuk menyampaikan dakwahnya kepada umatnya. Kemudian beliau bertanya kembali umatnya itu yang mana. Dengan demikian wahyu yang turun kedua ini merupakan penobatan Rouslullah sebagai utusan Allah.

Untuk mengawali dakwah Rosulullah SAW ada berbagai metode dakwah yang dilakukan oleh beliau diantaranya:

1. Dakwah secara sembunyi-sembunyi

Pada masa ini Rosulullah Saw melakukan dakwah secara diam-diam dilingkungan keluarga sendiri dan dikalangan rekan-rekannya. Mula-mula yang masuk Islam pertama kali adalah istri Rosulullah kemudian saudara sepupunya Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar Asidiq, Zaid bekas budak yang menjadi anak angkatnya, Ummu Aimah pengasuh Nabi semenjak ibunya masih hidup.[7]

Kemudian dilanjutkan oleh Ustman bin Affan, Jubair bin Awwam, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqasah dan Thahlah bin Ubaidillah mereka dibawah kehadapan Nabi dan mengikrarkan untuk memeluk Islam dihadapan Nabi sendiri. Pada persiapan dakwah yang berat maka dakwah pertama beliau mempersiapkan mental dan moral. Oleh sebab itu beliau mengajak manusia atau umatnya untuk:

a. Mengesakan Allah
b. Mensucikan dan membersihkan jiwa dan hati
c. Menguatkan barisan
d. Meleburkan kepentingan diri di atas kepentingan jamaah.[8]

2. Dakwah terang-terangan

Langkah dakwah selanjutnya menyeru masyrakat secara umum. Nabi menyerukan kepada bangsawan dan seluruh masyarakat Qurais. Pada awalnya Nabi hanya menyeru pada penduduk Mekkah dan dilanjutkan menyeru pada penduduk diluar Mekkah secara terangterangan.

Rosulullah gencar mempublikasikan agar orang masuk Islam, kemudian pada masa itu beliau mengajak segenap umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji. Dilain waktu, acara jamuan tersebut diadakan kembali. Kali ini para tamu undangan mulai mendengarkan perkataan Rasulullah namun tak satupun dari mereka yang meresponnya secara positif. Hal tersebut tidak membuat Rasulullah dan para sahabatnya patah arah, tetapi membuat Rasulullah dan para sahabatnya semangat dan dakwahnya semakin diperluas hingga suatu ketika.

Rasulullah mengadakan pidato terbuka di bukit Sofa. Pidato tersebut berisi perihal kerasulannya. Rasulullah memanggil seluruh penduduk Mekkah dan mengabarkan kepada mereka bahwa dirinya diutus untuk mengajak mereka meninggalkan Paganisme (Penyembahan terhadap berhala). Beliau menjelaskan bahwa tuhan yang wajib disembah hanyalah Allah. Mendengar hal tersebut masyarakat Qurays tersentak kaget, mereka sangat marah karena hal tersebut dan menghina tradisi nenek moyang dan kehormatan mereka. Para pembesar Qurays membentak dan memaki Rasulullah dengan keras. Mereka menganggap bahwa Muhammad adalah orang gila bahkan pamannya sendiri Abu Lahab pun mengancam Rasulullah dengan keras.

Pemimpin Quraiys dengan giatnya menentang dakwah Rosulullah SAW. Pemimpin Qurays merasa bahwa makin maju dakwah Rosulullah maka makin besar tantangan kaum Qurays. Ada 5 faktor yang mendorong Kaum Qurays menentang Rosulullah Saw yaitu:

a. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan;
b. Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh bangsawan Qurays.
c. Para Qurays tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
d. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berakar pada bangsa Arab.
e. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[9]

Pemikiran dan Peradaban Islam Periode Madinah

Dengan hijrahnya Nabi ke Yatsrib yang kemudian berganti nama Madinah Al Munawarah atau disebut dengan Madinah, Nabi segera meletakan dasar-dasar masyarakat Islam. Nabi resmi mnejadi pemimpin kota ini (pemimpin negara) sekaligus memimpin agama Islam.

Langkah-langkah yang diambil oleh Rasulullah SAW, untuk meletakkan dasar pembinaan masyarakat Madani/Islami di Madinah antara lain:

1. Mendirikan masjid

Masjid disamping untuk tempat beribadah juga untuk tempat berkumpul dan bertemu. Masjid berperan besar dalam menyatukan umat muslimin dari berbagai suku dan mempersatukan jiwa mereka serta tempat bermusyawarah dalam merundingkan persoalan yang dihadapi. Pada masa Nabi masjid dijadikan pusat pemerintahan.

2. Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim)

Persaudaran yang dilakukan oleh Rasulullah berdasarkan agama bukan berdasarkan pertalian darah. Mempersatukan umat yaitu mempersatukan kaum Anshar dan kaum Muhajirin.[10]

3. Kesepakatan untuk salimg membantu antara kaum muslimin dan non muslimin

Di Madinah, ada golongan manusia, yaitu kaum muslimin, orang-orang Arab, serta kaum non muslim, dan orang-orang yahudi (Bani Nadhir, Bani quraizhah, dan Bani Qainuqa’). Rasulullah melakukan kesepakatan dengan mereka untuk terjaminnya sebuah keamanan dan kedaimaian. Juga untuk melahirkan suasanya saling membantu dan toleransi diantara golongan tersebut.[11]

4. Meletakan landasan politik, ekonomi dan kemasyarakatan

Bagi negara Madinah yang baru terbentuk. Dasar berpolotik antara lain prinsip keadilan yang harus dijalankan tanpa pandang bulu. Prinsip egaliter atau persamaan derajat antara manusia, yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Allah semata. Untuk memecahkan masalah atau persoalan umat dipeganglah prinsip musyawarah. [12]

C. Peran Sahabat Dalam Memahami Wahyu dan Sunnah Nabi SAW Terkait Dengan Pemikiran dan Peradaban Islam

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamad tidak sekaligus, tetapi dengan cara berangsur-angsur. Atas dasar itulah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam pada masa itu. Tetapi adakalanya persoalan yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah diterima Nabi. Dalam hal ini Nabi memakai ijtihad atau pendapat yang dihasilkan pemikiran secara mendalam.

Pada periode Nabi, segala persoalan hukum dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikannya, Nabi lah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Secara direk pembuat hukum adalah Nabi,tetapi secara indirek Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Tuhan.

Di periode sahabat, daerah yang dikuasai Islam tambah luas dan termasuk didalmnya daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana, di perbandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Dengan demikian persoalan-persoalan permasyarakatan yang timbul di periode ini lebih sulit penyelesaiannya dari pesoalan-persoalan yang timbul di masayraktat Semenanjung Arabia.

Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu para sahabat kembali ke Al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan Nabi. Dalam pada itu timbul pula suatu problema lain. Sebagai dilihat ayat ahkam berjumlah sedikit dan tidak semua persoalan timbul dapat dikembalikan kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum itu, khalifah dan para sahabat mengadakan ijtihad.

Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai adat-istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk mengatasinya para sahabat dan ulama banyak mengadakan ijtihad yang didasarkan kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi.[13]


                         
[1] Khoiriyah, Reorintasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 31-32.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm.17
[3] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Press, 2007), hlm. 19
[4] http://sanaky.com/wp-content/uploads/2009/02/05-peradaban-islam-masa-nabi1. didownload pada hari selasa 25 Maret 2014 pukul 13.12 WIB
[5] Ali Sodiqin Sejarah Peradaban Islam (Dari Masa Klasik Hingga Modern),(Yogyakarta: LESFI, 2009), hlm. 24
[6] Ali Sodiqin, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 25-26
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2001), hlm. 19
[8] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 63
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam...,hlm. 20-21
[10] Khoiriyah, Reorintasi Wawasan Sejarah..., hlm. 39.
[11]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung :Pustaka Setia, 2008), hlm 64.
[12] Khoiriyah, Reorintasi Wawasan Sejarah..., hlm. 40
[13] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Jakarta: UI Press, 2012), hlm. 4-6.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Random Post

 
Support : SMP N 1 Pecangaan | SMA N 1 Pecangaan | Universitas Islam Negeri Walisongo
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. Islamic Centre - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template