I.
PENDAHULUAN
Dalam kegiatan pembelajaran, peranan guru dan
siswa harus saling berpartisipasi demi mewujudkan iklim pembelajaran yang hidup
dan aktif. Kaitannya dengan manajemen kelas, gaya personal guru dituntut untuk
bergaya fasilitatif. Membentuk dukungan
spesifik yang disajikan dalam tujuan pembelajaran terakhir, yaitu dalam
kerangka kerja pengembangan rencana manajemen kelas. Namun, rencana kerja ini
tidak hanya bertujuan untuk mengendalikan perilaku, melainkan juga mengelola
dan menstrukturkan kelas untuk meningkatkan pembelajaran yang lebih efektif.
II.
RUMUSAN MASALAH
a. Apa Struktur
Partisipasi dan Peranannya dalam Manajemen kelas ?
b. Bagaimanakah Perilaku
Konvensional dan Perilaku yang Layak ?
c. Bagaimanakah Manajemen Perilaku Proaktif
dan Perilaku yang berdasarkan Intervensi ?
d. Bagaimanakah Pengembangan Rencana Kerja
Manajemen Kelas ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Struktur Partisipasi dan Peranannya di dalam Manajemen Kelas
Pembelajaran merupakan kegiatan yang bukan hanya sekedar memberikan
ceramah ataupun membuat siswa belajar. Pembelajaran meliputi negosiasi hubungan
interpersonal. Partisipasi siswa di dalam kelas merupakan bagian dari negosiasi
hubungan interpersonal tersebut. Hubungan interpersonal yang dimaksud disini adalah
gaya personal guru terhadap perilaku interpersonal siswa. Walaupun gaya
personal memberikan kerangka penting atau mengarahkan guru di dalam menciptakan
lingkungan belajar yang menarik, namun penting pula memandang kompleksitas
lingkungan kelas.
Doyle (1980) mendeskripsikan beberapa karakteristik kelas yang
menonjol yang memberikan kontribusi terhadap kompleksitas kelas.
1)
Kelas
bersifat Multidimensional, karena di dalamnya terdapat sejumlah peristiwa dan
tugas-tugas belajar.
2)
Kelas
bersifat Simultan, karena banyak peristiwa yang terjadi secara bersama-sama.
Tindakan segera biasanya diperlukan oleh guru dan siswa.
3)
Kelas
bersifat tidak dapat diperkirakan (Unpredictable), karena di dalam peristiwa
itu sering kali memunculkan berbagai pandangan yang tidak diharapkan.
4)
Kelas
bersifat Publik, karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang.
5)
Kelas
membuat sejarahnya sendiri, karena kelas semakin banyak mengumpulkan
pengalaman, routines, dan praktik-praktik yang bertindak sebagai landasan
kegiatan kelas.
Cara lain untuk mengkaji kompleksitas kelas adalah dengan
memperhatikan dua karakteristik lingkungan belajar yang spesifik, yaitu: (a)
struktur tugas akademik, dan (b) struktur partisipasi sosial. Erickson (1982)
mendeskripsikan karakteristik tersebut
dalam konteks keterkaitan guru dengan siswa di dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran bersama.
Struktur tugas akademik kadang-kadang menjadi kendala terhadap
pelajaran yang berhubungan dengan jenis tugas akademik itu sendiri. Sedangkan,
struktur partisipasi sosial berhubungan secara lebih spesifik dengan lingkungan
sosial dan proses pembelajaran. Penciptaan lingkungan sosial di kelas dilakukan
melalui interaksi tatap muka antara guru dan siswa. Kelas merupakan peristiwa
sosial yang terjadi di dalam lingkungan belajar.
Lingkungan sosial kelas dirumitkan oleh tuntutan perilaku dan
komunikasi pada diri siswa. Tuntutan tersebut berupa struktur partisipasi
siswa, yang mencakup kegiatan berbicara, mendengarkan, memprakarsai dan
mempertahankan interaksi, memimpin dan melanjutkan diskusi.
Jadi, Struktur Partisipasi
merupakan pola-pola pengembalian percakapan dan alokasi hak dan
kewajiban interaksi siswa. Di dalam mengikuti struktur partisipasi tersebut
siswa dituntut untuk mengetahui hak dan kewajiban interaksi di dalam kegiatan
pembelajaran.[1]
Tingkah laku anak didik bervariasi. Variasi perilaku anak merupakan
permasalahn bagi guru dalam upaya pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas
merupakan upaya dalam mendayagunakan potensi kelas. Karena itu, kelas mempunyai
peranan dan fungsi tertentu dalam menunjang keberhasilan proses interaksi
edukatif. Maka agar memberikan dorongan
dan rangsangan terhadap anak didik untuk belajar, kelas harus dikelola
sebaik-baiknya oleh guru.[2]
B.
Perilaku Konvensional dan Perilaku yang Layak
sebagai seorang fasilitator, guru berupaya membantu siswa
mengembangkan perilaku yang lebih bersifat konvensional, yaitu perilaku yang
mengikuti struktur partisipasi di kelas. Dalam derajat tertentu perilaku konvensional diartikan sebagai
simbol-simbol yang dibagi atau didipahami oleh komunitas sosial. Perilaku
konvensional juga menunjuk pada kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan
cara tertentu secara efektif dan layak. Tuntutan
perilaku yang layak merupakan keputusan tentang nilai, sehingga jika terdapat kesenjangan
antara nilai yang dimiliki oleh guru dan yang dimiliki oleh siswa dapat
menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan.
Untuk mengarahkan pada perilaku konvensional, guru hendaknya
membantu siswa di dalam mengembangkan seluruh potensinya sambil menghindari
gangguan ketertiban yang tidak diinginkan secara kultural. Disamping itu, guru
hendaknya berupaya menilai partisipasi siswa dengan cara tertentu secara
efektif dan layak.[3]
Bagaiman cara para guru merespon gangguan? Wolfgang
mengidentifikasi tujuh strategi khusus yang bisa dilakukan para guru dalam
merespon gangguan. Meskipun, tentu saja, tidak satupun dari tujuh tersebut yang
bisa berhasil dalam semua keadaan atau sama-sama menarik bagi para guru.
Rangkaian respon ini berbaris dari strategi yang mengaplikasikan sedikit
kekuasaan terhadap para siswa, hingga strategi yang mengharuskan penggunaan
yang jelas:
1.
Pengawasan
visual
2.
Pernyataan
bukan perintah
3.
Pertanyaan
4.
Pertanyaan
perintah
5.
Mencontohkan
perilaku yang baik
6.
Pujian
dan pengabaian
7.
Intervensi
fisik dan isolasi.
Fakta bahwa para guru betul-betul menggunakan respon-respon
tersebut terhadap gangguan, pada akhirnya tidak membuat respon-respon tersebut
sama efektifnya dalam semua kasus. Strategi mana yang sebaiknya dilakukan
sangat bergantung pada keadaan saat terjadinya gangguan : sifat dasar dari
siswa yang terlibat, harapan sekolah dan masyarakat sekitar terhadap disiplin,
tingkat keseriusan dari sebuah gangguan dan frekuensinya, serta bagaiman guru
memandang perannya sebagai seorang yang profesional.[4]
Jadi, perilaku konvensional yang dicontohkan guru kepada siswa
yaitu menjelaskan peraturan siswa yang terbaik dengan memberitahu tentang
perilaku manakah yang dipandang baik. Misalnya, jika makan permen tidaklah
diperbolehkan. Ini lebih baik daripada menunggu sampai ada yang makan dengan
tidak mengetahuinya lalu dilarang. Selanjutnya beritahu kepada siswa
batas-batas yang ditentukan guru. Kadang-kadang secara tidak terduga siswa mau
mematuhinya.[5]
C.
Manajemen Perilaku Proaktif dan Perilaku yang berdasarkan
Intervensi
Doyle (1986) menyatakan bahwa adanya kebutuhan untuk melakukan
intervensi di kelas memberikan indikasi bahwa mekanisme yang digunakan oleh
guru untuk menciptakan ketertiban kelas tidak dapat berjalan dengan baik.
Dinyatakan pula bahwa proses intervensi itu adalah bersifat kompleks dan penuh
resiko.
Di dalam pandangan manajemen kelas yang efektif menyiratkan bahwa
guru harus memiliki metode yang mendasari kegiatan melalui komunikasi verbal
dan non-verbal.
Gaya personal guru hendaknya mengkomunikasikan rencana kerja yang
menjadi landasan manajemen kelas. Sebagai manajer yang efektif, setiap guru di
dalam berinteraksi dapat dipahami menurut gaya personalnya. Leinhardt dan Geeno
(1986) menyatakan bahwa kegiatan kelas itu didasarkan pada perencanaan
operasional yang disebut sebagai “rencana kerja”. Rencana kerja itu mencakup
aspek-aspek struktur kegiatan, routine, dan semua unsur yang memberikan peluang interaksi secara terus menerus di
dalam kelas.
Rencana kerja manajemen kelas terpancar dari gaya personal guru.
Namun demikian, pengembangan dan implementasi gaya personal tersebut dan
landasan pemikiran tentang pandangan kelas atau siswa secara individual
merupakan proses yang kompleks.[6]
D.
Pengembangan Rencana Kerja Manajemen Kelas
a.
Mendeskripsikan
Masalah Perilaku atau Pertanyaan Pembelajaran
Strahan
(1983) menyarankan bahwa, guru hendaknya melakukan pelbagai penelitian
ethnografi dikelasnya. Ethnografi merupakan upaya memperhitungkan perilaku
sekelompok orang dalam berhubungan dengan orang lain disekitarnya dalam
pelbagai situasi. Lane (1986) menyatakan bahwa, tidak ada tindakan guru yang
ditetapkan sebelum menganalisis situasi dan menyusun formulasi yang mampu
menjelaskan latar belakang terjadinya perilaku dalam lingkungan tertentu.[7]
Strategi
untuk memperoleh persepsi terhadap masalah perilaku dan pertanyaan pembelajaran
adalah dengan cara duduk dan mencatat:
a) Mengapa
masalah atau pertanyaan itu menarik perhatian guru,
b) Kapan
pertanyaan pembelajaran atau masalah perilaku tersebut merusak lingkungan
belajar di kelas,
c) Mengapa
siswa berinteraksi dengan cara tertentu, dan
d) Apa
yang menjadi masalah perilaku dan pertanyaan pembelajaran yang aktual.
Kadang-kadang timbul masalah karena
tindakan seorang atau sekelompok siswa. Masalah-masalah semacam itu dapat
digolongkan ke dalam insiden sebab masalah-masalah itu mungkin secara relatif
terpisah satu sama lain.[8]
Sedangkan, kegiatan pendeskripsian
masalah perilaku dan pertanyaan pembelajaran adalah sebagai berikut:
§ Mengidentifikasi
informasi tentang siswa; usia, prestasi belajar, perkembangan sosial,
penempatan sekolah, status kesehatan dan perawatan kesehatan siswa.
§ Hendaknya
menggambarkan interaksi guru dengan siswa.
§ Mengorganisir
informasi dan mulai menganalisis masalah perilaku dan pembelajaran.
b. Menganalisis Masalah Perilaku atau Pembelajaran
Hal-hal
yang dilakukan oleh seorang guru dalam menganalisis masalah perilaku atau
pembelajaran adalah: Pertama, membuat
deskripsi perkembangan masalah perilaku atau pembelajaran. Kedua, menyusun deskripsi bagian-bagian masalah perilaku atau
pembelajaran. Ketiga, menganalisis
lingkungan yang mempengaruhi perilaku. Disinilah analisis lingkungan menjadi
factor penting dalam menerapkan kerangka kerja. Dalam hal ini, terdapat tiga variabel kontekstual yang perlu
dikaji:
1.
Variable Guru; kajiannya adalah filsafat dan tujuan,
kemampuan komunikasi, dan kerangka acuan individu.
2.
Variable Siswa; kajiannya adalah kemampuan
berkomunikasi, tingkat perkembangan, dan perbedaan cultural siswa.
3.
Variable Tugas dan Lingkungan; kajiannya adalah jumlah
siswa dan kendali guru terhadap pengetahuan.
c. Merumuskan hipotesis dan rencana kerja untuk
memperlancar perkembangan perilaku konvensional
Kegiatan selanjutnya adalah merumuskan hipotesis dan
rencana kerja untuk memperlancar perkembangan perilaku konvensional.
Dalam merumuskan hipotesis, sebagai
seorang guru harus dapat mengelola perilaku sendiri, tugas dan kegiatan, serta
lingkungan tempat ia berinteraksi dengan siswa. Guru dapat mengubah peristiwa
yang terjadi segera sebelum dan setelah munculnya masalah perilaku. Alternative
lain adalah “berbicara secara parallel”, memberikan penafsiran dan menyusun
kembali masalah perilaku tersebut.[9]
d. Mengevaluasi dan memodifikasi rencana kerja
Hasil evaluasi merupakan data penting yang dapat
dijadikan sebagai dasar untuk merancang kegiatan belajar siswa yang lebih
efektif. Ada beberapa pilihan bagi guru didalam mengevaluasi rencana kerja,
diantaranya:
1.
Menggunakan format pretest-postest
2.
Menggunakan data dasar (baseline data) yaitu tingkat
unjuk kerja siswa yang didokumentasikan sebelum rencana kerja rencana tersebut
diimplementasikan.
3.
Mencatat produk yang bersifat permanen
4.
Mencatat jenis bantuan yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan secara berhasil.
Sedangkan,
kaitannya dengan memodifikasi rencana kerja, yaitu mengubah penguat
(reinforce), materi, atau pedoman (berkenaan dengan petunjuk , bahasa, dan
saran-saran yang digunakan). Disamping itu, dengan mengecek pola-pola
kesalahan, dapat memberikan pemahaman tambahan terhadap masalah perilaku atau
pembelajaran.[10]
[1] Rasdi
Ekosiswoyo dkk, Manajemen Kelas; Suatu Upaya Untuk Memperlancar Kegiatan
Belajar, Semarang;
IKIP Semarang Press, 1997, hlm.36-38
[2] Syaiful
Bahri Djamarah, Guru & Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif; Suatu
Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2010), hlm 172
[3] Rasdi
Ekosiswoyo dkk, Op Cit, hlm 39
[4] Kelvin
Seifetr, Manajemen pembelajaran dan instruksi pendidikan,(Jogjakarta:
IRCiSod,2008), hlm.237-241
[5] W. James
Popham & Eva L. Baker, Teknik Mengajar Secara Sistematis, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2005 ), hlm 105
[6] Rasdi
Ekosiswoyo dkk, Op Cit, hlm 40-41
[7] Ibid, hlm. 42-43.
[8] W. James
Popham & Eva L. Baker, Op Cit, hlm 106
[9] Rasdi
Ekosiswoyo, Op. cit. hlm. 54.
[10] Ibid. hlm. 59.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !